MENYOAL PUNGUTAN PIHAK KETIGA DI KALTENG

    Oleh: DR. H. JONI, SH., MH

    Pada awal bulan ini, tepatnya tanggal 2 sampai dengan 8 Oktober, Provinsi Kalteng mendapat kunjungan istimewa. Tamu dimaksud adalah Tim Saber Pungli (Sapu Bersih Pungtutan Liar) dari Jakarta.

    Kehadirannya secara substantif melakukan penertiban (bahasa halusnya pembenahan) terhadap pelaksanaan pungutan di provinsi Kalteng, khususnya pada sektor pertambangan.

    Pungutan dimaksud secara administratif didasarkan pada Peraturan Gubernur (Pergub) No: 27 Tahun 2017, yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pertambangan dan Sumber Daya Mineral, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Badan Keuangan Daerah.

    Dinas dimaksud sebagai instansi yang secara substantif melaksanakan Pergub terhadap para pengusaha di lapangan. Inti dari Pergub itu, meskipun namanya Petunjuk Pelaksanaan, substansinya sebagai dasar pungutan untuk pemasukan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

    Namun ternyata berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap Pergub dimaksud dinilai tidak didasarkan pada aturan yang lebih tinggi secara konsisten. Sementara secara subtantif materinya dinilai memberatkan dan menimbulkan biaya tinggi.

    Oleh sebab itu pembenahan perlu dilakukan sebagai bagian dari perswujudan tata pemerintahan yang baik, dan tentunya tidak memberatkan masyarakat. Mengapa untuk keperluan demikian lalu yang hadir Tim Saber Pungli dari Pusat, nampaknya memang masih perlur klarifikasi.

    Pendapatan Asali Daerah (PAD)
    Bagi Pemerintahan Daerah di seluruh tanah air, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu barometer keberhasilan sistem desentralisasi dan otonomi daerah.

    Artinya peningkatan PAD adalah satu keniscayaan dalam operasionalisasasi Pemda. Untuk ini, sebagai realisasinya setiap daerah merancang beragam kebijakan dan regulasi untuk mengoptimalisasi sumber PAD.

    Namun demikian satu hal, bahwa peningkatan PAD yang merupakan upaya untuk memperoleh pendapatan dengan pungutan itu nantinya tidak memberatkan masyarakat, dan harus didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku.

    Satu di antara pemasukan strategis dari peningkatan PAD itu berasal dari sumbangan pihak ketiga yang besifat sukarela. Sumbangan Pihak Ketiga adalah pemberian pihak ketiga kepada Pemprov Kalteng secara sukarela dan tidak mengikat, yang diperoleh dari pihak ketiga.

    Dengan catatan bahwa sumbangan dimakisud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlak. Secara mendasar, bahwa sumbangan Pihak Ketiga merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang diandalkan.

    Kendatipun demikian, di dalam pelaksanaannya pemerintah Pusat tidak memiliki regulasi khusus yang mengatur sumbangan Pihak Ketiga ini.

    Ketentuan tersebut hanya diatur secara umum dalam UU tentang pemerintah daerah dari masa ke masa. Mulai dari UU No. 05 Tahun1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir dalam UU No. 23 Tahun 2014 kesemuanya tentang Pemerintahan Daerah.

    Peraturan Pereundangan itu di dalam ketentuannya juga mengatur mengenai tiga sumber penerimaan daerah, yaitu pertama, Pendapatan Asli Daerah yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah; kedua, pendapatan transfer; dan ketiga, lain-lain pendapatan daerah yang sah.

    Dari ketiga sumber penerimaan ini, sumbangan Pihak Ketiga dikategorikan ke dalam frasa kalimat: “lain-lain pendapatan daerah yang sah” berupa hibah, dana darurat dan lain-lain pendapatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Kendatipun begitu mendasar bagi daerah, namun sampai saat ini Pemerintah Pusat memang belum mengeluarkan regulasi khusus (turunan) terkait sumbangan Pihak Ketiga.

    Dapat diklarifikasi, pengaturan tentang ini pernah dibuat yaitu Permendagri No. 3 Tahun 1978 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah dan terakhir, Surat Edaran Mendagri No. 188 Tahun 2010 Tentang Penataan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang melarang daerah untuk menetapkan besaran dan jenis sumbangan pihak ketiga.

    Namun demikian mengacu pada UU No.23 Tahun 2014, tentang bentuk hibah, sumbangan Pihak Ketiga bisa berupa “uang, barang dan/atau jasa” dari Pusat, Daerah lain, masyarakat, dan Badan Usaha dalam/luar negeri, Permendagri itu harusnya segera ditinjau kembali untuk penyesuaian.

    Di Kalimantan Tengah
    Untuk Kalteng, implementasi pada Daerah, sebagaimana diatur dalam Pergub No. 27 Tahun 2017 bahwa Sumbangan Pihak Ketiga itu diberikan kepada Pemerintah Daerah secara ikhlas, tidak mengikat perolehannya oleh pihak ketiga, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik berupa uang atau dipersamakan dengan uang maupun barang dan/atau jasa.

    Namun, dari sisi kelengkapan, Pergub ini tidak mencantumkan Perda Kalimantan Tengah No. 06 Tahun 2000 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah. Padahal, perda ini masih berlaku dan menegaskan prinsip-prinsip sumbangan Pihak Ketiga.

    Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan hirarkhi peraturan perundangan yang berlaku, yang harud didasarkan pada peraturan lebih tinggi.
    Secara substantif, khususnya terhadap penambang batubara Pergub ini dinilai memberatkan.

    Pada tataran lebih tinggi bertentangan dengan point tiga (3) SE Mendagri No. 188 Tahun 2010 tentang Penataan Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lebih jauh juga tidak sejalan dengan

    Peraturan Daerah tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga dan Peraturan Kepala Daerah yang menetapkan besarnya Penerimaan Sumbangan kepada Pihak Ketiga.
    Pergub ini juga dinilai bertentangan dengan SE Kementerian ESDM No. 03.E/30/DJB/2012 tentang Pungutan Sumbangan Pihak Ketiga: melarang kepala daerah untuk menerima sumbangan pihak ketiga dari pemegang IUP, KK, PK P2B di wilayah pemerintahannya.

    Sementara itu pada tataran regulasi, secara yuridis, Pergub Kalteng No.27 Tahun 2017 bermasalah karena tidak mencantumkan landasan Perda terkait, yaitu Perda Prov. Kalteng No. 06 Tahun 2000.

    Selain itu, pada aspek substansi, kelonggaran pengaturan soal sumbangan yang bersifat sukarela dan tidak mengikat berpotensi disalahgunakan oleh aparat yang tidak bertanggung jawab.

    Secara substantif pengaturan di dalamnya juga bertentangan dengan regulasi nasional yaitu untuk mencegah timbulnya ekonomi biaya tinggi dan menghambat iklim investasi, serta melanggar hakikat sumbangan yang bersifat sukarela dan tidak mengikat. Terbitnya Instruksi Gubernur sebagaimana dimasud untuk sementara menghentikan Pergub No. 27 Tahun 2017.

    Untuk itu harusnya segera ditindaklanjuti dengan Pergub berikutnya yang mencabut Pergub No. 27 Tahun 2017 dimaksud dan digantikan dengan produk yang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya serta tidak menimbulkan biaya tinggi yang pastinya bertentangan dengan prinsip efektivitas dan efisiensi.***