IKHWAL HAK ANGKET DPR

    ​Oleh : Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. 

    PADA 19 April 2017, 26 Anggota DPR Komisi III menginisiasi penggunaan hak angket untuk memaksa KPK agar mau membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani  (anggota Komisi II dari Fraksi Hanura) dalam kasus dugaan korupsi KTP Elektronik (E-KTP).

    Usulan ini digulirkan karena KPK menolak permintaan Komisi III DPR membuka rekaman saat Miryam diperiksa penyidik KPK, Novel Baswedan tetapi kemudian yang bersangkutan mencabut  Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di depan Pengadilan Tipikor Jakarta 31 Maret 2017. Dalam BAP (sebelum dicabut), Miryam menyebut bahwa dirinya ditekan oleh anggota Komisi III, yaitu Bambang Susatyo, Aziz Syamsuddin, Desmon J.Mahesa. Masinton Pasaribu  dan Syarifuddin Sudin. Usulan penggunaan Hak Angket disetujui 6 dari 10 Fraksi, yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP dan Nasdem. Tiga Fraksi lainnya (PAN, PKS, dan Hanura ikut mendukung dengan catatan akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pimpinan Fraksi, sedangkan Fraksi PKB  abstain. Ketua KPK, Agus Rahardjo menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat menyerahkan rekaman sekaligus BAP Miryam karena masih digunakan untuk penyidikan. 

    Menurut Bambang Susatyo, usulan penngunaanHak Angket ini akan dibawa ke rapat Bamus DPR dan Rapat Paripurna DPR. Apabila disetujui, Bambang yakin DPR akan dapat memperoleh rekaman dimaksud. Dari  rekaman itu, DPR ingin memastikan kebenaran pernyataan Novel serta ingin memastikan pemeriksaan oleh KPK sudah memenuhi standar operasi. Selanjutnya, jikadari rekaman memang ada pernyataan Miryim ditekan anggota Komisi III, Bambang berencana melaporkan Miryam ke polisi karena ia tidak pernah menekan Miryam. Namun jika tidak ada pengakuan Miryam, menurut Masinton Pasaribu dari Fraksi PDIP berarti  telah penyelewengan oleh KPK (Kompas, 20 April 2017).

    Secara normatif hak angket diatur dalam UUD 1945 pasal 20A ayat (2), kemudian diperjelas lagi dengan Pasal  79  Undang-undang (UU) No. 17/2014 sebgaimana telah diubah dengan UU No. 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3 2014) menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki hak interpelasi (bertanya), hak angket (penyedilikan/investigasi) dan hak menyatakan pendapat. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

    Jika penggunaan hak angket disetujui oleh Rapat Paripurna DPR, maka segera dibentuk Panitia Khusus Hak Angket. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 203-205 UU MD3 2014 maupun Pasal 175-176 Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib, dalam rangka melakukan tugas penyelidikan, Panitia Angket berhak memanggil dan meminta keterangan dari Pejabat Pemerintah, Pejabat Negara, badan hukum, saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya. Manakala panggilan sampai tiga kali berturut-turut tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, maka Panitia Angket berhak memanggil paksa dengan bantuan Kepolisian Negara, dan jika panggilan paksa tidak juga diindahan, maka kepada mereka dapat disandera oleh aparat yang berwajib paling lama 15 (lima belas) hari.

    Kecuali itu, Pasal 208 UU MD3 2014 dan Pasal 177  ayat (1) Peraturan DPR No. 1/2014 pada intinya menegskan bahwa   “Apabila rapat paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.”

    Pada  sejarah  ketatanegaraan Indone-sia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an. Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar DPR mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. 

    Pada periode 1999-2004 ada sembilan isu yang diusulkan hak interpelasi dan hak angket, dimana sebagian diterima, sebagian ditolak atau tidak berlanjut. Adapun pada periode 2004-2009, dari dua belas usulan hak angket yang diajukan, hanya empat usulan yang diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan enam usulan ditolak, dan sisanya dua usulan kandas di tengah jalan atau tidak berlanjut. 

    Berdasarkan pengalaman di atas, hak angket seharusnya hanya ditujukan pada kebijakan pemerintah, bukan terhadap sebuah lembaga negara, termasuk otoritas penegak hukum seperti KPK. Hak angket tidak sama dengan fungsi pengawasan yang secara umum dimiliki oleh DPR. Ruang lingkup dan mekanisme penggunaan hak ini telah diatur secara defensif dan lebih ketat.

    Secara lex specialist, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menggolongkan informasi penegakan hukum sebagai informasi yang rahasia. Informasi itu dikecualikan dari sistem keterbukaan informasi publik. Ketentuan Pasal 17 UU No 14/2008 dengan tegas menyatakan demikian.

    (Dosen Hukum Tata Negara, Universitas Sebelas Maret Surakarta)