MENYOAL KASUS PENGANIAYAAN DAN PEMUTUSAN SEKOLAH ANAK DI ANTANG KALANG

    DEWASA ini​ permasalahan anak merupakan permasalahan yang cukup serius. Karena anak merupakan harapan bangsa yang menjadi fundamental pembangunan setiap negara. Di sisi lain, anak merupakan anugrah dari tuhan yang patut disyukuri setiap orang.

    Sehingga sangat disayangkan apabila pada saat ini masih ada kekerasan yang terjadi terhadap anak. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam membentuk karakter dan masa depan anak. Secara konstitusional setiap anak dilindungi oleh negara untuk mendapatkan hak-haknya.

    Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam membangun generasi penerus bangsa, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki masyarakat berpendidikan tinggi untuk membangun bangsanya.

    Dalam Pasal 31 dari UUD 1945 BAB XIII tentang Pendidikan Dan Kebudayaan menyebutkan; Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

    Pasal di atas telah menegaskan, bahwa pendidikan merupakan hak dasar bagi seluruh warga negara Indonesia dan merupakan skala prioritas dalam pembangunan bangsa.

    Karna itulah, sangat miris apabila dikaitkan dengan kasus yang menimpa anak yang terjadi di SDN 3 Tumbang Kalang, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotim, harus menelan pil pahit. Karena tidak bisa melanjutkan pendidikan, setelah mendapat perlakuan kekerasan dari oknum guru.

    Tak hanya berhenti di penganiayaan. Anak seusia ADK (15) yang mestinya mrndapatkan bimbingan dari guru, dengan alasan nakal. Dia juga dikeluarkan dari sekolah berdasarkan putusan Dewan Guru, tanpa memberikan solusi terbaik agar anak tersebut tetap dapat melanjutkan pendidikannya.

    Perlakuan pihak sekolah tersebut, bertentangan dengan Pasal 28B dari UUD 1945 yang menyebutkan; Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

    Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

    Bagaimana hati nurani seorang guru dengan tega menganiaya anak didiknya dan memupuskan harapan masa depannya dengan mengeluarkan dari sekolah???

    Pendidikan yang merupakan bagian terpenting dalam pembangunan generasi penerus bangsa Indonesia melalui guru telah menghancurkan cita-cita dan masa depan anak itu terlebih lagi setelah dia menjadi korban penganiayaan.

    Apabila dilihat dalam perspektif UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 35 tahun 2014. Dalam ketentuam umum UU Perlindungan anak Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa seorang anak mempunyai perlindungan.

    Dalam penegasannya. “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi”.

    Bunyi undang-undang tersebut sudah cukup jelas bahwa anak dilindungi dari bentuk kekerasaan apapun dan setiap anak mempunyai hak hidup yang melekat dalam dirinya, yaitu berhak memperoleh pendidikan dasar sebagai anak.

    Anak dalam UU Perlindungan Anak, memperoleh perlidungan khusus dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan khusus yang dimaksud disi, jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (15) dari UU Perlindungan Anak.

    Kemudian dalam ayat (15a) menjelaskan apa saja yang termasuk kekerasan yang menimpa anak pada umumnya bunyi ayat (15a). Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

    Kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh onum guru SDN 3 Tumbang Kalang, tentunya telah memenuhi unsur yang ada pada Pasal 1 ayat (15a) yang kemudian diperjelas lagi dalam pasal 9 ayat (1) setiap anak behak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkatan kecerdasanya sesuai dengan minat dan bakat.

    Ayat (1a) setiap anak berhak mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Penjelasan pasal 9 ayat (1) dan (1a) ini cukup jelas menerangkan bahwa anak-anak yang menjadi peserta didik tidak boleh mendapatkan kekerasn dari pendidik dan tenaga kependidik.

    kemudian dipertegas lagi pada Pasal 54 ayat (1), anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.

    Ayat (2) perlindungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
    Karena itulah seharusnya aparat penegak bepegang kepada UU Perlindungan anak dimana kekerasan yang menimpa anak tersebut merupakan pelanggaran hukum yang bersifat lex specialis Derogat Legi Generalis (hukum yang bersifat khusus “lex specialis” mengesampingkan hukum yang bersifat umum “legi generalis” )

    Dalam perspektif hukum dimana sifat hukum yang pada umumnya bersifat Ultimum Remidium (upaya terakhir atau the last resort) tidak lagi berlaku apabila terjadi pelangaran dalam UU perlindungan anak maka sifat hukum yang dikedepankan menjadi Primum Remedium (sarana utama) sebagai upaya perlindungan kepada hak anak dan menjauhkan perbuatan yang dapat melukai dan juga merusak masa depan anak tersebut.

    Pendapat saya ini didasari dari asas dan tujuan UU Perlindungan anak dalam pasal 2 dan 3, yaitu Pasal 2 menyebutkan; penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-pinsip dasar konvesi hak-hak anak.

    Yaitu meliputi; a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap anak.

    Pasal 3, Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskiriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

    Karena Anak merupakan amanah dari tuhan yang maha esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapat hak-haknya tanpa anak tersebut meminta.

    Di samping itu, yang tidak kalah penting untuk diketahui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat yang khusus, sehingga anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh.

    Karena itulah dalam pasal 59 UU Perlindungan Anak, pelangaran yang terjadi dalam kasus ini tentunya harus menjadi perhatian serius dan tidak boleh diabaikan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Perlindungan anak, karena akan menganggu tumbuh kembang anak.

    Travis Hirschi menyebutkan, dalam penelitiannya menyebutkan, “semakin anak terikat dengan masyarakatnya, kecil kecenderungannya terlibat kenakalan, sebaliknya bila ikatan anak dengan masyarakatnya lemah atau terputus, maka anak akan bebas melakukan kenakalan”.

    Kesimpulan dari teori kontrol sosial Travis Hirschi tersebut, adalah pintu masuk seorang anak menjadi pelaku kenakalan adalah lemah atau terputusnya ikatan sosial anak (attachment, commitment, involvement dan beliefs) maka tinggi kecenderungan anak untuk tidak patuh norma – melakukan kenakalan.

    Pintu pertama, bila tidak ditanggapi secara proporsional, dan melahirkan stigma negatif terhadap ABH maka besar kemungkinan anak akan mengulangi lagi perbuatan kenakalannya di masyarakat pada masa yang akan datang “self-fulfiling process” anak berusaha menyesuaikan “gelar” yang diterimanya dalam masyarakat.

    Dengan dikeluarkannya korban anak ini dari lingkungan sekolahnya memutuskan keterikatan interaksi sosial anak tersebut dengan lingkungan yang seharusnya membentuk moral dan etika anak dalam berinteraksi dalam masyarakat nantinya serta mewujudkan masa depan anak tersebut.

    Pendidikan itu merangkul bukan memukul, pendidikan itu menciptakan masa depan bukan memupuskan harapan, pendidikan itu adalah bagian dari ibadah bagi setiap pendidik dan perserta didik untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa demi terciptanya generasi emas masa depan bangsa.

    Penulis : Nurahman Ramadani. S.H Mahasiswa Magister Hukum Pidana Ekonomi, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    Editor: A. Uga Gara