Catatan: Menuju Politik 2018-2019, Mungkinkah Politik Identitas Akan Terulang Dalam Pilkada ?

    SELAMA tahun 2017 berbagai dinamika politik di tanah air berhasil menyita perhatian publik baik dari media cetak hingga elektronik.

    Banyak analis menganggap dinamika tersebut sebagai proxy menuju pertarungan politik 2019, terutama pemilihan presiden (Pilpers) dinamika ini menujukan bahwa partisipasi masyarakat dalam keterlibatan politik terus meningkat bukan hanya elite politik. Namun kuesekunsi dari proses ini menimbulkan kuatnya pengaruh politik sektarian (Politik Identitas) hal tersebut nampak terlihat pada pilkada DKI 2017.

    Politik identitas yang awalnya dianggap sebagai pinggiran tiba-tiba saja menjadi perhatian publik ketika digunakan sebagai salah satu instrumen politik pada pilkada DKI Jakarta 2017.

    Politik identitas mulai muncul pada tahun 1970-an, bermula di Amerika Serikat ketika saat itu menghadapi masalah minoritas, jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainya yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Dalam perkembanganya cakupan politik identitas meluas kepada persoalan agama, kepercayaan, dan ikatan-ikatan yang kultur yang beragam.

    Apa korelasi paparan diatas dengan tahun 2018? Tentu jawabanya sangat mudah kita jawab, tahun 2018 Indonesia akan melaksanakan hajatan politik besar yakni pemilahan kepala daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan serentak di 171 daerah, terdiri dari 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Ada kemungkinan isu politik sektarian (politik identitas) juga akan terjadi di daerah lain seperti pilkada DKI 2017 yang lalu, mengingat pilkada kali ini hanya 1 putaran tentu segala kemungkinan perlu diantisipasi. Sebab Pilkada serentak yang akan dilaksanakan Juni 2018 nanti akan terkait juga dengan pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu (Pilpers) 2019.

    Partai politik (Parpol) yang mengusung bakal calon kepala daerah akan memandang kemenangan pilkada sebagai fondasi suksesi pileg dan pilpers 2019 mendatang.

    Kalimantan Tengah salah satu Provinsi yang akan melaksanakan hajatan besar politik tersebut, sebagai bagian dari daerah yang melaksanakan Pilkada 2018 pada tahun ini Kabupaten Katingan tentu juga tidak lepas dari persoalan isu politik identitas. Terlebih persoalan kegaduhan politik yang beberapa waktu lalu cukup menghebohkan menjadi catatan tersendiri dalam Pilkada tahun ini.

    Kalimantan Tengah yang terkenal dengan slogan Bumi Pancasila dengan filosofi Huma Betang dengan konsep kerukunan menjadi sumber nilai-nilai yang dapat di junjung tinggi dalam dinamika politik kedepan.

    Pertarungan putra-putri terbaik Kabupaten Katingan yang ingin menjadi calon kepala daerah oleh kaum elit politik terus dilakukan.

    Politik identitas juga tak terasa terus digulirkan oleh para elit politik salah satunya gerakan pemekeran daerah dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identias itu, isu-isu tentang keadilan, dan pembangunan daerah. Tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit politik lokal untuk tampil menjadi pemimpin, merupakan masalah yang sulit dijelaskan.

    Pertanyaan kemudian adalah, apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalime dan peluralisme yang ada di Katingan? Jika iya, seberapa bahaya dan bentuknya apa? Dan bagaimana cara mengatasinya?

    Disinilah pentingnya perhatian dan kegigihan semua komponen untuk menjaga persatuan, jangan sampai demi kepentingan politik kekuasaan mengorbankan hal yang prinsip, yaitu persatuan. Dibutuhkan komitmen para politisi akan pancasila, kebhinekaan.

    Hal yang pertama, Para pemegang partai Politik untuk dapat menampilkan figur calon kepala daerah yang berkualitas, memiliki integritas, dan kapasitas sambil memperhatikan keariafan lokal.

    Kedua, Komisi penyelegara pemilu (KPU) ditantang integritasnya untuk dapat melaksanakan tugas penyelenggaraan dengan prinsip-prinsip pemilu yang benar (JUBIR).

    Ketiga, Panitia pengawas pemilu (Panwaslu) dapat bersikap tegas dalam proses pengawasan dan memberikan rekomendasi dalam perbaikan pemilu yang dapat dilaksanakan.

    Keempat, pihak keamanan (Polri/TNI) untuk dapat menjaga kestabilan negara dalam mempertahankan persatuan.

    Kelima, Aparatur sipil (PNS) untuk dapat bersikap netral dan menjunjung tinggi keutaman pelayan publik kapada masyarakat.

    Keempat, Tokoh agama dan kelompok sociaty untuk dapat membantu menjaga dan mengawasi proses dinamika politik pilkada 2018 mendatang.

    Keenam, Tim pemenang pemilu dan masyarakat untuk dapat menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan perbedaan dalam bingkai NKRI.

    Penulis.

    Maulana Kawit

    Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

    Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Kampus Kasongan.

    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

    Program Studi Administrasi Negara