ASLI, PAN (AS) Sebuah Catatan Untuk Sahabat

    Oleh: Aris Efendi

    SEBENARNYA saya tak ingin bernostalgia. Tetapi mengingat seseorang kerap kali membuat kita harus mengingat kenangan. Sebab kenangan adalah tiap jengkal masa lalu di kepalamu yang tak pernah bisa dilenyapkan oleh waktu.

    Begitu pulalah tentang laki-laki gempal yang selama puluhan tahun saya panggil dengan akronim A.S itu. Tentang dia, yang tersisa dalam ingatan saya adalah laki-laki sederhana yang berangkat kuliah dengan memancal sepedanya yang tanpa rem, puluhan kilometer setiap hari.

    Tinggal menumpang di rumah orang tapi gigih dalam berjuang. Di Palangka Raya ia pernah tinggal di rumah seniornya. Kalau tidak salah di kediaman H. Imam Mardani.

    Pernah pula di kompleks perguruan Muhamadiyah Jalan RTA Milono dan di rumah jaga tempat pembuangan sampah sementara (TPS) kompleks PCPR bersama sahabatnya Islah Milono dan Imam Santoso.

    Tak lama kemudian ia tinggal di sekretariat HMI Cabang Palangka Raya, kompleks Masjid Aqidah Jalan Tambun Bungai. Menumpang dan berpindah pindah itu bukan ia lakukan karena gaya hidup.

    Tetapi karena keterpaksaan agar dapat bertahan hidup di tengah keterbatasan kemampuan keuangan orangtuanya. Ayahnya hanya seorang transmigran asal Jawa Barat yang telah menetap di Pegatan, Katingan Kuala, Kabupaten Katingan.

    Selepas menamatkan Sekolah Pertanian Pertama (SPP) Muhammadiyah, AS kemudian melanjutkan kuliah di jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (SOSEK) Fakultas Pertanian Unpar.

    Di kampus inilah saya mengenalnya. Saya dan dia berbeda program studi. Berbeda jurusan bahkan berbeda fakultas. Saya di program studi kimia, fakultas pendidikan. Ia di Faperta seperti yang saya ceritakan di awal catatan ini.

    Tetapi serupa asam di gunung yang berjumpa dalam belanga dengan garam di laut, saya dan AS juga dipertemukan di belanga organisasi bernama HMI.

    Berbeda dengan karakter saya yang main libas, keras dan hitam putih, AS adalah sosok yang santun dan selalu berusaha mengambil jarak dengan konflik. Saya tahu dalam pandangan orang yang berada wilayah politik praktis, hidup bukan soal hitam dan putih.

    Dalam dunia semacam itu, kebenaran bisa saja berada di tengah-tengah. Di bagian yang remang-remang dan kelabu. AS bahkan berusaha menghindari konflik sejak dalam fikiran. Ia amat akomodatif terhadap apapun yang berbeda dengannya.

    Barangkali karena dia tahu, bahwa politik sejatinya tak jauh berbeda dengan pernikahan. Dalam politik dan pernikahan orang harus tahu bagaimana membaca perubahan. Tahu kapan menyerang, kapan mundur.

    Tahu kapan memulai kapan berhenti. Tahu pula kapan mendengar dan kapan saatnya bicara. Belakangan bahkan, politikpun membutuhkan mahar. Tidak ada bedanya bukan?

    Karena kemahiran menganalogikan pernikahan dan politik itu barangkali yang membuat begitu lapang jalan AS di dunia politik. Di usia yang belum genap 40 tahun ia sudah menjadi pemimpin wilayah partai politik. Ia juga duduk menjadi wakil rakyat.

    Hingga catatan ini saya tuliskan, AS bahkan menjadi ketua fraksi partai yang lahir setelah hiruk-pikuk tumbangnya penguasa orde baru itu. Saya tahu, begitu hebat ia merintis investasi politiknya dari hirarki paling bawah hingga menjadi pucuk pimpinan di partai berlambang matahari terbit itu.

    Ia memulai karier politik itu dari menjadi anggota dan pengurus di organisasi kepemudaan underbow partai yang pernah dipimpinnya. Namanya barisan muda (BM) PAN. Sekitar akhir tahun 1999-an, organisasi barisan muda itu menggelar acara di Palangka Raya.

    Dialah yang meminta saya membuatkan spanduk yang puluhan jumlahnya. Baru kali itulah saya mendapatkan pekerjaan dalam jumlah besar. Padahal saya bukanlah profesional dalam dunia advertising.

    Tapi ia tahu, meski tak profesional, saya cakap membuat spanduk kain yang semasa itu ditulis tangan dengan kuas. Bahannya cat tembok warna putih yang diberi pewarna sesuai selera.

    Pada tahun-tahun itu belum ada teknologi digital printing yang bisa membuat spanduk cukup sekejap mata lengkap pula dengan gambarnya. Dari BM PAN pula AS merintis pelan-pelan takdir politiknya.

    Sepelan-pelan itu pula ia menemukan sejumlah patron yang menjadi gurunya dalam dunia politik kekuasaan. Ia dekat bagai ayah dan anak dengan perintis PAN Kalteng, mendiang Drs. Rinco Norkim. Ia dekat dengan aktivis PAN Nurul Fallah.

    Ia dekat dengan vokalis DPRD Kalteng asal PAN, Hang Ali S. Pahan. Hang Ali kemudian naik pangkat menjadi wakil rakyat asal Kalteng di Senayan. AS juga dekat dengan Arief Budiatmo dan yang lainnya.

    Selain sebagai pengurus partai, ia juga bekerja sebagai jurnalis. Mula-mula di Media Kalteng yang didirikan oleh almarhum Hidayatullah S. Kurik. AS kemudian hijrah ke Palangka Post setelah Media Kalteng “pingsan” pelan-pelan dicekik dan digilas zaman.

    Bahkan sebelum menjadi wakil rakyat, ia tercatat masih menjadi jurnalis di media lokal tersebut. Beberapa bulan lalu saya membaca berita tentangnya di media lokal. Fotonya terpampang serupa orang yang sedang galau.

    “AS Pasrah Andai Tak Pimpin PAN”. Ketika itu berita tentang PAN mengalir serupa hujan deras. Panas, kadang penuh kejutan. Panas karena PAN diam-diam menjadi rebutan dua pemimpin Kalteng. Penguasa dan wakilnya.

    Padahal, keduanya menjadi penguasa karena dulu ikut menumpang perahu yang di nakhodai AS tersebut. Wakil penguasa tiba-tiba tergiur dengan kursi yang sedang diduduki AS. Sementara, dengan malu-malu penguasa mengutus loyalisnya untuk juga berebut di kursi PAN itu.

    Kursi ketua DPW PAN itu akhirnya diambil alih oleh D.A , mantan bupati Seruyan. Saya melihat nasib AS di partai, serupa nakhoda yang “ditenggelamkan” setelah sukses mengantar penumpang hingga ke tepian. Itulah politik. Sebuah jalan yang telah dipilih AS dengan penuh khidmat dan keyakinan.

    Dalam dunia politik seseorang bisa saja ditawari sebuah awal yang luar biasa. Lalu tiba-tiba dilupakan saat penghabisan AS adalah sosok luar biasa. Ia meraih kesuksesan bukan karena fasilitas dan kemudahan. Tetapi kesuksesan yang diperoleh dengan membangun impian, kerja keras dan keterbatasan.

    Hari ini ia kembali membangun mimpinya. Bersama Ali Sameon Anom dengan jargon “Asli… Siap Melayani Semua”, AS sedang menjemput takdirnya untuk menjadi Bupati Katingan.

    Dalam kontestasi yang tentu saja berkeringat itu ia akan berhadapan dengan enam pasangan lain: Surya-Winda, Cornelis-Suryadi, Fahmi Fauzi- Maspek J Garang, Wiwin Susanto-Elman D. Dangan, Nikodemus-Muliani serta calon petahana Sakariyas-Sunardi A. Litang.

    Selamat berjuang kawan. Peluklah mimpi-mimpimu. Melangkahlah di jalanmu. Pesanku, teguhlah dalam kebenaran. Meskipun kau tahu bahwa politik bukan soal apa yang benar, tetapi bagaimana salah dengan cara yang benar.

    *Ucapan Amba dalam novel berjudul “AMBA” yang ditulis oleh Laksmi Pamuntjak*

    (Aris Efendi Mantan Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Universitas Palangka Raya)