Perjalanan Akademik Rana Sausan di Negeri Tirai Bambu

    Oleh: Wira Prakasa Nurdia**

    Semua ini bermula pada empat bulan yang lalu, tepatnya pada momen hari raya Idul Fitri Juni 2017. Saya berkesempatan untuk silaturahmi di kediaman salah satu mahasiswa Jogja, Rana Sausan asal Kotawaringin Timur (Kotim) di kota Sampit.

    Perbincangan kami saat itu seputar akademik dan bertukar pendapat mengenai keunikan khazanah kampus kami masing-masing. Ia pun tak lupa bercerita bahwa ia sudah pernah melakukan perjalanan akademik di kawasan Asia Tenggara melalui program khusus dari kampus di mana ia belajar, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Saya dibuat terperangah ketika ia menuturkan bahwa dalam waktu beberapa hari ke depan akan terbang ke Beijing, China dalam rangka belajar dan mengenal kebudayaan di sana.

    Sepulang dari tempatnya, saya lantas berniat untuk menghimpun perjalanan akademiknya tersebut dalam satu reportase. Hal ini bukan tanpa alasan, buat seorang mahasiswa seperti saya, tak ada yang istimewa dan menyenangkan selain membagikan kisah menarik dan inspiratif untuk memotivasi orang lain.

    Perlu digarisbawahi, bukan sebagai pelaku, melainkan sebagai penyalur cerita. Kini saya ingin membagi kesenangan kecil ini kepada Anda. Singkat cerita, kami pun bersepakat, dan menjadwalkan pertemuan untuk kebutuhan tanya-jawab, beberapa bulan lepas dari rangkaian kegiatannya di luar negeri.

    Rabu, 3 Oktober 2017 pukul 19.00, di sebuah kos-kosan tak jauh dari pertigaan jalan Dusun Baransari, Kaliurang, Yogyakarta. Seorang warga yang sedari tadi duduk sambil memerhatikan, bertanya kepada saya dengan logat khas Jawa Timuran.

    “Maaf, ndelok sopo yo, Mas?”. Saya menjawab dengan santun, ingin bertemu dengan Rana Sausan dan menjelaskan bahwa sebelumnya sudah sepakat ingin jumpa di tempat tersebut. “..ohh Mbak Rana ya”. Ia mengucap seraya mengembangkan bibirnya, berupaya ramah.

    Sejauh mata saya memandang, bangunan tersebut lebih layak disebut home stay dibandingkan indekos Jogja pada umumnya. Eksteriornya bergaya minimalis, dengan tiang pancang berjejer menopang genteng yang menjulur ke bawah.

    Sementara, halamannya tak kalah apik, dan luas, terdapat taman mini berbentuk lingkaran yang cukup asri, diapit tembok kokoh dengan terali berkelindan rumput hias di atasnya. Sangat megah untuk ukuran mahasiswa seperti saya.

    Tak berselang lama, seorang perempuan berbadan ideal berkulit putih berjalan menuruni tangga beranda indekos menuju halaman tempat saya menunggu. Perempuan itu adalah Rana Sausan, mahasiswi yang sudah saya tunggu itu.

    Rana orangnya periang. Saat itu dia mengenakan kerudung rapat yang disetel dengan piama tidur serta balutan sweater hitam. Ia menyambut ramah. Saya spontan menyodorkan tangan untuk berjabat. “Mari, langsung ke ruang tamu saja, Bang”. Ia mengarahkan tangannya ke atas, mempersilakan. Saya memintanya untuk berjalan di depan dan kami perlahan menapaki tangga. Persis di sudut ruangan atas, terdapat tiga tempat duduk dan satu meja. Ia meminta saya duduk dan menunggu sembari mengambil kudapan. Dalam hati saya menduga bahwa tempat itu bukanlah ruang yang diperuntukkan khusus untuk tamu, melainkan pojok kosong yang disulap menjadi ruang bertemu, berkumpul, atau sekadar bersantai. Indikasi saya tersebut lantaran posisinya yang tidak lumrah yakni berada di dekat tangga. Saya kemudian memilih untuk duduk di kursi yang persis membelakangi pagar pembatas tangga. Tak lama, Rana datang menenteng sesuatu dan duduk di kursi tengah dengan posisi badan menyerong.

    Rana memperlihatkan kepada saya sebuah sertifikat dari Beijing International Chinese College dengan bahasa Mandarin dan Inggris, di mana terpampang gambar dan namanya pada sertifikat tersebut. “Ini merupakan sertifikat yang Rana dapatkan saat belajar di China kemarin, Bang”. Ujarnya, pelan.

    Rana menceritakan bahwa perjuangannya untuk meraih program abroad ke negeri berjuluk Tirai Bambu tersebut tidak mudah. Sebelum ia berhasil bertandang ke China, ada beberapa program kerjasama luar negeri serupa yang gagal diikutinya. Namun, perempuan berusia 21 tahun ini bukanlah sosok yang mudah menyerah, selain itu ia juga pandai melihat peluang.

    “Rana sudah beberapa kali berangkat namun ujungnya gagal, kemudian gagal lagi. Tapi pada program ini Rana melihat peluangnya lebih besar, dan Alhamdulillah dapat berangkat”.

    Rana juga menjelaskan bahwa banyak hal yang dapat dipetiknya dari perjalanan akademik tersebut. Ia mendapatkan metode pembelajaran yang berbeda dari Indonesia, di samping itu ia banyak mengenal orang-orang dengan latar kebudayaan lain, dan tentunya berkesempatan secara eksklusif mengunjungi situs-situs bersejarah di China.

    “Metode pembelajaran di China cukup berbeda dengan Indonesia secara teknis, karena ada tutor yang berkeliling untuk mengawasi mahasiswa. Di sini kecenderungan orangnya juga mobile dalam artian etos kerja mereka tinggi, cukup berbeda dengan pola hidup orang Indonesia”. Selorohnya.

    Meskipun hanya dua minggu, ia dituntut cepat beradaptasi dengan lingkungan, kebudayaan dan waktu setempat, yang dalam hal tertentu kadang menyulitkannya kendatipun tidak begitu signifikan.

    Ia mencontohkan bahwa di awal harus bangun pukul 2 pagi untuk melaksanakan shalat Shubuh dan mengeluhkan cuaca yang terlampau ekstrem untuk suhu panas di kawasan tropis seperti Indonesia.

    Dalam kasus lain, ia tidak memungkiri bahwa banyak teman-temannya yang menghubung-hubungkan perjalanannya ke luar negeri dengan latar belakang ekonomi keluarganya yang dirasa berkecukupan.

    Menanggapi hal tersebut perempuan yang gandrung dengan warna coklat ini buru-buru menampik, bahwa segala sesuatunya tak luput dari tekad, komitmen, serta usaha. “Segala sesuatunya harus dilakukan dengan usaha, modal niat saja tidak cukup”.

    Dengan nada lugas, ia memberikan contoh pengalamannya ketika pergi keliling Asean satu tahun sebelumnya, di mana ia mengirimkan proposal bantuan kepada Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur, namun tak ada respons sama sekali.

    Padahal misi yang diusungnya tersebut juga berkelindan dengan semangat untuk memajukan daerah. Dalam proses tersebut ia bahkan harus melibatkan orang tuanya untuk “turun tangan”, menindaklanjuti proposalnya yang tercekat di bagian administrasi.

    Setelah merasa semua usaha dikerahkan namun berujung buntu dan sia-sia, ia lantas menarik permohonannya tersebut. “Ironis memang, juga ada rasa kecewa, tapi Rana gak berhenti sampai di situ. Tekad harus terus dijalankan”. Tukasnya dengan alis yang sedikit mengkerut.

    Gadis berdarah Sunda ini masih memendam hasrat ingin mengunjungi negara-negara lain di luar Asia untuk dijadikan destinasinya, terutama kawasan Eropa. Ia bercita-cita ingin berkuliah di Inggris, London. London selain merupakan kota mode, salah satu pusat peradaban dunia, juga merupakan kota yang cocok untuk menimba ilmu. Banyak terobosan ilmu pengetahuan dunia yang berawal dari kota dengan ikon menara Big Ben ini. Hal tersebutlah yang mendorong dirinya untuk terus menjaga asa berkuliah di luar negeri dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya.

    “Rana bukan orang yang rakus, tapi mimpi harus tetap dipegang teguh”. Ibarat sebuah mantra yang memendarkan keajaiban, Rana juga mempunyai falsafah yang ia tuangkan ke dalam prinsip hidupnya. “Bila kegagalan itu bagaikan hujan, dan keberhasilan bagaikan matahari, maka butuh keduanya untuk dapat melihat pelangi”. Falsafah tersebut ia pegang sampai saat ini.

    Tentu pengalaman berharga berkunjung ke berbagai negara tersebut tak ia dapatkan jika keluarganya tidak mendukung penuh kegiatannya. Ia bersyukur terlahir di tengah-tengah keluarga yang memberikan komitmen maksimal terhadap perkembangan dirinya secara intelektual.

    Ia meyakini restu orang tua merupakan modal paling penting untuk melangkah. Ia juga tak lupa berpesan kepada generasi muda, terutama generasi muda Sampit di kota kelahirannya, bahwa mimpi merupakan suatu keniscayaan jika dibarengi dengan tekad, usaha dan keyakinan.

    (**Mahasiswa Asal Sampit yang Tinggal Di Jogyakarta)