Batik dan Tendensi Monopoli

    Opini : Seno Abdul Khomar Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM

    Lima tahun sudah batik Sampit diperkenalkan oleh Bapak Bupati Supian Hadi sebagai entitas budaya dari kultural masyarakat adat Dayak Kota Waringin Timur, tepatnya pada tahun 2013. Penjualannya pun kini sudah menembus pasar Nasional. Kebanggaan terhadap batik juga melekat pada diri masyarakat Kabupaten Kota Waringin Timur, dikarenakan entitas budaya ini adalah inovasi kreatif dari sang Bupati yang diangankan oleh nya bakal menumbuhkan ekomoni kreatif di Kabupaten yang ia pimpin.

    Akhir-akhir ini marak media Nasional mulai memberitakan Batik Sampit, mulai dari keberhasilan pemasarannya hingga optimitis sang Bupati. Jangkauan pasarnya yang sekarang mulai merambat kebanyak daerah luar kalimantan memberi tanda bahwa entitas ini diterima tak hanya dalam kandang tapi juga luar kandang.

    Keluasan jangkauan ini yang membuat sang Bupati optimis, di akhir tahun lalu ia ungkapkan bahwa pesanan atas batik ini membludak dan ia berniat membangun pabrik di tahun ini, guna mencukupi permintaan pasar. Entah terealisasi atau tidak semuanya di luar jangkaun penulis.

    Tapi hal yang menjadi kejanggalan bagi penulis adalah, apakah benar batik ini kehadirannya akan menumbuh ekonomi kreatif di Kabupaten Kota Waring Timur, ataukah justru tak membawa dampak apa-apa terhadap masyarakat kecil. Terlebih lagi niatan pembangunan pabrik itu yang justru menimbulkan kontradiksi berpikir dari sang Bupati.

    Tak ada hubungan sama sekali antara ekonomi kreatif dan pabrik, justru itu adalah dua hal yang bertolak belakang. Belum lagi pengelolaan batik yang selama ini, hanya satu pintu dari Rumah Batik. Banyak tendensi-tendensi yang membuat penulis skeptis akan keberpihakan sang Bupati. Belum lagi kedekatan pemilik rumah batik dengan salah satu organisasi kepemudaan terbesar di Indonesia itu.

    Perlahan penulis temukan tendensi yang jelas atas batik ini, dan selama mengikuti isu ini penulis memberanikan diri untuk mengulas sesuatu yang selama ini dianggap biasa-biasa saja oleh banyak kalangan. Padahal jelas runtutan itu mengarah pada monopoli jika di ikuti secara runtut.

    Tendensi monopoli batik Sampit

    Hal tersebut diatas bukan tanpa alasan penulis simpulkan. Tapi berangkat dari gejala-gejala pasar yang coba dimainkan oleh dua aktor sentral. Mulai dari yang mengenalkan hingga yang memasarkan, mereka berdua seolah apik dan tertata dalam menciptakan kebutuhan. Pengharusan semua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) memakai batik menjadikan lonjakan pesanan meningkat tajam, tapi mari kita pertanyakan siapa yang untung atas batik ini.

    Berkembangnya permintaan batik, tak membuat ekonomi kreatif ikut serta meningkat, tapi senyap-senyap saja. Itu semua karena mayoritas masyarakat tak ada yang tahu teknik membatik. Juga tak ada pelatihan berkelanjutan untuk membangkitkan keterampilan membatik, seolah masyarakat dibiarkan dalam ketidaktahuan itu. Lalu ekonomi kreatif hanya menjadi utopia belaka yang dapat dijual kemana-mana.

    Jika masyarakat mayoritas bukan pembatik, lalu siapakah putra daerah yang mampu memproduksi batik hingga ke tingkat pasar nasional itu. Tentu jika pertanyaan itu dilontarkan kemasyarakat Kota Waringin Timur maka tak ada yang tak mampu menjawab, semua akan menjawab Rumah Batik lah pionirnya.

    Memang betul Rumah Batik lah yang selama ini jadi pintu terbesar produksi batik Sampit. Meraup keuntungan besar sebagai produsen tunggal tentu ia rasakan, koar-koar keuntungan itu tak ia tutupi juga, karena dengan terang ia ungkapkan sendiri di salah satu media online nasional bulan lalu. Bahkan ia juga mengeluh lantaran upah jahit di kota Sampit sangat tinggi, dan ia membandinkan harga itu dengan penjahit di pulau Jawa. Pengusaha satu ini memang tak paham kalau kebutuhan hidup di kota Sampit lebih tinggi dari pulau Jawa, jadi wajar kalau upah jahit lebih tinggi disini.

    Pembiaran masyarakat atas ketidaktahuan cara membatik, membuat pemerintah seolah mengamini adanya monopoli pasar yang dilakukan oleh pengusaha Rumah Batik. 5 tahun sudah batik di kenalkan, dan selama itulah batik di produksi satu pintu. Masyarakat hanya kebagiaan menjahit batiknya saja, itu pun juga rata-rata para penjahit lama, lalu ekonomi kreatif macam apa yang sudah tumbuh selama 5 tahun ini. Ataukah memang batik ini dikenalkan hanya untuk dirasakan manfaat ekonominya oleh pengusaha besar bukan rakyat kecil.

    Peran ideal akademisi

    Para akademisi dan elemen kepemudaan yang memilik peran sentral bagi pembangunan harus segera sadar bahwa pengelolaan batik ini bukan lagi hal yang ideal. Mesti ada konsolidasi gerakan antar seluruh organisasi kepemudaan maupun kemasyakatan, hal ini dilakukan guna memulihkan apa yang menjadi hak masyarakat.

    Para penggerak organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan mesti membangkitkan kesadaran masyarakat bawah akan adanya peluang usaha yang bisa membangkitkan ekonomi mereka. Namun karena ketidakmampuan mereka melakukan itu, para akademisi yang penulis sebutkan tadi harus merangkul seluruh masyarakat bawah untuk di berikan keterampilan membatik dan berwirausaha, guna menghentikan monopoli pasar dan berimbas pada kemandirian ekonomi masyarakat di kalangan bawah.

    Mendirikan pabrik seperti yang ingin dilakukan pak Bupati hanya menjadikan masyarakat tergantung secara ekonomi dan tak punya kemandirian untuk hidup sendiri. Padahal para pendiri bangsa termasuk Bung Hatta pun ingin masyarakat mandiri secara ekonomi. Semoga semua kalangan masyarakat Kota Waringin Timur sadar bahwa batik Sampit ini sedang menuju kearah eksploitasi entitas budaya.

    Hal yang penulis harapkan adalah, para mahawasiwa sesuai dengan peran dan fungsinya sebagai agen perubahan mampu melakukan gerakan terpadu untuk mengantisipasi hal itu. Begitupun para organisasi kepemudaan dan kemasyarakat yang menjadi agen penerus daerah mesti cepat bergerak agar ketakutan ini tak menjadi kenyataan. Semoga dengan tulisan ini batik tak hanya jadi kegundahaan penulis saja tapi menjadi permasalahan bersama dan harus kita selesaikan bersama juga.