ANIES, PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

    Oleh : H. Joni

    Baru berbilang jam usai pidato politik Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang baru saja dilantik sudah menuai perkara. Ia diadukan beberapa pihak terkait dengan pidato yang disampaikan Senin (16/10/2017) yang lalu.

    Esoknya, pidato itu langsung dipolisikan. Sebenarnya ini reflkeksi orang yang sakit hati karena ia terpilih, alias jagonya tidak terpilih atau memang pidato itu mengandung unsur yang bersifat rasis ?

    Makna Pidato
    Adapun yang mengadukan itu, sebagaimana terungkap di media adalah oganisasi bernama Gerakan Pancasila. Pengaduan diterima oleh Bareskrim Polri dengan nomor pengaduan: LP/ 1072/X/2017/ tanggal 17 Oktober 2017.

    Tentu masih akan panjang jalan yang akan dilalui oleh laporan dimaksud. Namun karena substansinya masalah sensitif, lalu menjadi gegap gempita, alias ramai.

    Substansi pelaporan itu, sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Gerakan Pancasila Jack Boyd Lapian, yang ditemui wartawan usai melapor di Bareskrim adalah bahwa makna kata pribumi yang disebutkan Anies diduga bisa memecah belah keberagaman di Indonesia.

    Perpecahan yang tentunya sangat tidak diinginkan oleh siapapun yang berada di tanah air tercinta ini.
    Ia berargumentasi dengan memerinci bahwa yang disampaikan juga relatif. Pribumi yang mana? Pribumi Arab? China? Siapa?.

    Ia menilai bahwa hal itu memecah belah Pancasila. Pada Pancasila tak ada lagi apa bahasamu, apa ras, semua menjadi satu, iktu yang menjadi alasannya. Oleh karena itu Anies diniali telah besikap rasis.

    Bahkan, ada yang mencibir Anies bukan pribumi asli melainkan keturunan dari Arab Saudi.
    Laporan juga disampaikan Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika Agnes Dwi Rusjiati.

    Ia menilai pidato Gubernur DKI Jakarta di Balai Kota Jakarta usai pelantikannya pada Senin 16 Oktober 2017 berbahaya. Bahayanya, katanya karena rentan membangkitkan isu-isu rasial kembali dengan penyebutan istilah pribumi.

    Di dalam pidato selama 21 menit itu, sang Gubernur baru menyinggung perjuangan kaum pribumi melawan kolonialisme, bahwa kaum pribumi dahulu ditindas dan dikalahkan. Ia mengaitkan isi pidato itu, bahwa Jakarta adalah barometer Indonesia.

    Apalagi, kata kordinator LSM itu bahwa masa menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta lalu yang sarat dengan konflik berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) mengemuka sebagai issu utama. Ini malah tidak diredam, tetapi diungkit kembali.

    Lebih lanjut dikaitkanlah pidato itu dengan sejarah, bahwa Indonesia pernah mempunyai sejarah kebencian atas etnis tertentu pada 1998 lalu. Ia menilai hal itu membangkitkan kembali isu isu dimaksud.

    Apa lagi telah ada Instruksi Presiden Nomer 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Inpres tersebut dikeluarkan Presiden BJ Habibie. Sebagai pemimpin juga seharusnya memahami peta konflik dan kondisi sosial politik masyarakatnya.

    Demikian pula pidato itu dinilai bertentangan dan melanggar Undang Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Substansinya, bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.

    Adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

    Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk atau multikultural dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Untuk menjamin tidak terjadinya konflik dan diskriminasi maka dibuatlah Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

    Anies dinilai melanggar ketentuan dalam UU tersebut. Kata Wapres dan Kontekstualitas Tak kurang, Wapres Yusuf Kalla pun menanggapi berbagai komentar yang bernada miring dari pidato Anies dimaksud. Intinya bahwa tidak ada yang aneh dari pidato Anies.

    Konteks pidatonya adalah dimensi sejarah, yang justru memberi semangat pada pribumi saat ini untuk lepas dari keterbelakangan dan tidak berkutat pada keterpurukan sosial. Maksud Anis itu adalah bahwa pribumi telah merana dan terpuruk akibat penjajahan yang dilakukan oleh kolonialisme.

    Untuk itu setelah lepas dari penjajahan Anies pun mengajak masyarakat Jakarta bisa menjadi tuan rumah untuk negerinya sendiri.
    Pada sisi lain, di dalam pidato itu, Anies mengingatkan bahwa di kota ini pula bendera pusaka dikibartinggikan, tekad menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat diproklamasikan ke seluruh dunia.

    Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya.
    Dalam mencermati sebuah pidato, dan pernyataan apapun khususnya yang telah melalui media hendaknya dicermati dua dasar, yaitu teks dan konteks.

    Hal ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi persepsi yang mengarah kepada hate speech atau ujaran kebencian. Untuk sanksi dari ujaran kebencian ini tidak sederhana. Jeratnyua adalah UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

    Ketentuan di dalamnya menjerat orang yang tergelincir karena melakukan tindakan melawan hukum yaitu melakukan hate speech atau ujaran kebencian Pada kaitannya dengan teks, adalah secara harfiah.

    Maksudnya dicermati berdasarkan tulisan atau ucapan yang telah disampaikan. Jika dipenggal suatu kalimat bisa saja menimbulkan makna yang tidak sesuai dengan kehendak atau maksud yang menulis atau yang mengucapkan.

    Untuk itu harusnya sebuah kalimat atau ucapan tidak dipenggal atau dipotong. Harusnya disampaikan secara utuh, sehingga dapat dicermati dengan hati jernih dan obyektif.

    Pada dimensi yang bersifat konteks, hendaknya sebuah ujaran atau kalimat dicermati berdasarkan makna yang terkandung didalamnya.

    Dengan makna ini sebuah ujaran harus dinilai dan dicermati dalam kaitan apa diucapkan.
    Sebagaimana dicermati pidato Anies itu adalah dalam kerangka jaman penjajahan, yang dijadikan motivasi untuk era kekinian.

    Jadi tidak diterjemahkan ujaran dimaksud dengan memotongnya, dan mengaitkian dengan kondisi saat ini. Jika ini dilakukan tentunya menimbulkan interpretasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dan makna utuh dari kalimat dimaksud.

    Dari sini bisa dinilai bahwa yang mengadukan pidato Anies itu nampaknya tiak memahami kontekstualitas pidato yang sebenarnya secara substantif sangat tepat sasaran. Atau bisa saja ada motivasi lain, semisal mencari panggung atau karena sakit hati karena jagonya kalah atau dikalahkan.

    Obyektif saja, akan lebih baik bersatu membangun Jakarta sesuai dengan kapasitas masing masing. Hal ini dibutuhkan untuk melepaskan diri dari belenggu keterkungkungan. Ini tentu akan lebih bermakna daripada mencari hal hal yang sebearnya tiak perlu dicari karena hanya membuang energi yang mubadzir.***