MENGGUGAT DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT

    Oleh: H. Joni

    Kita tentu prihatin dan turut memikirkan solusi terhadap ungkapan Ketua Komisi I DPRD Kotim, Handoyo J. Wibowo tentang sumbangsih Perusahaan Besar Swasta (PBS) yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.

    Pasalnya sumbangan PBS itu masih sangat minim kalau boleh disebut nol persen khususnya untuk pendapatan daerah. Konkretnya adalah terhadap Dana Bagi Hasil (DBH) atau dana perimbangan dari Pusat ke Daerah. Bisa disebut bahwa tidak ada yang berasal dari sektor perkebunan.

    Perkebunan Begitu Luas
    Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Kalteng, bahwa luas perkebunan di Bumi Tambun Bungai ini mencapai 1.884.260,37 hektare (ha).

    Memerinci lebih lanjut bahwa dari luasan itu didominasi oleh komoditi kelapa sawit, yaitu seluas 1.411.018,41 ha. Kemudian disusul perkebunan karet 448.493,82 ha dan selebihnya tanaman kelapa 30.431,81 ha.

    Sementara dari sisi perkembangan perizinan perkebunan besar, hingga Juli 2016 yang lalu sudah sebanyak 327 unit dengan luas areal keseluruhan mencapai 3.953.587,058 ha.

    Jika dirinci luasan itu terdiri dari 177 unit telah operasional dan 150 unit belum operasional, dan tentunya di penghujung tahun 2017 ini kisarannya sudah berubah.

    Tambahan lain, telah dibangun sebanyak 97 unit pabrik kelapa sawit, dua unit pabrik minyak goreng dan empat pabrik crumb rubber.

    Membandingkan dengan areal secara nasional, luas areal perkebunan di Kalimantan Tengah secara keseluruhan berada diurutan keempat setelah Provinsi Riau seluas 3,1 juta hektar, Sumatera Selatan seluas 2,2 juta hektar dan Sumatera Utara seluas 2,1 juta hektar.

    Kita tidak tahu persis apakah daerah lain khususnya yang menempati ranking 1 sampai 3 itu juga mengeluhkan hal yang sama. Jika memangh iya, maka hal itu berarti merupakan keluhan nasional yang ditujukan kepada ketidakadilan prosentase atas DBH yang berasal dari PBS.

    Berdasarkan angka ini, sejatinya hal yang bisa disebut tidak masuk akal jika pemasukan untuk Daerah tidak ada alias nol. Secara konkret hal ini dapat disebut sebagai ketidakadilan perlakuan terhadap Pemerintah Daerah.

    Pasalnya sangat jelas bahwa lokasi dari perkebunan dimaksud berada di bumi Kotawaringin Timur yang pada awalnya bisa disebut sebagai penyumbang terbesar industri perkayuan ketika masa jayanya eksploitasi terhadap hutan yang ramai dan sebagai puncaknya pada tahun 2000an yang lalu.

    Dasar Hukum dan Problem Yuridis

    Bahwa pada dasarnya Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi daerah.

    Tujuannya tidak lain adalah untuk peningkatan pelayan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.

    Berdasarkan Undang Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

    Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana Bagi Hasil ini bersumber dari Pajak dan kekayaan daerah.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, DBH yang berasal dari pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

    Sedangkan Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang N0.33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi dan Pertambangan Panas Bumi.

    Jadi sekali lagi tidak ada yang berasal dari sumbher atau seKtor perkebunan.
    Secara yuridis pokok soalnya adalah pada pengaturan berdasarkan Undang Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan Undang-Undang No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.

    Ketentuan dalam UU itu menyebut bahwa sumber pendapatan berasal dari sektor yang disebutkan yaitu kehutanan, pertambangan, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. Tidak termasuk di sana sumber yang berasal dari perkebunan.

    Membaca legal reasoning mengapa DBS tidak ada yang berasal dari perkebunan, didasarkan pada kenyataan konkret bahwa saat diberlakukannya UU dimaksud masih belum ramai adanya PBS.

    Kondisi yang tentunya sangat berbeda sat sekarang ketika hutan sudah jauh berkurang arealnya. Sebagai gantinya adalah beralihnya sektor kehutanan ke sektor perkebunan dengan diawali konversi pengelolaan dari kehutanan menjadi PBS.

    Kepastian dari hal ini bisa dicermati pada kenyataan bahwa pengaturan terhadap permasalahan tersebut secara nasional menunnuk pada kalender tahun 2004. Artinya ketika dicermati saat sekarang sudah tiak relevan lagi.

    Hal ini yang secara substantif menunjukkanan ketidakadilan dalam hal distribusi pendapatan bagi Daerah.
    Mencermati mengapa DBH tidak ada yang dari sektor perkebunan, argumentasi dari Pusat menunjuk bahwa DBH hanya untuk komoditas yang tidak terbarukan.

    Sedangkan kelapa sawit bisa ditanam kembali dan tumbuhnya ditanam oleh manusia, sehingga potensi ini senantiasa terbarukan. Tentu saja alasan demikian tidak adil. Sebab terbarukan atau tidak sejatinya tergantung pada prosentase konkret atas pendapatan yang berasal dari PBS.

    Soal argumentasi bisa dibuat. Memangnya kalau terbarukan, tidak ada tanggungjawab untuk membayar atau keharusan untuk dapat dipungut dana dari pengelolaan sumber yang terbarukan itu?.

    Tentu saja hal ini lucu, karena antara argumentasi tidak terbarukan sumber pendapatan dengan tidak dipungutnya sana dari sumber yang terbarukan itu tidak nyambung.

    Sementara Pendapatan Daerah dari sektor perkebunan kelapa sawit hanya diperoleh dari sektor pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kendaraan dan pendapatan lainnya yang bukan dari produk kelapa sawit dan produk turunannya.

    Oleh karena itu tentunya berharap ada kesatuan pendapat yang perlu pula ditindaklanjuti untuk melakukan revisi segera terhadap sumber hukum yang mengatur hal dimaksud.

    Disini jelas bahwa dengan mencermati prinsip dan rasa keadilan sebagai daerah penghasil yang arealnya begitu luas justru terabaikan.

    Hal ini tidak sejalan dengan semanghat otonomi daerah yang memberikan keleluasaan dan keluasan kepada daerah untuk berkembang demi peningkatan kesejahteraan rakyat atas dasar sumber potensi alam yang ada di daerahnya sendiri.