​STIGMATISASI ISLAM DALAM MASYARAKAT MAINSTREAM 

    Muhammad Said*

    Stigmatisasi Islam dan Muslim dengan radikalis,  Fundamentalis,  Intoleran dan tradisional di negara yang masyarakatnya mayoritas Muslim di dunia telah melampaui ambang batas stigma di negara-negara sekuler seperti Eropa dan Amerika cs.

    Jika stigmatisasi terjadi di negara sekular menjadi bisa dimafhumi lantaran propaganda besar media Barat.  Gelombang konversi agama dari Kristen-Katolik ke Islam secara intens di Germany,  Belanda,  Belgium,  UK,  Perancis dan negara Eropa lain merupakan reaksi psikologis,  kesadan transendental mereka yang azali dan reaksi nalaritas positif mereka atas sikap-sikap sosial umat Islam yang dianggap humanis,  Inklusive dan toleran.

    Jika hari ini ditemukan stigmatisasi secara sistematis terhadap Islam dan Muslim,  maka bisa jadi itu menjadi ujian untuk menunjukkan  Derajat Islam yang mengakomodir semua risalah nabi Isa,  Nabi Musa,  Nabi Daud,  Nabi Ibrahim dan nabi- nabi lain dan memlengkapi semua ajaran mereka terutama dalam aspek humanity and spirituality ke derajat yang lebih tinggi.  

    Pada sisi lain,  Stigmatisasi harus dimaknai secara positif sebagai seruan bagi Muslim membangkitkan kesadaran sense of responsibility dalam mewujudkan the unity of Iman, dan the unity of brotherhiod among Muslim (ukhwah Islamiyah). 

    Kekuatan jama’ah di kalangan umat Islam secara historis diakui menjadi modal sosial (social capital),  modal politik (political capital) yang sangat merisaukan the other (pihak) lain kala itu.  Ukhwah Imaniyah dan ukhwah Islamiyah memiliki magnet dan power yang sangat dashat dalam pandangan musuh. 

    Itulah sebabnya kenapa sejak Unisoviet kalah dalam perang ideologi antara sosialisme dan Kapitalisme yang dimotori Amerika,  Islam dengan kekuatan jama’ah dipandang sebagai the next enemy,  musuh selanjutnya. Itu pula kenapa memecah kongsi jamaah (persatuan umat Islam) dianggap sebagai salah satu di antara 13 strategi kitu Yahudi dan Musuh Islam lain yang harus terus digalakkan hingga sampai pada titik krisis. 

    Stigmatisasi harus disikapi secara arif sebagai seruan untuk menunjukkan derajat Islam sebaga la yu’la alaihi,  tidak ada yang lebih tinggi di atasnya dengan memperlihatkan secara kongkrit sikap santun dan penuh toleran walaupun terlanjur terluka sekalipun. 

    Islam sebagai sesuatu yang given dari sisi Allah harus benar-benar membumi melalui sikap solidaritas sosial,  kesantuan sosial dan empati sosial sehingga Islam sebagai agama yang dijamin originalitas,  Autentifikasi dan kebenarannya dalam mewujudkan perdamaian benar-benar menjadi the living religion,  Agama yang hidup,  Agama yang fungsional dan agama yang mampu menfilter stigma negatif yang kini gencar distigmatisasi. 

    Kita percayakan dengan penuh keyakinan bahwa jika starting point stigmatisasi didasari the blessing indisguish, rahmat terselubung, mengangkat namun meruntuhkan citra baik Islam dan Muslim sebagai kelompok intoleran,  tidak demokratis dan eksklusif, maka dengan keykinan transendental bahwa hasbunallahu wa ni’mal wakili, kuasa Allah meliputi makar manusia,  maka kita percayakan dan saksikan ketetapan Allah sebagai hukuman atas perilaku makar manusia. Akhirnya, sebagai penganut Islam tidak perlu risau berlebihan atas stigmatisasi silih berganti dalam beberapa episode belakangan.

    Secara sosiologis,  stigmatisasi Islam dan Muslim tidak benar-benar terjadi sebagaimana yang kini beredar luas,  melainkan refleksi dari kerisauan politik,  kekhawatiran ideologis dan clash of culture. Maka realitas yang harus dikonstruksi benar-benar harus mencerminkan realitas yang oposisi biner dengan realitas arus utama (mainstream).  Artinya,  Stigmatisasi merupakan sebuah product konstruksi sang pemilik power dan authority atas nama kepentingan pokitik, rotasi kekuasaan, aliran ideologi,  Kelompok dan ras serta kepentingan lain.  

    (Penulis adalah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)