Politik Rakyat Saat Pilkada Menjadi “Raja”

    Opini : Maman Wiharja

    SEJAK menggaungnya ‘reformasi’ berbagai lini sontak berubah total, perubahan yang paling erotis yakni perubahan politik dalam pemilu,pemilihan kepala daerah,(pilkada) Gubernu dan Bupati/Walikota, serta pemilihan umum (pemilu) Calon Legistatif (Caleg).

    Dulu sebelum reformasi, proses dan pelaksanaan Pilkada Gubernur, Walikota,Bupati, serta Caleg, tidak ‘seribed’ jaman sekarang. Dalam artian penerapan politiknya mudah ditebak, karena waktu itu untuk memilih Calon Gubernur,Walikota dan Bupati, cukup dipilih oleh para wakil rakyat di DPRD. Termasuk para Caleg bisa duduk di kursi ‘empuk’ DPRD,tinggal melenggang kangkung dipilih oleh Partainya.

    Sebelum reformasi, Pilkada Gubernur, Walikota dan Bupati, serta Pemilu Caleg, selain tidak ‘ribed’ juga tidak banyak uang berhamburan. Tapi setelah Pemilu, Pilkada langsung dipilih rakyat, banyak uang berhamburan, bahkan cenderung gaung ‘demokrasi’ berubah menjadi ‘democrazy’, alias antara lain rakyat jadi berkelompok melakukan sejumlah aksi demo.

    Dan prihatinnya lagi, dalam satu keluarga, sering terjadi selisih paham, misal dengan paman, kakak dan adik , karena masing-masing memilih ‘Calon’ dengan nama yang berbeda.

    Pengamatan penulis, sampai sekarang Pemilu Persiden, Pemilu Caleg dan Pilkada Gubernur, Walikota dan Bupati, harus di pilih rakyat, maka secara ‘erotis’ politiknya berubah total. Dalam artian politik disaat berlangsungnya kampanye, Pemilu/Pilkada politiknya milik rakyat,alias rakyat adalah ‘Rajanya’ politik.

    Jujur saja, pengalaman penulis saat mencalonkan Calon Anggota DPRD di Kabupaten Kobar, dengan kenyataan rakyatlah yang sangat menentukan bagi penulis dan semua para calon, bisa atau tidaknya terpilih.

    Dan seseorang calon, baik itu Calon Gubernur, Walikota dan Caleg, pada saat kampanye biarpun di dampingi oleh sejumlah pakar politik, baik dari sejumlah partai yang mengusung calonnya,maupun perorangan, dan sejumlah tokoh msyarakat yang menjadi tim suksesnya, yang saat kampanye dengan penuh yel-yel berteriak membeberkan program calonnya. Namun tetap politiknya masih kalah oleh politik rakyat.

    Karena pada masa kampanye, pengalaman penulis bermunculan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, yang mengatas namakan salah satu ‘kelompok tani, pemuda, dan kelompok lainnya. Mereka berdua, atau bertiga,mendatangi semua calon, dengan membawa berkas misal kelompok tani, pemuda, yang dalam berkas banyak nama-nama anggota (sampai 150 orang) dari beberapa kecamatan dan desa.

    Mereka yang diwakili 2 sampai 3 orang,pernah datang ke penulis mereka berjanji siap akan memilih penulis,agar bisa terpilih menjadi Anggota DPRD. Setelah mereka berjanji kemudian minta 150 kaos, kalender, bahkan minta sejumlah dana (uang).

    Karena penulis tidak punya modal besar,waktu itu penulis hanya memberi uang alakadarnya titik. Tapi besoknya, menurut laporan teman caleg lainnya, orang-orang yang telah datang ke penulis, mereka juga mendatangi caleg lainnya, dengan modus yang sama.

    Bisa dibayangkan, kalau di salah satu Kabupaten ada bakal caleg 100 orang, kemudian yang 100 orang berhasil didatangi oleh yang mengatas namakan kelompok tertentu,kemudian para caleg memberi uang misal Rp 2.500.000,- mereka akan menggondol uang dari para caleg Rp 250.000.000,- Luar biasa.

    Karena ada istilah,kalau seorang calon didaerahnya terkenal tapi tidak memiliki modal besar, silut untuk menang, juga seorang calon didaerahnya belum dikenal tapi modal besar, belum tentu pula menang. Tapi kalau seorang calon di daerahnya dikenal kemudian banyak modalnya, itu paling mudah untuk menang.

    Politik mereka saat kampanye Pemilukada melakukan ‘dor tu dor’,dengan dalih kepada para calon ‘siap akan memilih’, sampai sekarang tidak ada yang melarang, karena itu hak mereka. Yang jelas berbahagialah bagi para calon yang bermodal besar. Dan hati-hatilah bagi para calon yang modalnya pas-pasan.

    (Maman Wiharja).