Buruh Bantilan, Bagaikan “Tikus Mati Dilumbung Padi” Apa Sebab ?

    PANGAKALAN BUN – Hampir dua bulan lebih ini para buruh atau pekerja di Bantilan, bagaikan “Tikus Mati Dilumbung Padi” Artinya, mereka para Buruh bantilan banyak duduk duduk manis, akibat tidak ada kayu.

    Sementara di sekeliling Kabupaten Kotawaringin Barat, banyak hamparan hutan kayu tumbuh subur. Namum, hamparan pohon kayu itu sulit untuk diperoleh masyarakat.

    Akibatnya, para pekerja bantilan saat ini lebih banyak menganggur karena dampak kesulitan mendapatkan bahan kayu yang ada di olah.

    “Tinggal menghitung hari saja mungkin kami akan jadi pengangguran Pak, entah mau kerja apa lagi nanti kalau usaha pekerjaan ini ditutup karena sulit mendapatkan bahan kayu,” kata Jarkawi salah seorang buruh di bantilan di Kampung Baru Kecamatan Arut Selatan, saat dibincangi beritasampit.co.id, Selasa (7/11/2017).

    Menurut Jarkawi sekarang dirinya dan teman temannya sudah pasrah tinggal menunggu kebijakan dari pemerintah saja. “Sekarang semua kebutuhan hidup sudah pada naik, apa jadinya jika pekerjaan ini benar benar gulung tikar karena sulit dapatkan kayu, mau dikasih makan apa anak dan istri saya dirumah,” keluh Jarkawi.

    Sama halnya yang dituturkan Amang, dirinya bingung karena dia memiliki anak yang saat ini tengah melanjutkan pendidikan di semarang yang setiap bulannya membutuhkan biaya untuk makan dan bayar kost.

    “Entah apakah nanti anak saya bisa melanjutkan kuliah atau tidak kalau kondisi sepi begini,” ucap Amang sembari meneguk kopi.

    Sementara salah seorang pemilik bantilan yang enggan ditulis namanya membenarkan sudah hampir dua bulan ini mengalami krisis dampak sulit mendapatkan bahan kayu, sedangkan permintaan selalu ada baik dari masyarakat ataupun pemerintah, untuk kebutuhan bangunan.

    “Disini ada sekitar 25 bantilan /galangan yang memiliki ribuan buruh, kesemuanya mengalami nasib yang sama nyaris tutup karena memang kami sulit mendapatkan bahan untuk diolah, sedangkan kami selama ini hanya sebagai pemasok kebutuhan lokal saja, itu pun masih kurang karena stok terbatas,” keluhnya.

    Diapun mengatakan untuk buruh saja sudah kelihatan banyak yang menganggur yang secara otomatis berdampak pada penghasilan dimana menurutnya biasanya untuk setaip satu orang buruh mendapatkan upah bekisar Rp 150.000 sampai Rp 200.000 per harinya.

    “Sekarang apa yang mau dikerjakan, biasanya perputaran uang disini (bantilan) untuk setaip harinya mencapai Rp 200 juta lebih, tapi sekarang semuanya menurun dratis, kami harap pemerintah dapat melihat kenyataan ini, mohon kebijakan agar kami bisa melangsungkan usaha ini,” imbuhnya dengan penuh harap.

    Saat ini menurutnya untuk harga kayu lokal saja dijual dengan harga Rp 3 juta per m3 sedangkan untuk kayu jenis ulin mencapai Rp 7 juta per m3. “Itupun kalau ada bahannya, ini sudah mahal tapi langka untuk mendapatkan bahan kayunya,” ujarnya.

    (man/beritasampit.co.id)