IHWAL PENETAPAN (KEMBALI) SETNOV SEBAGAI TERSANGKA

    Oleh: H. JONI

    Gonjang ganjing penegakan hukum, khususnya dalam megakoruposi elektronik KTP (e-KTP) nampaknya masih sangat panjang. Bahkan seolah bertambah ruwet. Tokoh tokoh politik (politisi) yang berada di Senayan, dan para mantan anggota DPR yang membahas proyek e-KTP diserat satu satu oleh KPK. Namun kita paham bahwa mereka juga tidak tiggal diam.

    Berbagai cara, mulai dari pembentukan Pansus, sampai kepada upaya kriminalisasi KPK terus dilakukan. KPK berhadapan dengan institusi kepolisian ketika kedua komisioner KPK harus berurusan dengan Polri. Terakhir dan membuat masyarakat semakin bingung adalah kasus yang melilit Ketua DPR Setya Novanto (Setnov).

    Kasus Setya Novanto
    Bahwasanya KPK telah menetapkan kembali Setnov sebagai tersangka, setelah sebelumnya (dalam bahasa wam) dinyatakan bebas dalam bidang pra peradilan. Ia lepas dari jerat hukum pra peradilan, kendatipun putusan itu sejatinya menyalahi pakem penegakan hukum pidana yang pakemnya adalah menegakkan hukum dengan kebenaran materiil.

    Ini berbeda dengan penegakan hukum perdata misalnya, yang pakemya adalah kebenaran formal. Dalam hubungan ini pakar hukum, juga warga masyarakat untuk menerima keyakinan hakim atas alasan yang logis (la conviction raisonee) terkait dikabulkannya gugatan praperadilan Setnov dimaksud.

    Berbagai komentar bernada sindiran dan sarkas juga beredar luas di media mengiringi kebebasannya. Saat itu, dalam sidang praperadilan yang memang menurut Hukum Acara ditangani oleh Hakim Tunggal, sang Hakim Cepi Iskandar memvonis kasus dimaksud.

    Substansi putusannya menyatakan tidak sah atas penetapan Setnov sebagai tersangka sebagaimana ditetapkan oleh KPK. Buntutnya adalah meminta pada KPK untuk menghentikan penyidikan kasus dimaksud. Pada hal jika dirunut diketahui tidak hanya kasus ini saja yang membebaskan Setnov.

    Sebelumnya juga banyak kasus yang kurang lebih sama, yaitu sama sama menjeratnya dalam kasus korupsi tetapi semua kasus itu membuktikan kesaktiannya. Ia melenggang bebas.
    Kasus dimaksud, misalnya kasus hak tagih piutang Bank Bali di tahun 2001.

    Demikian pula kasus atau penyelundupan beras impor Vietnam di tahun 2006. Ada lagi kasus suap Ketua MK Akil Mochtar, dan beberapa kasus besar lainnya yang membebaskan atau tidak bisa menjeratnya. Setnov dinilai benar benar licin dan mampu berkelit dari jerat hukum yang sudah jelas secara materiil menjeratnya.

    Para pengamat menilai beberapa kejanggalan dari pembebasan Setnov ini, diantaranya, pertama, Hakim praperadilan menolak rekaman sebagai bukti keterlibatan Setnov. Padahal, rekaman yang dipilih dari ratusan bukti inilah yang dapat menjadi dasar kuat ditetapkannya Setnov sebagai tersangka dalam kasus dimaksud.

    Dalam hukum acara pun harusnya bukti itu diakui dan dapat dijadikan sebagai alat yang memperkuat tuduhan. Kedua, juga janggal bahwa praperadilan menghentikan proses penyidikan, karena keberadaan penyelidik dan penyidik, dan dalil permohonan Setnov yang sudah memasuki substansi pokok perkara.

    Hal ini sebagimana dinyatakan menyalahi pakem hukum pidana yang secara substantif menegakkan kebenaran materiil. Apakah soal dahulu mendahului dapat dijadikan sebagai alasan pembebasannya?. Ini hanya soal prosedur, yang mengabaikan keberadaan bukti materiil.

    Ketiga, hakim menunda mendengarkan keterangan ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia. Juga mengesampingkan para saksi ahli yang diajukan oleh KPK. Pada hal harusnya semua saksi baik dari terdakwa maupun Jaksa KPK didengar secara seimbang. Keberpihakan sangat nampak dicermati dari sisi ini.

    Keempat, dan ini lebih mendasar adalah ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Pada hal diketahui masyarakat bahwa lemgaga inilah yang dikenal sebagai institusi terpercaya dalam menyampaikan informasi berkait dengan penanganan korupsi dan subyek yang terlibat korupsi.

    Kelima, lebih aneh lagi putusan hakim yang memberikan pertimbangan bahwa cara mendapatkan bukti itu tidak berdasarkan hukum karena tidak sesuai prosedur.

    Dinyatakan bahwa barang bukti KPK terkait penyidikan kasus didapat secara tidak sah lantaran penyitaan bukti-bukti tersebut dilakukan berdasarkan Sprindik (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) pelaku lainnya, yaitu Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong. pada hal, sekali lagi bukti yang bersifat materiil harusnya dijadikan sebagai dasar dalam menegakkan kebenaran materiil. Darimanapun itu berasal.

    Penyidikan Kembali
    Bahwa pada akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka. Ketua Umum Partai Golkar itu kembali dijerat dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Pada 10/11/2017, penetapan Setnov sebagai tesangka kembali diumumkan oleh KPK.

    Tentu saja pengumuman ini menambah makin ruwetnya penegakan hukum kasus dimaksud. Masalahnya, secara normatif tidakkah kasus itu nebis in idem (terulang) penyidikannya?. Dalam hal ini, KPK berpegang pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.

    Substansi Perma ini adalah bahwa apabila dalam penetapan tersangka itu dibatalkan, penyidik dibenarkan untuk mengeluarkan surat perintah baru. Kedudukan Perma diketahui sebagai pelengkap Undang Undang.

    Oleh karena itu bukan nebis in idem, karena penetapannya didasarkan pada substansi baru yaitu namun penetapan Setnov ini didasarkan pada pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Sulit dinyatakan tetapi sangat terasa adalah terjadinya intrusi atau perembesan politik pada penegakan hukum dalam kasus ini. Bijak kata Aristioteles, yang arti bebasnya adalah: Hukum adalah sesuatu yang berbeda ketimbang sekadar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi.

    Hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar. Namun dalam kasus ini senyatanya hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya karena intrusi politik terhadap penegakan hukum yang kasat mata.***