MENUNGGU AUDIT PBS BODONG BERIKUTNYA

    Oleh: Dr. H. Joni, SH.MH.

    INI masih tentang PBS bodong. Tepatnya adalah kinerja dari tim yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kotim, diketuai Halikin Noor yang juga menjabat Asisten II Setda Kotim sebagai Ketua Pelaksana. SK yang dikeluarkan sekitar bulan Agustus 2016 yang lalu, dan mulai melaksanakan tugas ke lapangan Oktober 2016. Mulai bekerja, tim sudah menargetkan paling tidak ada yang diaudit minimal satu perusahaan. Ya, satu perusahaan (saja).

    Kinerja Tim ini telah dilaksanakan dan masyarakat juga sudah tahu PBS mana yang pada akhirnya terpilih untuk diaudit atau bahasa sosialnya dilakukan razia.

    Masyarakat juga tahu bagaimana hasil dari razia dimaksud. Dalam bahasa sederhana, PBS yang terkena razia itu ternyata juga mengalami semacam penyakit kronis. Mulai dari tidak dilaksanakannya CSR (Corporate Social Responsibility), perkebunan ditelantarkan atau tidak dioperasionalkan sebagaimana mestinya, sampai kepada penguasaan rakyat atas areal kebun dengan segala kompleksitas permasalahannya.

    Perusahaan yang sedang apes kena razia itu beroperasi di dua kecamatan yakni Mentaya Hulu dan Telawang. Perusahaan ini ditemukan sedang menggarap lahan seluas 537 hektar untuk perkebunan kelapa sawit.

    Tindaklanjut razia itu kemudian juga masih belum tertata. Dalam arti muncul permasalahan hendak diapakan lahan yang telah berhasil dirazia. Ada pemikiran menjadikan sebagai aset daerah. Namun sekali lagi belum final. Masih dicari dan belum ditemukan landasan administrative yang tepat untuk tindakan dimaksud.

    Hanya Satu

    Hal yang kemudian menggelitik untuk dikritisi adalah berkenaan dengan hasil razia yang hanya satu PBS dimaksud. Soalnya bukan mustahil, tanpa bermaksud menaruh kecurigaan bahwa temuan tim itu sumir.

    Sebab permasalahan PBS bermasalah atau PBS bodong itu ibarat gurung es. Hanya dan baru satu, dan tidak menutup kemungkinan masih ada (bahkan banyak) beroperasi jenis peusahaan lain yang kurang lebih melakukan aktivitas dengan modus yang kurang lebih sama.

    Hitungan awam saja, rasanya tidak mungkin jika hanya satu di antara sekian banyak perusahaan, dan sekian luas areal yang ada di kawasan Kotawaringin Timur yang menjadi obyek, dan hanya satu itu. Pada satu sisi dimaklumi bahwa kinerja tim memang berat.

    Tidak semata melaksanakan audit administratif tetapi juga yang menjadi permasalahan dan harus dilaksanakan adalah mengenai tindaklanjutnya. Di antara kinerja tim adalah mengevaluasi legalitas perusahaan.

    Tim juga bekerja dengan cara mencocokkan data legalitas perusahaan secara administrasi dan fakta di lapangan, sehingga dapat diketahui ketaatan perusahaan terhadap perizinan. Juga untuk mengetahui realisasi tanam yang sebenarnya apakah perusahaan menggarap di areal HGU (Hak Guna Usaha) atau justru ada yang menggarap di luar HGU seperti banyak dilaporkan masyarakat selama ini.

    Tetapi ketika hanya satu, mendatangkan berbagai pertanyaan atau tepatnya dugaan yuang tentu saja sah sah saja disampaikan. Misalnya tentang obyektifitas kinerja tim. Apakah tim ini telah melakukan pekerjaannya dengan pilih bulu atau tebang pilih?. Atau tidak obyektif dalam melaksanakan tugasnya.

    Untuk itu pada awal tugasnya kita menggarisbawahi sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Tim, Halikin yang menegaskan, tim audit ini benar-benar bekerja sesuai Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) sebagaimana dinyatakan di dalam SK pembentukannya.

    Termasuk mengenai anggaran sudah diperjelas karena menghindari hal negatif yang terkesan pemerintah hanya menggertak perusahaan. Di sini ada jaminan tentang ketebatasan tim, bahwa audit yang dilakukan hanya ke perusahaan Perkebunan Besar swasta (PBS).

    Sementara untuk aktivitas perusahaan tambang tidak diverifikasi. Alasannya karena yang banyak mendapat sorotan dan laporan masyarakat selama ini adalah perusahaan perkebunana kelapa sawit yang diklaim banyak menggarap lahan diluar HGU.

    Sekali lagi, bukan apa apa. Sekadar berbagi pemikiran atau sharing sehubungan dengan kinerja Tim dimaksud. Tetapi bagaimanapun hal ini harus dipandang sebagai masukan serius dan memerlukan kontremplasi untuk kinerja tim sejenis berikutnya. Yaitu tentang perolehan yang hanya satu PBS dan setelah itu benyem, alias tidak ada tindak lanjut biuk mengenai nasib PBS yang kena razia maupun audit atau verifikasi yang dilakukan terhadap PBS lainnya.

    Sekadar menyampaikan suara dari masyarakat, misalnya mengapa razia itu tidak ditujukan juga kepada perusahaan lain. Mengapa hanya satu perusahaan itu saja yang dilakukan verifikasi. 

    Ada kesan di balik alasan bahwa perusahaan yang bersangkutan itu menjadi sorotan masyarakat hanya alasan kamuflase. Apakah karena perusahaan yang bersangkutan tidak menjalin “hubungan” yang harmonis atas dasar saling menguntungkan dan saling nberbagi khususnya dengan pejabat terkait?.

    Suara demikian tentu saja datang bukan dari perusahaan yang kena razia. Seolah ada motivasi lain dari pelaksanaan razia, agar kemudian perusahaan lain menata diri agar tidak kena razia berikutnya. Untuk itu kemudian melakukan perbaikan hubungan atas dasar saling menguntungkan dengan pejabat terkait. Gambaran ini tentu saja masuk akal dan perlu penjelasan khususnya dari pihak terkait untuk memberikan klarifikasi tentang kebenarannya.

    Pada sisi lain, harapan untuk terus melakukan pembenahan terhadap PBS tetap mengemuka. Untuk membuktikan bahwa tidak terjadi hubungan yang tiak semestinya atau kongkalikong antara pejabat terkait dengan PBS maka harusnya dirazia.

    Dalam bahasa populer hal itu memberikan kepastian tentang dilaksanakannya razia yang hanya hangat hangat tahi ayam alias tidak serius. Pada mulanya begitu menggebu semangat untuk memberantas PBS bodong. Motivasi pun tinggi, dengan dukungan bebagai pihak dan harapan besar bisa menegakkan hukum untuk meluruskan berbagai penyimpangan yang tejadi di dalam pengelolaaan PBS.

    Razia yang dilaksanakan dan berhasil menjerat hanya satu perusahaan dilaksanakan karena ada motivasi tertentu yang bertentangan dengan asas pelaksanaan pemerintahan yang akuntabel. Namun dalam perkembangan berikutnya semangat menggebu itu habis tinggal kenangan.

    Oleh karena itu sekali lagi menepis rumor yang tentunya bisa merugikan Pemerintah Daerah yang mencetuskan SK hendaknya razia digalakkan kembali. Masyarakat menunggu tindakan razia yang terhenti dan hanya hangat hangat tahi ayam ini, untuk dilakukan kembali dengan semangat lebih berkobar sehingga seluruh PBS melaksanakan tanggungjawabnya secara clear and clean.


    (**Penulis adalah Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat Hukum dan Sosial Tinggal di Sampit)