​Kasus Korupsi e-KTP Sebuah Drama Yang “Akan Berakhir” Karena KPK Telah Menetapkan Setya Novanto Sebagai Tersangka

    SETELAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, yang ditayang diberbagai media elektronim (TV) dan cetak serta media online (medsos), tak ayal lagi jutaan rakyat Indonesia, terbelalak begitupula penulis.

    Lantaran uang rakyat yang akan digunkan di mega proyek e-KTP Rp 5,9 triliiun, dikorusi secara halus (diminta) oleh Setya Novanto jumlahnya tidak tanggung-tanggung Rp 574 milliar. Awalnya orang yang dua kali bulak-balik/keluar masuk jadi Ketua DPR.RI,yang dituding korupsi e-KTP mangkir, karena dirinya ‘merasa bersih’.

    Namun berkat kerja keras KPK yang didukung sejumlah pihak yang berani ‘bejibaku’ demi rakyat dan negara. Akhirnya, pentolan orang nomor satu di DPRD oleh KPK ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP, maka pengamatan penulis kasus korupsi e-KTP yang semula bagaikan sebuah drama tanpa apkir, kini akan berakhir.

    Kenapa tidak ? Coba saja kita simak rentetan peristiwa korupsi e-KTP sejak Muhammad Nazarudin berkoar dalam siadang di Pengadilan,me nyebut  nama-nama oknum elit birkorasi dan elit politik yang terlibat. Nampaknya bagaikan ceritra drama yang tanpa akhir.

    Lantara sejumlah elit politik di DPR.RI,baik yang purna dan masih tugas, banyak yang mangkir, seperti halnya Setya Novanto dia dihadapan ratusan awak media mengatakan dirinya tidak terlibat. Padahal sebelumnya telah terungkap beberapa nama sebagai “pemain kunci” di mega proyek e-KTP tersebut, antara lain disebut-sebut nama Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang lebih dahulu jadi tersangka.

    Peran Setya Novanto seperti dibeberkan jaksa penuntut umum, (Sumber d-com), bahwa KPK dalam surat dakwaan untuk dua terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP. Novanto disebut telah meminta jatah Rp 574 miliar bersama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Permintaan jatah itu dilakukan ketika DPR mulai membahas RAPBN tahun anggaran 2011 pada Juli-Agustus 2010.

    Saat itu, anggaran proyek e-KTP juga mulai dibahas. Saat itu, Andi Narogong selaku pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri, yang mengurusi proyek e-KTP, diduga mulai lebih intens bertemu dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin. Pembahasan anggaran itu pun mencapai konklusi dengan menggunakan uang negara sebesar Rp 5,9 triliun.

    “Karena anggota DPR (Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin) tersebut dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar yang dapat mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional,” ucap jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Selatan, Kamis (9/3/2017).

    Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, mereka diduga bersepakat DPR akan menyetujui anggaran kurang-lebih Rp 5,9 triliun tersebut dengan pengawalan dari Partai Golkar dan Partai Demokrat dalam pembahasannya. Untuk itu, anggota Dewan meminta imbalan.

    “Guna merealisasikan pemberian fee tersebut, Andi Agustinus alias Andi Narogong membuat kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran KTP elektronik yang kurang-lebih senilai Rp 5,9 triliun,” kata jaksa KPK.

    Terdakwa kasus e-KTP yang merupakan mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Irman menyebut Novanto sebagai pemain kunci di kasus e-KTP. Novanto memegang kendali di kasus itu. “Kan Andi ngomong, kuncinya bukan di Pak Burnap (almarhum Burhanudin Napitupulu, Ketua Komisi II DPR), tapi di Pak Setya Novanto, Ketua Fraksi Golkar. Pak Burnap berada di bawah kendali Pak Setya Novanto,” kata Irman seperti tertuang dalam salinan berita acara pemeriksaan.

    Saat sidang, Irman menyebut Andi memberitahunya bahwa kunci anggaran proyek e-KTP bukan Komisi II, melainkan Setya Novanto. Novanto saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar.

    “Andi menyampaikan kepada saya, ‘Tapi Pak Irman, ini Pak Sugiharto saksinya, kunci anggaran proyek ini nanti bukan Komisi II, SN,” ujar Irman. “Oleh karena itu, kalau berkenan, saya harus pertemukan Pak Irman, Pak Sugiharto, dan SN. Itulah awal mula pertemuan di Gran Melia. Seminggu sebelum bertemu di Gran Melia,” jelasnya. Pengamatan penulis seandainya tidak ada KPK, mau jadi apa masa depan Indonesia ini. SELAMAT KPK

    (Maman Wiharja)