Kopi Darat Bersama Ulil Abshar Abdalla, Apa Hasilnya ?

    Oleh: Wira Prakasa Nurdia

    Sabtu 28 Oktober 2017, seharusnya acara dimulai empat puluh menit yang lalu, tepatnya pada pukul 19.30 WIB, pada waktu yang sama, saya masih memacu kencang sepeda motor butut saya membelah kemacetan kota Yogyakarta.

    Maklum, malam itu adalah malam minggu. Sebagian jalan bahkan ditutup, seperti Jalan Jendral Sudirman menuju ke arah utara, tepatnya kawasan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ruas jalan nampak tak kuasa membendung serbuan pengemudi roda empat yang begitu dominan.

    Alhasil, kemacetan pun tak terhindarkan. Saya mesti memutar kepala mencari jalur alternatif untuk sampai ke tujuan. Tiga puluh enam menit lepas itu, motor saya melaju ragu di sekitar lokasi sambil sesekali celingukan mencari alamat lokasi yang menurut Google Maps terletak tak jauh dari posisi saya berada.

    Tak butuh waktu lama, akhirnya saya temukan tempatnya, sebuah Yayasan dalam bentuk perguruan tinggi milik salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Nama perguruan tinggi tersebut pun diserupakan, yakni Universitas Nahdlatul Ulama atau populer dengan sebutan UNU.

    UNU terletak di jalan Lowanu, agak menjorok ke selatan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Universitas yang memiliki lambang kental dengan corak hijau muda itu baru saja diresmikan pada bulan Maret lalu (10/3/2017), dihadiri langsung oleh ketua umumnya KH Said Aqil Siradj dan Menteri Negara Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhammad Nasir.

    Acara malam itu mengusung tema “Kopi Darat (Kopdar) bersama Ulil Abshar Abdalla,” dengan pembahasan kronik Kitab babon Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Selain Mas Ulil, ada dua pembicara lokal yakni Kuswadi Syafei dan Habib Syech Zaenal Abidin Maula Adid.

    Ketiganya mendedah kitab tersebut dari perspektif yang berbeda-beda sesuai jatah dan kompetensinya masing-masing. Patut diingat, selain sebagai ajang silaturahmi –seperti kata pengantar Mas Ulil ketika dialog dimulai- acara tersebut juga dalam rangka memperingati Hari Santri yang memang ditetapkan seminggu sebelumnya, pada tanggal 22 Oktober.

    Tak berselang lama pada pukul 20.10 WIB, acara pun dimulai, diawali dengan menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya lalu diikuti mars Nahdlatul Ulama dan shalawatan. Ratusan peserta nampak antusias ketika lagu nasional dikumandangkan, pun juga larut saat shalawat dilantunkan.

    Dibaris peserta, tak ada dikotomi yang berarti antara perempuan dan laki-laki meskipun juga keduanya tak berbaur satu sama lain. Ini mengingatkan saya pada salah satu judul essay seorang poliglot Agus Salim, dituliskan pada tahun 1948 yang mendobrak kebiasaan memisahkan jemaah laki dan perempuan dengan kain hijau tatkala ada pengajian.

    Sesekali saya menghela batuk akibat kepulan asap rokok peserta yang menguap bebas di udara. Jamaah NU, kata Said Aqil Siradj–dikutip pada web portal NU- identik dengan rokok meskipun aktivitas merokok atau tidak bukan suatu ukuran kadar ke-Nu-an seseorang.

    Saat acara dimulai, peserta masih banyak yang berdesakan dan berjubel di pintu masuk, memaksakan sisa ruangan yang sebetulnya sudah tidak muat. Panitia sampai kerepotan lantaran kuota yang disediakan tak mampu membendung antusiasme peserta. Malam itu laki-laki memang lebih dominan dibandingkan perempuan dari segi jumlah kuota.

    Mas Ulil lantas membuka diskusi dengan pembacaan tilawatil Quran. Lantunannya sangat luwes dan syahdu, membius seisi ruangan. Sosoknya saat itu tak menunjukkan bahwa ia dulu begitu dimusuhi oleh umat Islam Indonesia lantaran pemikirannya dianggap kontroversial.

    Ya, 16 tahun silam dirinya banyak dikecam karena mempromosikan suatu tradisi pemikiran yang tidak dikenal dalam metodologi serta khazanah Islam klasik, yakni Islam liberal, atau sederhananya Islam yang berorientasikan pada keterbukaan pemikiran dan mendorong rekontekstualisasi ayat sesuai dengan kebaruan zaman.

    Akibatnya, 4 tahun setelahnya ia difatwakan murtad oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat. Sebelumnya, peserta diberikan tulisan Mas Ulil sebanyak dua lembar mengenai analisisnya terhadap kitab Al-Ghazali.

    Tulisan tersebut menjadi pegangan peserta sepanjang diskusi berlangsung. Beberapa tidak membaca (termasuk saya) karena ditulis dengan menggunakan huruf Arab pegon (gundul).

    Tulisannya berbahasa Arab tersebut, bagi saya pribadi mencerminkan keluasan wawasan serta pengetahuannya. Ia banyak menulis artikel baik itu bahasa Indonesia, Inggris, Arab, bahkan Perancis. Pada titik ini dirinya patut disematkan julukan intelektual yang mumpuni.

    Namun, ternyata ia justru memberikan pengakuan yang berbeda, dalam kesempatannya tersebut ia mengatakan kalau dirinya malas membaca buku. “Sebetulnya saya malas membaca, namun forum ini mau tidak mau mendorong saya untuk membaca. Kalau tidak membaca, apa yang mesti saya sampaikan,” Celotehnya, diiringi dengan gelak tawa peserta.

    Alumnus Universitas Harvard ini juga menjadikan literatur Islam klasik macam kitab Al-Ghazali tersebut sebagai tuntunan dalam hidupnya. Bahkan ia menyebut Al-Ghazali adalah tokoh yang sejajar dengan ilmuwan-ilmuwan gigantik barat.

    Salah satu manfaat mempelajari kitab tersebut diakuinya sebagai dorongan untuk menahan diri untuk melakukan hal-hal yang berlebihan, termasuk makan. Menjadikannya lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi sesuatu.

    “Di supermarket banyak sekali saya temui makanan dengan ukuran yang besar dan banyak sekali. Padahal jika dipikir-pikir diameter mulut kita ini tidak seberapa, tidak muat menampung makanan seperti itu,”
    Pertemuan dengan Ulil kali ini berbeda, sebelumnya kami berjumpa dan ia banyak memaparkan perkembangan intelektual di dunia barat dan dampaknya pada negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.

    Namun malam itu ia lebih fasih berbicara agama, kearifan, kesederhanaan dan memaknai kehidupan dalam tiap deru nafas manusia. Hari itu, saya banyak belajar darinya.