SENGKARUT PEMBERHENTIAN AHOK

    Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH.

    INI adalah tentang Polemik status Ahok. Dalam bahasa sosial dalam kondisi sekarang ini Ahok, sang Gubernur Jakarta itu diberhentikan atau tidak. Bahwa statusnya yang sekarang dipertahankan, menimbulkan kegaduhan politik. 

    Status Pelaksana tugas (Plt) yang diemban oleh Sumarsono, pejabat yang ditunjuk sudah berakhir beberapa waktu lalu. Sesuai ketentuan, Gubernur petahana yang cuti kampanye karena ikut dalam Pilgub kemudian menjabat kembali.

    Pandangan Hukum

    Memahami fakta hukum yang ada secara obyektif adalah, pertama, Ahok diproses secara hukum, menjadi terdakwa dalam kasus penodaan agama. 

    Menurut ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2014, bahwa jangankan terdakwa, kedudukan sebagai tersangka saja sudah harus ada tindakan hukum berupa pemberhentian atau penonaktifan. Dari klausula ini, Ahok harus diberhentikan.

    Di dalam UU dimaksud (vide Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 diatur pemberhentian itu. Pada ayat 1 dinyatakan: “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

    Disebutkan pada ayat 2, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”. 

    Ayat 3 menyebut: “Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

    Tidak ada penafsiran lain. Ketetuan itu begitu tegas jelas. Juga tidak perlu penafsiran dari pakar hukum. Masyarakat awam saja juga paham mengenai ketentuan dimaksud.

    Kedua, faktanya bahwa sebagaimana dinyatakan statusnya sebagai terdakwa adalah karena melakukan tindak pidana penodaan agama. Dalam ketentuan yang ditulis dalam KUHP, bahwa penodaan agama itu hukuman maksimalnya adalah 4 (empat ) tahun.

     Sementara menurut ketentuan tentang pemberhentian itu adalah tindak pidana yang diancam pidana maksimal lima tahun. Ini juga fakta yang jelas, tidak ada penafsiran lain.

    Dari ihwal kedua itu, Ahok tidak harus diberhentikan. Ancaman pemberhentian kalau lima tahun. Sementara ancaman untuk penodaan agama empat tahun. Sebutlah penganut pendapat hukum pertama, dari argumentasi harus diberhentikan itu ada beberapa kasus yang bisa dijadikan sebagai yurisprudensi. Begitu status tersangka, diberhentikan.

    Tetapi argumentasi ini dibantah oleh pendapat kedua, bahwa itu seluruhnya adalah kasus korupsi yang ancaman hukumannya seurumur hidup. Ancaman hukuman sangat berat atau maksimal.

    Jalan Berikut

    Untuk mengakhiri silang sengketa atau sengkarut masalah ini, maka kemudian Mendagri Negeri Tjahjo Kumolo atas nama presiden mengajukan atau minta fatwa kepada Mahkamah Agung, soal tafsir dari UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dimaksud. Fatwa dijajukan intinya adalah untuk memberi pandangan hukum atas status gubernur yang disandang Ahok saat ini. Diberhentikan atau tidak.

    Atas permintaan tersebut, pada intinya bahwa MA tidak dapat memberikan pendapat hukum. Jawaban dalam bahasa sederhana dari MA bahwa tentang hal dimaksud masih dalam propses peradilan. 

    Dalam ketentuan normatif memang tegas dinyatakan bahwa memang Mahkamah Agung dapat memberikan pendapat hukum tentang suatu masalah jika diminta. 

    Namun ada syarat berikutnya bahwa permintaan itu berkenaan dengan suatu masalah yang tidak berada pada proses peradilan. 

    Tujuannya adalah untuk menjaga obyektifitas penanganan dan sebagai bukti bahwa MA sebagai peradilan tertinggi tidak terintervensi dan tidak mengintervensi lembaga lain. 

    MA harus mandiri. Secara internal MA tidak mendikte hakim di bawahnya yang sedang menangani kasus dimaksud.

    Tanpa bermaksud berbahasa politis, kendatipun tetap tidak telepas dari itu maka kemudian Tjahjo menyatakan tetap pada keputusannya untuk tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Atas sikap ini, ia menyatakan siap dipecat. Ia akan mempertanggungjawabkannya kepada presiden.

    Hal ini memastikan bahwa meski banyak tafsiran yang terus bergulir di luar sana, Tjahjo tetap pada pandangan hukumnya, bila Ahok, terdakwa diancam hukuman 4 tahun kepala daerah tidak diberhentikan. Kalau lima tahun ke atas, oke. 

    Untuk itu langkah praktisnya dia memilih menunggu jalannya sidang kasus penistaan agama yang sedang berproses di pengadilan. Katanya sampai penuntutan. Entah dasar hukum mana yang dipakai. Hal itu berarti masih berkali kali sidang lagi, alias masih lama.

    Harusnya Diberhentikan

    Bahwa para pihak sudah menyampaikan pandangannya tetapi secara yuridis sikap pemerintah (cq presiden Jokowi dan jajarannya) adalah memilih mendudukkan Ahok sebagai Gubernur.

    Presiden berpendapat, kendatipun banyak pihak yang meminta agar Ahok diberhentikan, untuk tetap mempertahankannya. Semua permintaan dan yang terjadi itu dipandang sebagai debatable.

    Dari silang sengkarut yang nampaknya masih akan panjang ini, satu pelajaran dapat dipetik bahwa bagaimanapun pada akhirnya kembali kepada dogma filosofis tentang tujuan dari adanya aturan tertulis. 

    Tujuan ini adalah sebagai tujuan hukum. Tujuan hukum meliputi tiga aspek yang harus secara komprehensif terpenuhi. Ini beada pada ranah ilmu penafasiran hukum (interpretasi).
    Secara yuridis dan sekaligus praktis, tujuan hukum itu ada tiga yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

     Tentang keadilan, dalam bahasa sederhana dinyatakan bahwa di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu norma hukum, nilai, keadilan, moral, dan etika. 

    Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi para pencari keadilan. Dari perspektif ini tidak syak lagi bahwa adalah adil jika Ahok diberhentikan.

    Akan halnya kepastian hukum itu adalah kepastian Undang Undang atau peraturan, Segala macam cara, metode dan lain sebagainya harus berdasarkan Undang Undang atau peraturan. 

    Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.

    Dari kepastian hukum ini, dengan merujuk pada kasus sebelumnya juga disimpulkan bahwa Ahok harusnya diberhentikan.

    Dari segi kemanfaatan, bahwa, hukum berfungsi sebagai alat untuk memotret fenomena masyarakat atau realitas sosial. Dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. 

    Bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak- banyaknya warga masyarakat.
    Dari sisi ini, tidak ragu bahwa Ahok harusnya diberhentikan.

    (Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengamat Hukum dan Sosial Tinggal di Sampit)