Krisis Demokrasi di Pilkada Kota Palangka Raya

    Oleh : Nurahman Ramadani

    Becik Ketitik Ala Ketara, adalah sebuah ungkapan dalam bahasa jawa yang artinya “yang baik akan kelihatan dan yang buruk akan tampak”. Mungkin ungkapan inilah yang tepat untuk mengambarkan kondisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, khususnya di Kota Palangkaraya.

    Berawal dari gagalnya Jhon Krisli maju di Pilkada Kota Palangka Raya, membuat ia membongkar kasus uang “mahar” itu. Sebab, kegagalan ia maju di Pilkada itu akibat dirinya tidak sanggup memenuhi uang “mahar” untuk mendapatkan rekomendasi dari sejumlah partai politik.

    Melihat konstelasi politik pemilihan Walikota Palangka Raya dengan adanya dinamika uang “mahar” tentu cukup memprihatinkan. Sebab, demokrasi yang diharapkan melahirkan pemimpin jujur dari parpol di Kalimantan Tengah lumpuh saat berhadapan dengan uang, dan menunjukan kekuasaan dapat dibeli dengan uang.

    Melihat reaksi dari Jhon Krisli yang membongkar uang “mahar” politik dari Partai Gerindra dan PPP menjadi pertanyaan bagi kaum intelektual, mengapa harus melalui partai politik lain untuk maju dalam pilkada Walikota Palangka Raya? Apakah dia tidak bisa meyakinkan partainya sendiri untuk mendapatkan rekomendasi maju sebagai calon walikota Palangka Raya? Jhon tentunya bukan orang asing lagi di kancah politik Kalteng, saat ini dia menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan pernah menjadi ketua DPC PDIP Kotim. Tentunya dia memiliki pengalaman dan bisa meyakinkan partainya sendiri untuk dapat mengusung dirinya menjadi calon walikota Palangka Raya. Tetapi kembali kepada pertanyaan sebelumnya, mengapa harus maju mengunakan perahu partai politik yang berbeda yang membesarkannya selama ini?

    Dalam perspektif berbeda, saya belum melihat sikap PDIP dengan pencalonan Jhon Krisli sebagai bakal calon Walikota Palangka Raya dengan meminta dukungan dari partai lain, apakah hal tersebut melangar atau tidak dengan AD/ART partai dan Kode Etik partai? atau ada manuver politik yang sengaja di jalankan?

    Meskipun secara politik uang mahar menjadi lumrah dimana perbuatan tersebut sulit dibuktikan karena kejahatan demokrasi ini tersusun rapi dan terselubung, bukan berarti tidak ada aturan yg mengatur dan sanksi tegas bagi pelakunya.

    Dalam perspektif hukum, uang mahar politik diharamkan serta diatur Pada Pasal 47 Ayat 1 sampai 6 UU Nomor 1 Tahun 2015 yg kemudian dirubah menjadi UU Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Sikap Jhon sendiri yang mengiyakan untuk memberikan mahar politik kepada partai tersebut sudah bertentangan dengan UU Pilkada, sehingga sudah seharusnya Jhon serta partai politik atau oknum partai politik tersebut dijerat dengan tegas agar Efektivitas Hukum UU Pilkada dapat memberikan efek jera, serta menjadi pelajaran bagi pasangan calon dan partai Politik untuk tidak melakukan perbuatan tercela yang mengkhianati demokrasi itu sendiri. Dengan begitu, diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang bersih, jujur dan adil yang tidak haus akan kekuasaan untuk dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.

    Kesimpulan, demokrasi hanya akan menjadi utopis untuk mewujudkan pembagunan nasional yang bertujuan untuk kesejahteraan, keadilan, kemanfaatan bagi masyarakat apabila kekuasaan diberikan kepada orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kedudukan.

    (*Magister Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta / Konsultan Hukum di Berita Sampit)