Calon Tunggal Di Pilkada Rugikan Masyarakat

    JAKARTA – Pasca calon tunggal menjadi rezim baru dalam Pilkada. Jumlah mereka terus bertambah dari Pilkada 2015, 2017, dan 2018. Dari 3 daerah, menjadi 9 daerah, dan sekarang Pilkada Serentak 2018 terdapat 15 daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon tunggal.

    Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute melihat bahwa keberadaan calon tunggal ini absah tetapi merugikan masyarakat.

    “Calon tunggal hadir semenjak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi 100/PUU-XIII/2015 Tentang Pengujian UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU Terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 2015. Sebelum adanya putusan MK tersebut, calon tunggal tidak mendapatkan tempat di dalam penyelenggaraan pemilu kita. UU No. 8 Tahun 2015 yang menjadi landasan pelaksanaan Pilkada 2015 menegaskan bahwa “KPU Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit dua pasangan calon Gubernur/Bupati/Walikota” (Pasal 52 Ayat 2), kata basriabto mengamati soal calon tunggal di Pilkada, Senin (9/4).

    Menurutnya, cikal bakal lahirnya rezim calon tunggal dalam Pilkada disebabkan oleh tidak efektifnya partai politik dalam memerankan dirinya sebagai salah satu pilar demokrasi.

    Ketidakefektian partai politik termanifestasi setidaknya terdapat dalam dua hal. Pertama, partai politik tidak melakukan pengkaderan kepemimpinan secara serius. Tidak adanya kandidat lain yang maju disebabkan oleh tidak adanya stok pemimpin yang dimiliki oleh partai untuk diajukan sebagai calon kepala daerah. Padahal jika melihat struktur kepartaian yang mereka miliki, mereka memilki struktur jaringan kepartaian mulai dari pucuk pimpinan daerah hingga ke ranting-ranting.

    Lanjutnya, kedua, munculnya dukungan partai secara bersama-sama kepada satu pasangan calon menunjukkan bahwa partai politik telah kehilangan identitasnya sebagai agen petarung. Partai politik seharusnya memainkan peran sebagai wadah yang memiliki ide yang siap dikontestasikan oleh kader-kadernya pada saat pemilu berlangsung.

    “Namun, jika partai secara beramai-ramai mendukung hanya pada salah satu pasang calon, partai lebih memilih jalur pragmatis daripada mengkontestasikan gagasan yang dimilikinya. Terlebih lagi pragmatisme partai politik ini semakin menguat karena masifnya politik transaksional yang terjadi. Seperti halnya adanya biaya mahar politik yang harus dikeluarkan oleh kandidat agar partai mau mengusung mereka,” ujarnya.

    Jika fenomena calon tunggal ini terus berlanjut dan tren angkanya terus meningkat, publik akan semakin dirugikan. Masyarakat tidak memiliki pilihan kandidat lain yang dapat dipertimbangkan. Selain itu di level penyelenggaraan pemerintahan, kehadiran calon tunggal dapat berpotensi, fungsi checks and balances DPRD terhadap Kepala Daerah.

    Maka dari itu, ke depan partai politik harus lebih serius melakukan kaderisasi kepemimpinan diinternal mereka, jelasnya.

    (Jan/beritasampit.co.id)