TENTANG BATAS AMBANG BATAS

    Oleh: H. Joni.

    Diperbincangkan akhir akhir ini tentang ambang batas (disingkat Ambat), ketika Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan dalam sengketa tentang Ambat yang diputuskan beberapa waktu berselang.

    Masalah ini ramai, sebab berkenaan dengan persyaratan untuk maju pada Pilpres 2019 mendatang. Sudah cukup lama permasalahan yang berhubungan dengan Ambat ini, terasa menganjal dan akhirnya tetap pada bunyi UU semula.

    Konkretnya batas 20% untuk pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Apa Ambat Dalam Bahasa Awam ? Parpol yang memperoleh suara di DPR saat ini, boleh mencalonkan presiden pada Pilpres 2019 nanti jika sudah memperoleh 20% suara di DPR.

    Jika tidak, mereka, para parpol itu harus berkoalisi atau menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden 2019 sehingga diperoleh minimal jumlah 20% dari suara nasional.

    Sementara dari perolehan pada pemilu 2014 yang lalu tidak satu parpol pun yang memperoleh suara 20%. Artinya mereka harus berkoalisi untuk mencalonkan dalam pilpres 2019 yang akan datang.

    Dalam Bahasa normatif, ambang batas parlemen (parliamentary threshold, inggris) adalah batas terendah dari perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    Pada tahap berikutnya ini dijdikan dasar untuk pengajuan calon presiden dan wapres pada pilpres tahun 2019 mendatang.
    Ketentuan tentang Ambat ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.

    Ambat merupakan persyaratan minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan perwakilan yang biasanya dilihat dari prosentase perolehan suara di pemilu sebelumnya.

    Dengan demikian Ambat adalah batas minimal suatu partai atau orang untuk memperoleh kursi (wakil) di parlemen. Maksudnya, agar orang atau partai itu mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil karena mendapat kekuatan memadai di lembaga perwakilan.

    Substansi Keadilan
    Ihwal persengketaan “pasal tiket” untuk menjadi capres pernah diputuskan oleh MK berkaitan dengan calon perseorangan. Namun itu berdasarkan UU Pilpres untuk pelaksanaan Pilpres tahun 2009 yang lalu.

    Pada putusan MK saat itu tetap mempertahankan ketentuan dalam UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Intinya bahwa tiket untuk mencalonkan diri sebagai pasangan capres adalah 20 persen suara di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional.

    Putusan itu dijatuhkan menyusul putusan sebelumnya yang mengeleminasi keinginan calon perseorangan untuk memperoleh tiket sebagai capres. Jadi secara praktis sudah tertutup harapan bagi calon yang tidak didukung suara di parlemen sebagaimana diisyaratkan dan tertutup pula calon perseorangan maju sebagai capres.

    Dengan eleminasi calon perseorangan itu maka implikasinya saat itu hanya maju 2 pasangan capres, terutama yang diusung oleh parpol besar.

    Implikasi hukum secara substantif dari putusan itu adalah tindakan “lepas tangan” dari MK tentang prosentase tiket. Permasalahannya adalah – apakah suara sebesar itu (20-25persen) mencerminkan asas keadilan, dalam arti sesuai dengan heterogenitas masyarakat Indonesia?.

    Mengapa MK tidak (misalnya) menurunkan prosentase tersebut, misalnya ke angka 10-15 atau lebih rendah lagi?. MK cenderung memilih selamat dengan mengamini pembentuk UU yang mematok 20-25?.

    Bukankah itu di hulunya merupakan cermin dari negosiasi politik golongan terbesar dari kekuatan politik untuk melanggengkan hegemoni parlemen?.

    Memang asas di dalam putusan pengadilan secara umum tidak boleh menjatuhkan putusan di luar yang diminta oleh pihak berperkara (pemohon).

    Demikian pula nomenklartur kinerja MK adalah menyatakan ada atau tidaknya pertentangan antara UU yang dimohonkan pengujian dengan pasal tertentu dalam UUD 1945.

    Dalam kaitan ini sejatinya masyarakat, khususunya pemohon berharap kreativitas dan inovasi putusan itu tetap dipertahankan.

    MK harusnya berani menurunkan prosentase tersebut sehingga nantinya akan lebih banyak atau setidaknya tidak hanya dua atau tiga pasangan capres. Pada masa transisi, idealisme sebagaimana di AS misanya, yang hanya ada dua capres masih terlalu dini diterapkan.

    Akomodasi terhadap heterogenitas masyarakat Indonesia masih diperlukan untuk secara alamiah, dalam waktu agak panjang berproses dan mengkristal sampai satu ketika muncul pemimpin yang merefleksikan kekuatan yang produktif dan mengayomi semua pihak.

    Jadi tidak dibatasi jumlah calon, meskipun itu secara tiak langsung.
    Dipahami bahwa MK memang akan kesulitan mencari legal reasoning untuk itu. Namun bukan berarti tidak bisa dilakukan.

    Pada saat kepercayaan diri MK begitu besar dan masyarakat pun menilai untuk sementara ini tidak ada atau belum ada intrusi terhadap putusannya, penurunan rosentase itu sebenarnya dapat menjadi substansi untuk putusan MK.

    Sekali lagi hal ini sebagai rujukan bagi putusan atas perkara bagi pemilihan pemimpin berbagai lini pada masa yang akan datang.

    Mencermati paa substansi Ambat ini, bahwa putusan yang sebenarnya diambil oleh MK berkenaan dengan tiket capres yang dinilai kontroversial adalah batasan pembentuk UU ketika menjabarkan UUD 1945. Permasalahannya adalah prosesntase 20-25 persen itu refleksi dari pembatasan atau refleksi pengaturan?.

    Permasalahan ini penting karena pada dasarnya tidak ada kewenangan konstitusional dari pembentuk UU untuk membatasi hak rakyat berperan serta dalam penentuan perjalanan negara (dalam hal ini menjadi capres).

    Ekstremnya, pembatasan sampai 20-25persen itu mengintervensi hak rakyat untuk maju sebagai calon pemimpin negara. Hal itu yang dilarang konstitusi.

    Di dalam tataran konstitusional, tidak ada hak pembentuk UU untuk membatasi setiap keinginan rakyat sepanjang hal itu tidak mengarah pada destruksi yang menjadi pemicu degradasi nilai kebangsaan.

    Belajar dari pencalonan presiden dan wapres, mengapa hal itu tidak disalurkan saja, toh tidak ada yang dirugikan dalam arti hal tersebut justru mencerminkan manifestasi konstitusional yang bermakna kepatuhan terhadap UUD 1945.

    Dengan tidak adanya penjelasan yang merupakan legal reasoning ini, menunjukkan bahwa MK mengamini posisi UU sebagai pembatas terhadap UUD 1945 meskipun formalnya sebagai pengatur.

    Bahwasanya secara administratif pengaturan tentang tiket capres tidak boleh mencerminkan arogansi kekuasaan dan mempersulit hak warga negara untuk berperanserta.

    Oleh karena itu, sebenarnya kewajiban MK adalah melegitimasi prosentase 20 dan 25 persen tersebut berdasarkan legal reasoning, ketika MK mengamini kebijakan pembentuk UU yang dituangkan dalam pasal tentang tiket capres tersebu.

    Sekaitan dengan hal ini, tidak semata berkeputusan bahwa ketentuan pasal itu tidak bertentangan dengan pasal dalam UUD 1945. Idealnya MK lebih cerdas jika menurunkan prosesntase tersebut, tarohlah tidak 20-25 tetapi 10-15 pesen sehingga akan lebih memeriahkan perhelatan pemilu presiden.

    Disamping mengakomodasikan kepentingan calon yang antusias berkompetisi juga lebih terbuka menjaring dan menyaring putra putri bangsa terbaik untuk menjadi pemimpin puncak.

    Secara substantif kualitas demokrasis memang tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya jumlah capres/cawapres. Bahkan tanpa pembatasan akan memunculkan capres yang maju tanpa kualitas yang jelas.

    Namun sebaliknya dengan pembatasan yang begitu ketat juga memperlambat tumbuhnya demokrasi, khususnya munculnya pemimpin bangsa yang berkualitas.

    Kemunculan pemimpin yang bersumber pada diversivikasi kultural atas heterogenitas bangsa sangat diperlukan sebagai langkah mengakomodasikan heterogenitas tersebut.***