Keberagaman Gender dan Seksualitas

    Menembus Ketabuan Gender dalam Kehidupan Masyarakat Dayak

    OLEH : Cholid Tri Subagiyo***

    Bawei, artinya perempuan dalam bahasa Dayak Ngaju, mempunyai tempat dan penghargaan tinggi bagi masyarakat Dayak di Kalimantan khususnya Dayak Besar yang sebagian besar mendiami wilayah Kalimantan Tengah, Provinsi yang dialiri dua diantara sungai terpanjang di Indonesia seperti Sungai Barito dan Sungai Seruyan.

    Bagi suku Dayak, perempuan mempunyai peran yang sangat penting, bahkan tokoh tokoh perempuan Dayak mampu menunjukkan diri dalam menembus ketabuan gender dan mengangkat perannya dalam kesemaan derajat dengan laki-laki dalam keberagaman gender.

    Sejumlah tokoh yang dilegendakan merupakan pemimpin dan pemuka di kelompoknya bahkan ditokohkan oleh sebagian besar anak suku Dayak.

    Kemampuan para perempuan menembus batas strata ini membuat masyarakat di suku Dayak lebih mempunyai keberagaman gender. Sebut saja Nyai Balau salah seorang tokoh wanita Dayak yang melegenda. Siapakah Nyai Balau ini? begini ceritanya (disadur dari http://giusbuyuttigoi.blogspot.co.id/2012/10/nyai-balau.html).

    Dahulu kala di sebuah ‘Lewu Tewah’ yang sekarang berada di wilayah Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, ada seorang putri yang cantik jelita namanya “Nyai Balau”. Disebut Nyai Balau karena rambutnya panjang dan memikat hati.

    Meskipun dirinya anak orang terpandang di Lewu Tewah tetapi tabiatnya sangat santun berbudi bahasa dan baik hati, hormat dan sayang terhadap orang tua, keluarga dan sesama.  Sehingga membuat laki-laki segan mencurahkan hati padanya. Ayahnya pun menginginkan  Nyai Balau menikah dengan laki-laki terpandang.

    Nyai Balau pun menikah dengan seorang laki-laki terpandang bernama “Kanyapi”, yang tampan, gagah dan berakal budi. Setelah menikah mereka bersepakat untuk belajar hidup mandiri, sebagai suami-istri. Dan mereka hidup bahagia, karena Kanyapi seorang yang arif dan bijaksana, penuh perhatian dengan sesama di Lewu Tewah, akhirnya Kanyapi diangkat menjadi “Temanggung” (pemimpin daerah).

    Beberapa tahun kemudian akhirnya mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Betapa bahagia mereka atas kehadiran seorang anak satu-satunya yang mereka harapkan bertahun-tahun. Pada suatu hari, setelah anaknya bermain dengan anak-anak lainnya di Lewu Tewah belum juga kembali ke rumah hingga sore bahkan malam hari.

    Temanggung dan Nyai Balau pun mulai gelisah mengapa putra mereka belum juga pulang. Akhirnya Temanggung dan Nyai Balau, memutuskan untuk pergi mencari putra mereka.

    Mereka sudah mencari di sekeliling Lewu Tewah, putra semata wayang mereka belum juga ditemukan. Hingga malam pun larut, dengan sedikit kecewa mereka melanjutkan esok hari. Kemudian pada esok harinya, Temanggung Kenyapi, Nyai Balau dan warga Lewu Tewah mencari kembali bahkan menggunakan gong agar puteranya mendengarkan panggilan, namun sayangnya tidak ditemukan juga.

    Kesedihan mendalam atas hilangnya anaknya itu Nyai Balau pun bertekad untuk terus mencari. Pada suatu hari, Nyai Balau secara diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya, ia berangkat menuju sebuah hutan yang dianggap angker. Di hutan itulah Nyai Balau ‘bertapa’ atau dalam bahasa Dayak Ngaju “Balampah” meminta petunjuk dari Yang Mahakuasa, dimana keberadaan putranya.

    Selama tujuh hari, tujuh malam Nyai Balau bertapa, akhirnya pada hari yang ketujuh seorang nenek tua datang menjumpainya memberikan petunjuk mengenai putranya. “Cucuku Nyai Balau, saya mengetahui tujuanmu datang ke sini, yaitu untuk mengetahui keberadaan putramu.” Sapa nenek tua ini. “Betul nek”, jawab Nyai Balau.

    “Pulanglah cucuku, kamu tidak akan dapat menemukan putramu, ketahuilah ia sudah sudah tiada, di kayau (dibunuh untuk tumbal) oleh ‘Antang’ dari Juking Sopang, kata nenek tua ini kepada Nyai Balau. Mendengar penjelasan nenek tua itu, Nyai Balau tersentak kaget, dan ia pun menangis dan meratap sedih, putra satu-satunya telah dibunuh orang.

    “Saya akan membalas kematian putra satu-satu yang saya sayangi. Saya akan membalas dendam! Saya akan membuat perhitungan dengan Antang !! “ kata Nyai Balau geram karena sangat berdukacita atas kematian anaknya.

    “Baiklah, kalau memang itu sudah tekatmu, ujar nenek kepada Nyai Balau. Saya akan memberikan kesaktian kepadamu agar kamu dapat membalas dendam terhadap Antang. Ambilah selendang ini untuk menghadipi musuh-musuhmu,” sahut nenek tua itu.

    Setelah mengucapkan terima kasih kepada nenek yang telah memberikan kesaktian kepadanya, Nyai Balau pulang ke rumah yang disebut dengan kecemasan oleh suaminya, Temanggung Kanyapi, dan seluruh keluarga, karena kepergiannya yang tanpa pamit.

    Kepada keluarganya Nyai Balau menceritakan semua yang dialaminya, kemudian Nyai Balau mengajak Tamanggung Kanyapi dan warga Lewu Tewah berangkat ke Juking Sopang, membalas dendam terhadap Antang.

    Setibanya di Juking Sopang, Nyai Balau memanggil pemuda yang bernama Antang, supaya keluar dan mengakui kesalahannya dan memohon ampun. “Wahaii… Antang..! Apakah benar engkau membunuh anakku? Kalau memang benar, mengakulah dan memohon maaf terhadap saya dan suami saya Temanggung Kanyapi, sebelum saya habis kesabaran terhadap engkau !” kata Nyai Balau.

    “Hei Nyai Balau beraninya kamu menuduh saya! Jangan macam-macam dengan saya, saya tidak membunuh anakmu. Bisa-bisa kamu yang saya bunuh nanti..!”

    “Mengakulah kamu Antang! saya masih sabar. Kata Nyai Balau. Saya mengetahui perbuatanmu, kamu tidak bisa berbohong terhadap saya.!” timpal Nyai Balau.

    Antang yang terkenal angkouh dan sombong, tidak perbuatan jahatnya yang membunuh putra Nyai Balau. Karena merasa tinggi hati Antang menyerang Nyai Balau dengan mandaunya. Perkelahian pun tidak dapat dihindari. Nyai Balau terpaksa membela diri, menghindar serangan dari Antang.

    Antang tidak mengira bahwa yang ia hadapi bukanlah perempuan sembarangan. Dengan mudah Nyai Balau menangkis serangan Antang yang bertubi-tubi. Sampai akhirnya dia kelelahan, dan seketika Nyai Balau mengebaskan selendang saktinya ke arah Antang, dan Antang pun jatuh tersungkur lemah lunglai.

    Nyai Balau perempuan yang berhati mulia dan murah hati, dia tidak membunuh Antang. Ia mengajak Antang dan keluarganya untuk berdamai secara adat Dayak Ngaju, yaitu dengan mengakui kesalahan dan membayar denda sesuai hukum adat Dayak Ngaju saat itu.

    Pertempuran itu berhenti dengan kekalahan di pihak Antang dan karena Antang yang dianggap sakti pun mati ditangan Nyai Balau, maka pihak Antang menyerah. Nyai Balau, Temanggung

    Kanyapi dan warganya pulang meninggalkan Juking Sopang, yang penuh dengan darah korban, termasuk Antang. Karena itu Juking Sopang sampai sekarang orang menyebutnya “Rangan Daha” (batu/koral yang berdarah).

    Setelah pertempuran itu, nama Nyai Balau semakin tersohor di segala penjuru daerah. Dia ditakuti dan dihormati orang, lebih-lebih warga Lewu Tewah. Akhirnya warga Tewah mengangkat Nyai Balau menjadi pemimpin mereka dan diberi gelar “Pangkalima” (pahlawan yang sakti mandraguna).

    Dibawah kepemimpinan Nyai Balau lewu Tewah aman Sentosa, tidak ada orang yang berani mengganggu, meskipun keluarga Antang dari Juking Sopang melakukan pembalasan tetapi kesaktian Nyai Balau tak terkalahkan.

    Di setiap zaman perempuan Dayak selalu mempunyai tokoh yang menonjol sebagai menembus batas ketabuan gender.

    Pernah dituliskan pada Januari 1949, oleh wartawan dan kolomnis Harian “WARTA BERITA” Medan, Anggraeni Antemas tentang seorang pejuang wanita suku Dayak di udik (sungai) Barito yang  sakti  mandraguna bernama Bulan Jihad yang berani melawan penjajah Belanda pada abad ke-19. Bulan Jihad yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. Ada yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak”.

    Dia sejaman dengan pahlawan Banjar seperti  Pangeran Antasari, Gusti Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha. Dalam Perang Barito atau  Amuk Barito itu  terjadi  pada tahun  1900-1901, dimana suku-suku Dayak Dusun,  Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan  bersatu  bahu  membahu  menghadapi serangan Belanda.

    Cerita kepahlawanan Bulan Jihad memang masih diragukan orang, tatapi wartawan Anggraeni Antemas dalam kesempatan berjumpa dengan Tjilik  Riwut (Gubernur pertama Kalteng) di Istana Merdeka Jakarta tahun 1950 menanyakan kebenaran kisah ini.

    Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak  itu tetapi menurut beliau Bulan Jihad (bukan  asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kenyah (Kaltim). Yang pasti nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan demikian tegas Tjilik Riwut.

    Mengenai seksualitas, suku Dayak sangat menghargai perbedaan, dengan falsafah Huma Betang (rumah besar) walaupun mereka yang ada di dalamnya mempunyai prespektif yang berbeda  dalam membahas suatu masalah. Termasuk itu seksualitas.

    Walau perdebatan panjang pasti terjadi, tetapi kekuatan rasa sebagai saudara (pahari) menjadi dasar kuat untuk menghindari perpecahan. Karena itu jangan heran, dalam satu keluarga besar orang Dayak bisa bermacam-macam agama, ada Kaharingan agama nenek moyangnya, ada Kristen, dan Islam, atau agama lainnya yang tertaut tali pernikahan.

    Demikian pula, mereka tetap menjaga anggota keluarga yang mempunyai prinsip transgender (waria atau priawan). Bahkan untuk dunia hiburan mereka banyak yang tidak mempermasalahkan transvesit (lelaki bernampilan perempuan atau sebaliknya tetapi tidak menghilangkan identitas jenis kelaminnya dalam kehidupan sehari-hari).

    Intinya, apa yang berbentuk keyakinan, akan diserahkan kepada individu masing-masing yang terpenting individu itu bisa mempertanggungjawabkan apa yang diyakininya tanpa membuat dampak negatif bagi keluarga lainnya.

    Dalam agama, Kaharingan memang mempunyai kecenderungan lebih Hindu, sehingga dalam nomenklatur agama di Indonesia Kaharingan masuk dalam agama Hindu. Seperti Hindu, dengan dewa dewi dalam satu tubuh contohnya, Ardhanarishvara, yang merupakan persatuan antara Dewi Parwati dan Dewa Syiwa sehingga ia mempunyai dua tubuh (lelaki dan perempuan).

    Patungnya masih bisa ditemukan antara lain di Bali dan di Museum Trowulan (Mojokerto). Begitu juga Wisnu yang menjelma menjadi Dewi Mohini.

    Di Kaharingan pun ada dewa dan dewi yang dipuja oleh masyrakat suku Dayak memiliki tubuh dalam satu kesatuan tetapi mereka disimbolkan pria dan wanita. Dewa-dewi itu bernama Mahatala-Jata dengan tubuh pria dan wanita. Menurut keyakinan suku Dayak Ngaju,  Mahatala juga disebut hatala atau Lahatala. Memiliki sebuatan yang lain juga  umpamanya Mahatara atau Bahtara. Nama aslinya adalah Tingang (burung enggang atau rangkok.

    Sementara Jata memiliki nama asli Tambon, yang juga sering disebut Bawin jata Balawang Bukau, artinya wanita jata perpintuka Permata. Dan menampakan dirinya dalam bentuk naga.

    Mahatala berada di alam di atas alam manusia.  Alam ini sebagaimana kehidupan manusia tetapi segalanya terlihat lebih indah dan lebih berkelimpahan dari pada alam manusia. Sedangkan Jata berada di bawah alam manunisa. yang dihuni oleh para buaya.

    Di alam bawah ini buaya berbentuk seperti manusia, tetapi apabila mereka berada di alam manusia maka akan berubah wujud menjadi buaya, mereka bisa menolong manusia atau membianasakannya.

    Mahatala dan Jata sering digambarkan dalam satu wujud, seperti burung elang yang bersisik, atau seekor burung naga yang berbulu burung enggang. Mereka dipercayai seperti dwitunggal, suatu yang bersifat bertentangan tercermin dalam sifat baik dan jahat, hidup dan mati, demikian juga gelap dan terang.

    (Penulis adalah anggota PWI Kotim)