PEMBAKARAN GEDUNG SEKOLAH DAN PERSENTUHAN BUDAYA DAYAK

    Oleh: H. Joni.***

    Pelahan tapi pasti, ada titik terang yang menyelimuti kasus pembakaran 7 Sekolah Dasar (SD) dan 1 Sekolah Kejuruan Palangkaraya bulan Juli lalu. Titik terang itu di antaranya adalah ditangkapnya para pelaku kriminal yang menggegerkan kawasan karena pembakaran sarana pendidikan dimaksud.

    Dari pembakaran gedung Sekolah itu ada sinyalemen arahnya adalah kepada pelaku yang berlindung di balik budaya. Dalam hal ini adalah Budaya Dayak, dengan tokohnya Yansen Binti. Kita masih menunggu bagaimana perkembangan, khususnya peran dari tokoh ini.

    Dari berita yang didlansir media cetak, ada tindakan pro justisia yaitu penggerebekan Markas Gerdayak Kalteng di Palangka Raya oleh Densus Anti Teror. Dari penggerebegan ini ditetapkan empat anggota Gerdayak, termasuk seorang staf Dewan Adat Dayak (DAD).( Kalteng Pos, 22/8) Radar Sampit, 23/8). Hal itu juga diakui oleh Ketua Gerdayak, Yansen Binti. (Kalteng Pos, 22/8).

    Terlepas dari pengungkapan tentang keterkaitan antara perbuatan tersangka dengan budaya lokal (budaya Dayak) yang pasti bahwa secara institusi tidak mungkin sebuah budaya mengajarkan atau memberikan legitimasi terhadap sebuah tindak pidana pembakaran fasilitas publik apa lagi gedung sekolah.

    Kajian Budaya Lokal

    Dari tindak pidana (pembakaran gedung sekolah) dan penggunaan atribut Budaya Dayak, memerlukan klarifikasi mendalam. Dalam kaitan ini adalah kajian tentang persentuhan perbuatan pidana dengan budaya lokal, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah kajian untuk mengungkap motivasi atau latar belakang perbuatan pidana. Dalam hal ini keterkaitan antara subyek hukum dengan budaya lokal yang menjadikan motivasi terjadinya tindak pidana.

    Arti leksikal dari kearifan lokal (lokal wisdom) dipahami sebagai gagasan–gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam hubungan ini, apapun mindseat-nya, kesemua budaya termasuk budaya lokal senantiaa mengajarkan kepada perbuatan baik, bijaksana dan mulia.

    Kearifan lokal adalah sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang bersumber pada kebijakan setempat (lokal wisdom), dan didasarkan pada kecerdasan setempat (lokal genius). Dengan pandangan dasar ini memberikan kepada komunitas itu daya tahan di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.

    Pada dimensi ini, kearifan lokal menanamkan secara berkelanjutan prinsip dan pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakatnya. Hal ini dibutuhkan sebagai bentuk keteguhan ketika menghadapi ancaman, tantangan hambatan dan gangguan terhadap eksistensi kehidupan mereka.

    Dengan demikian sumber deri kearifan lokal adalah wisdom dari nilai kemanusiaan universal. Diturunkan serta diterjemahkan berdasarkan pemahaman dan konten lokalitas sekelompok orang yang hidup bersama secara turun temurun.

    Bentuk konkret kearifan lokal tecermin ke dalam berbagai jenis tradisi dan budaya seperti kidung, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, ujaran dan sebagainya yang merefleksikan filosofi kehidupan masyarakatnya.

    Kearifan Lokal Suku Dayak

    Sebagaimana dapat dicermati dari paparan Sergius Tigoi (http://giusbuyuttigoi.blogspot.co.id/2012/10/kearifan-lokal-masyarakat-dayak.htm, bahwa Pesan kearifan loikal pada suku Dayak Kalteng, misalnya adalah dalam hal “pukung pahewan” intinya adalah:

    Pertama, pesan teologis dan dogmatis : Untuk memelihara, menjaga, dan melestarikan alam ciptaan; Mengelola bumi dengan baik dan tertib, tidak serakah dan membabi-buta; Menyemai keinsyafan bahwa alam semesta ini milik Sang Penguasa yang tak terlihat; Bahwa hidup bukan untuk diri sendiri tetapi bagi bumi dan sesama manusia; Bahwa hidup untuk mengasihi dan bukan menghabisi.

    Kedua, pesan moral : Kehormatan dan keberhargaan di simbolkan dalam ketaatan dan kepatuhan, yang membias kepada kebaikan-kebaikan sesama dan semesta.

    Ketiga, pesan budaya, bahwasanya warisan tradisi yang agung adalah pusaka yang dijaga, bukan dijual dan dikhianati, dipelihara dan dikelola, bukan dirusak dan musnahkan; dilindungi, dihayati dan dilestarikan, dinikmati, sekaligus menjadi kontribusi yang berharga bagi kelangsungan hidup semua mahluk hidup.

    Keempat, pesan global, bahwa pukung Pahewan adalah aset, dan sebagai investor bagi dunia yang sekaligus secara sukarela menyediakan carbon dioksida bagi manusia dan jagat raya ini, sejak dulu.

    Di samping itu, pemerintah harus berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan hidup agar tetap terjaga kelestarian alam dengan bersinergi dengan gereja dan masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah. Agar Kalimantan tetap menjadi poros dan fokus dunia yang mampu mensuplai/menyerap CO2 bagi semua mahluk dan lingkungan hidup.

    Dimensi Penegakan Hukum

    Pada dimensi kekinian, penegakan hukum selalu ditekankan pada aspek penegakan Undang Undang. Rekonstruksi pidana senantiasa didasarkan padad ajaran legalitas, apakah sudah ada aturan yang dijadikan dasar mengenakan pidana. Hal ini kemudian direkonstruksikan berdasarkan perilaku subyek hukum yang dinilai melanggar pidana.

    Pada dimensi kearifan lokal, dan lebih luas adalah budaya, sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan aturan tertulis. Lebih luas penegakan hukum senantiasa melibatkan struktur, lembaga, proses atau procedure yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law). Tidak terkecuali dimensi kearifan lokal (local wisdom) serta budaya hukum (legal culture).

    Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan institusi negara yang secara komprehensif mendasarkn pada proses formal. Sekaitan dengan hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence Friedman, unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).

    Oleh karena itu tindakan kriminal adalah perilaku oknum. Ketika hal itu dikaitkan dengan budaya hukum yang berdimensi lokal (Budaya Dayak) dengan berbagai atributnya maka hal demikian tidak bisa dijadikan dasar atau perlambang kebijakan komunitas.

    Tanggungjawab pidana tetap harus dipikul oleh subyek hukum yang melakukan perbuatan, kendatipun ada indikasi mempergunakan simbol budaya dan kearifan suku Dayak. Motivasi yang mengarah ke sana harus dinetralisasi sedemikian rupa sehingga Budaya Dayak yang mencerminkan kearifan lokal tidak ternoda. Keberadannya tetap mencerminkan perilaku santun, bijaksana dan keluhuran.

    *** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat sosial dan hukum.