​Kurtubi: Proyek GRR Bontang Kurang Menguntungkan Bagi Indonesia

    JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi mengharapkan agar proyek Green Root Refinery (GRR) Bontang dievalusi. Dia menilai pembangunan GRR di salah satu daerah  Kalimantan itu memiliki beberapa implikasi yang kurang menguntungkan bagi Indonesia  dan pertamina.

    “Sebaiknya jangan dipaksakan dibangun. Karena akan merugikan pertamina dan negara”, ujar Kurtubi dalam riliesnya yang diterima beritasampit.co.id, Senin (16/10/17).

    Menurut dia, setidaknya ada lima alasan proyek tersebut kurang tepat dibangun di Bontang. Pertama, crude intake dari GRR Bontang berasal dari crude Import bukan crude dalam negeri semisal crude dari Kaltim karena produksi crude dlm negeri sangat rendah.

    “Saat ini sekitar 40% dari kebutuhan crude untuk diolah di kilang dalam negeri berasal dari impor sehingga semestinya GRR dibangun di lokasi yang dekat dengan konsumen,” terang ahli perminyakan ini.

    Kedua, untuk memenuhi kebutuhan BBM di pulau Kalimantan dan Sulawesi dalam jangka panjang, dinilainya bisa tercukupi dari kilang Balikpapan yang saat ini sedang ditingkatkan kapasitasnya.

    “Nah, BBM dari GRR Bontang dalam proyeksinya diperuntukkan untuk Kawasan Timur (Papua Maluku Bali Nusa Tenggara). Jarak antara GRR dengan sasaran daerah konsumen, terlalu jauh,” tegasnya.

    Hal ini, menurutnya, menyebabkan biaya angkut BBM untuk jangka waktu panjang  menjadi sangat mahal yang akan merugikan pertamina dan negara.

    Dalam pandangannya, untuk menghemat ongkos BBM semestinya kilang existing Sorong ditingkatkan kapasitasnya menjadi sekitar 50.000 – 100.000 bph guna memenuhi kebutuhan BBM Papua dan Maluku untuk masa lebih dari 50 tahun ke depan.

    “Solusi lainnya, GRR sebaiknya dibangun di Lombok Utara dengan kapasitas sekitar 150.000 – 250.000 bph utk memenuhi BBM Bali, Nusa Tenggara, Timor Leste dan sebagian Jatim,” ungkapnya.

    Dari aspek lokasi, legislator dapil NTB ini menyebutkan, pengalihan pembangunan GRR ke Lombok Utara akan lebih tepat. Karena daerah ini terletak di ALKI yang lebar dan dalam, cocok dilalui oleh VLCC raksasa yang mengangkut crude intake yang berasal dari impor, baik crude Timur Tengah, Afrika Barat, maupun Australia.

    “GRR di Lombok Utara ini akan terintegrasi dengan Pembangunan Global Hub Kayangan (GHK)  dan Kota Industri Baru di mana Pemda sudah menyiapkan 10.000 ha lahan pinggir pantai. Saat ini GHK sudah dinyatakan sesuai dg RTRW nasional dan sudah ada payung hukumnya (PP Nom13/2017),” imbuhnya.

    Tidak hanya itu,  Kurtubi juga mengatakan, jika tetap dipaksakan, pembangunan GRR di Bontang memiliki resistensi terhadap kepentingan keamanan nasional.

    “Secara geografis, kalau saya menilai, agak riskan bagi keamanan nasional. Seandainya,  ada konflik dengan negara tetangga maka dengan mudah menjadi sasaran serangan musuh,” ujarnya.

    Apalagi, di Bontang atau Kaltim saat ini sudah ada industri-industri yang sangat rawan api seperti LNG Plant, Petrokimia dan pupuk selain kilang super besar dengan kapasitas 360.000 bph di Balikpapan.

    Alasan terakhir,  terang kurtubi,  proyek GRR Bontang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam memperkecil kesenjangan antar daerah.

    “Saya menghimbau, meminta dan mendesak kepada pemerintah dan Pertamina untuk mengevaluasi ulang selagi proyek ini masih pada tahap dini. Proyek GRR Bontang ini kurang rasional dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional,” pungkasnya. (Ist/beritasampit.co.id)

    Editor : A. Uga Gara