PENDIDIKAN KREATIF, MEMBANGUN GENERASI MUDA BERPOLA PIKIR SOLUTIF

    Oleh: Dyah Indraswati, M.Pd

    “Jika anda menginginkan pekerja yang kreatif, beri mereka cukup waktu untuk bermain” (John Clesse) “Saatnya yang muda yang berperan dengan kreativitas yang tak gampang padam” (Najwa Shihab).

    Dua kalimat motivasi diataslah yang mendorong saya menulis tentang perlunya perubahan dalam dunia pendidikan kita. Kenapa pendidikan? Karena pendidikan memegang peranan penting membentuk kualitas generasi kita.

    Potret buram Indonesia seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, tawuran, bullying, anarkisme, narkoba dan lain sebagainya harus menjadi evaluasi dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia memiliki dua kelemahan mendasar antara lain lebih mengedepankan sisi teoritis (text book) dibandingkan sisi aplikatif.

    Alhasil, para siswa lebih sering menghafal materi daripada tahu tentang kondisi riil yang ada di lapangan. Pendidikan di sekolah juga lebih berorientasi nilai daripada hasil. Sehingga, dari jenjang SD sampai tingkat perguruan tinggi para siswa berupaya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang bagus.

    Sistem pendidikan yang salah mengarahkan, dapat menjadikan produknya sebagai manusia-manusia yang justru menimbulkan permasalahan baru. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka sarjana yang menganggur semakin tinggi.

    Catatan BPS pada Februari 2016 menunjukkan bahwa sarjana penganggur mencapai 695 ribu jiwa, meningkat 20% dibandingkan pada tahun 2015. Dunia pendidikan harus bertanggung jawab membangun generasi terdidik yang solutif bukan yang justru lulusannya menambah masalah bagi bangsa ini.

    Pendidikan kreatif adalah solusi tepat untuk mengarahkan pola pikir generasi muda, bukan hanya sekedar pencari kerja tetapi sebagai pencipta lapangan pekerjaan.

    Seperti apa konsep dari pendidikan kreatif? Selama pendidik paham bahwa zaman selalu berubah dan hanya perubahan itu sendiri yang tidak akan berubah maka dia tidak akan terkurung pada pakem bahwa 1 + 1 harus 2 dan pemandangan itu adalah perpaduan antara dua buah gunung, matahari, sawah, dan pohon kelapa.

    Disitulah dia dituntut untuk bisa mendidik secara kreatif bukan hanya menciptakan lulusan penghafal materi tetapi lulusan penuh kreasi. Perhatikan revolusi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi sekarang ini.

    Kualitas kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kreativitas. Sebagai contoh perusahaan Apple, Google, Microsoft, Facebook telah menempatkan pemiliknya masuk barisan manusia terkaya di dunia. Contoh lain polemik angkutan umum online dan konvensional.

    Angkutan umum konvensional mengeluh konsumen dan pendapatan mereka berkurang sejak hadirnya transportasi umum bersistem online padahal kalau mau berfikir matang masyarakatlah yang berubah.

    Kita tidak bisa terus bertahan dengan cara-cara lama seperti menunggu di pinggir jalan dan sibuk tawar menawar karena harga yang ditawarkan tidak manusiawi. Konsep dari pendidikan kreatif adalah kebebasan berfikir.

    Membatasi pola pikir siswa akan menjadikan mereka generasi penurut tanpa kreativitas. Perlu membentuk adanya integrated professional dengan mengintegrasikan bidang keilmuan, teknologi, seni, dan profesionalisme.

    Materi kurikulum memang diarahkan pada pemahaman teoritis tetapi pengaplikasian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan teknis dan estetis.

    Proses belajar mengajar dititikberatkan pada pengembangan kreativitas, wawasan keilmuan, pembekalan dasar keahlian, dengan penekanan pada ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif, yang mendorong peserta didik berfikir divergen dan konvergen.

    Kreativitas menjadi bermakna dalam hidup karena merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya, kreativitas juga memungkinkan penyelesaian berbagai macam permasalahan, Kreativitas sangat memungkinkan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

    Pendidik memiliki peran krusial dalam mewujudkan pendidikan kreatif. Pembelajaran kreatif dan produktif melandasakan kepada teori belajar kognitif dari Piaget, Bruner, dan Ausubel yang menekankan pentingnya keaktifan siswa di dalam kelas.

    Keaktifan siswa secara optimal menjadikan proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Graham Wallas (1926) dalam bukunya “The Art of Thought” mengatakan proses kreatif meliputi empat tahap yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verivikasi.

    Tahap persiapan (preparasi) memungkinkan seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah seperti berfikir atau bertanya pada orang lain. Pada tahap ini pendidik dapat mencari ide tentang permasalahan yang akan dipecahkan.

    Pada tahap inkubasi individu seakan melepaskan masalahnya dalam arti dia tidak memikirkan masalahnya secara sadar tetapi “mengeramnya” dalam alam pra sadar. Tahap iluminasi merupakan tahap munculnya “insight”yaitu tahap munculnya gagasan baru.

    Tahap verivikasi yaitu tahap evaluasi apakah gagasan baru tersebut sesuai realita atau tidak. Berhasilnya pembelajaran kreatif juga ditentukan adanya classroom management. Pendidik harus memperhatikan keaktifan siswa dan perbedaan individual.

    Pendidik harus bisa mengakomodasi siswa yang aktif, biasa, dan kurang aktif. Pendidik juga mampu mengidentifikasi kemampuan akademik siswa dari yang pintar, sedang, atau kurang. Metode pembelajaran harus dilakukan variatif, pelaksanaannya menjamin pengembangan kreativitas, seiring kompetensi yang ingin dicapai (kognitif, afektif, dan psikomotorik).

    Pendidikan kreatif menjadikan siswa memiliki kemampuan imajinasi dalam menyelesaikan problema dan mampu menjawab tantangan secara kritis, kreatif, dan inovatif sesuai bidang masing-masing.

    Harapannya artikel ini memberikan gambaran pada masyarakat atau pendidik khususnya bahwa untuk menjadi kreatif itu adalah penting. Jangan sampai pembelajaran yang dilakukan justru mengekang kreativitas siswa menjadi penurut dan penghafal materi tetapi tidak bisa mengaplikasikannya dalam kondisi riil masyarakat.

    Jangan sampai generasi penerus bangsa hanya menjadi pengejar nilai tapi melupakan hakikat dari nilai itu sendiri. Jangan sampai lulusan sarjana yang setiap tahun mengalami peningkatan justru menjadi permasalahan baru bagi bangsa Indonesia. Mari ciptakan generasi penerus bangsa yang kreatif dan solutif.