Prihatin, Ekonomi Kerakyatan Digilas Konglomerat Dengan Produk Makanan ‘Instan’

    Opini : Maman Wiharja

    Dulu, ketika kita masih kecil masih ingat jajan soto banjar atau bubur kacang di pinggir alun-alun. Rasa soto banjar yang bumbunya diracik Ibu Maemunah dan bubur kacang yang dibut amang Darsim,memang terasa enak karena asli diproses secara tradisional.

    Sejak munculnya nama-nama ‘konglomerat’ yang bermodal besar, pengamatan penulis jujur saja kini ekonomi kerakyatan di republic yang kaya raya sumber daya alamnya (SDA), bukan nyaris lagi, tapi ekonomi kerakyatan benar-benar telah terpuruk, Koperasi-koperasi tinggal papan namanya.

    Padahal para elit birokrasi mulai dari Menteri,sampai ke Gubernur, Bupati, Walikota,di daerahnya masing-masing se Indonesia, kalau pidato sering berteriak, ”Mari Kita Kembangkan Ekonomi Kerakyatan”,”Ekonomi Kerakyatan Adalah Tulang Punggung Kesejahteraan Rakyat”.

    Tapi kenyataannya sekarang, setelah para konlomerat menguasai rasa berbagai jenis makanan yang diproduksi rakyat, seperti soto banjar, baso, dendang, soto rasa daging sapi, ayam, dan berbagai rasa lainnya.

    Bahkan bubur kacangpun, goreng tempe,tahu, kripik singkong, jagung, yang menjadi usaha andalan rakyat jaman dulu,kini telah di kuasai konglomerat.

    Prihatinnya semua jenis makanan yang rasanya dijiplak oleh konglomerat, ternyata kesehatannya banyak ‘diragukan’.Karena semua makanan tersebut diproduksi jadi makanan instan yang diolahnya pakai mesin, ironisnya lagi makanan tersebut banyak diberi zat pengawet.

    Nah kita, rakyat Indonesia dan rakyat yang tadinya menjadi pasukan ’Ekonomi Kerakyatan, sebenarnya mau dibawa kemana oleh pemerintah.

    Ingat sekitar 350 juta rakyat Indonesia,yang kata Presiden Jokowi berada di sekitar 7.404 pulau,mereka itu sebenarnya hidup di pulau-pulau yang subur dan melimpah ruah sumber daya alamnya.

    Kemudian yang menjadi pertanyaan,kenapa rakyat Indonesia sebagai besar sampai sekarang,masih jadi ‘penonton’ konglomerat,yang nota bena banyak datang dari China.Pengamatan penulis,baca dari sebuah sejarah konon dijaman penjajahan Belanda dan Jepang,warga China yang merantau ke Indonesia,selalu selamat oleh penindasan penjajah.

    Karena waktu itu orang-orang China,sangat cerdas bisa ‘menyuap’ penjajah dengan hartanya.Sementara bangsa kita,waktu itu apa yang mau diberikan kepada penjajah. Nah,karena orang-orang Chinalah yang mengawali suap menyuap akhirnya jadi marak lah ‘pungli’ (pungutan liar).

    Karena ada suap menyuap dan pungli mengpungli,maka munculah nama ‘Korupsi’. Nah nama ‘Korupsi’ sampai sekarang di Indonesia masih ‘lestari’,sehing kelestariannya sempat mengusik orang nomor satu di DPRD karena menerima suap dan korupsi,dan kini jadi terpidana.

    Belum termasuk satu persatu yang belum disebutkan nama-namanya,dari beberapa oknum Menteri, DPR, RI, DPD, RI, Gubernur, Bupati, Walikota, telah banyak melakukan korupsi.

    Jadi pada intinya pengamatan penulis, karena masih banyak para pemimpin kita kalau ada kesempatan, mudah untuk disuap bahkan nekad melalukuan korupsi.

    Apalagi setelah Pemilukada,Caleg , langsung dipilih rakyat. Waaaah banyak proyek APBD yang dikorupsi,secara halus melalui pihak kedua dan ketiga.Luar Biasa.

    (beritasampit.co.id)