Ini Fakta Ekses Pilkada Langsung 313 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi 

    JAKARTA – Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebenarnya sudah ideal karena dia menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat. Namun Sayang, kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya belum dilengkapi pola atau mekanisme penyaringan yang ideal.

    “Akibatnya, Pilkada di banyak daerah gagal menghadirkan sosok pemimpin yang punya kompetensi, kredibilitas dan berintegritas. Bahkan praktik money politik atau politik transaksional makin masif dan gesekan antar kelompok, keluarga ataupun individu diakar rumput semakin mengkhawatirkan,” kata. Ketua DPR Bambang Soesatyo, Rabu (11/4).

    Menurutya, negara, tentu saja, tidak boleh tinggal diam. Apalagi, belum ada yang tahu kapan ekses Pilkada langsung seperti yang dirasakan sekarang ini bisa dihentikan. Sementara pada saat bersamaan sudah bermunculan aspirasi agar dilakukan koreksi terhadap mekanisme Pilkada.

    Aspirasi ini dimunculkan karena rakyat di banyak daerah merasakan bahwa Pilkada langsung nyaris tidak memberi nilai tambah bagi kesejahteraan mereka.

    Alih-alih menyejahterakan, tampilnya kepala daerah baru yang membawa tim suksesnya masuk dalam manajemen pemerintah daerah (Pemda) justru sering menghadirkan masalah.

    Mulai dari masalah kompetensi hingga perilaku koruptif. Banyak kepala daerah tidak fokus membangun dan memenuhi kebutuhan daerahnya. Mereka lebih disibukan dengan ‘menggoreng’ semua mata atau pos anggaran dalam anggaran belanja pemerintah daerah (APBD). Warga di daerah hanya bisa bermimpi tentang akan tampilnya pemerintahan yang baik atau good governance, sambungnya.

    Akibatnya, rakyat merasakan bahwa Pilkada langsung lebih sering menghadirkan ekses dibanding manfaat. Dan, untuk menunjuk fakta tentang ekses Pilkada langsung itu, tidak sulit-sulit amat. Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sudah 77 Kepala daerah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Kemudian, sepanjang periode 2004-2017, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersandung kasus hukum. Dari jumlah ini, sebanyak 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Ini fakta dari ekses Pilkada langsung itu.

    Eksesnya tak terbatas pada korupsi anggaran, tetapi juga terhadap manajemen Pemda secara keseluruhan akibat kepala daerah bersangkutan menyandang status tersangka dan menghuni ruang tahanan di KPK. Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada wakilnya akan menghadirkan sejumlah konsekuensi yang tak mudah diadaptasi seluruh satuan kerja.

    Rangkaian fakta ini rasanya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan faktor pendorong melakukan koreksi terhadap pola dan sistem Pilkada langsung. Potensi masalah dan ancamannya jangan disederhanakan.

    Pilkada langsung yang sejatinya demokratis itu bisa dipersepsikan buruk jika terus menerus hanya menghadirkan kepala daerah yang inkompeten, tidak kredibel dan tidak berintegritas.

    “Jangan sampai masyarakat memersepsikan Pilkada langsung sebagai batu loncatan bagi para oknum kepala daerah untuk mengorupsi APBD. Benih-benih persepsi negatif itu sudah mulai tumbuh di banyak kalangan. Bahkan sudah tumbuh keyakinan bahwa tidak ada demokrasi dalam praktik Pilkada langsung, karena proses menuju kemenangan lebih ditentukan oleh uang.

    Publik bahkan tahu bahwa untuk meraih kemenangan, para kontesntan Pilkada langsung dituntut menyediakan pundi-pundi yang jumlahnya tidak kecil. Sang pemenang akan mencari kompensasi atas pengeluaran atau belanja Pilkada itu dengan ‘menggoreng’ proyek-proyek dalam APBD.

    Mau tak mau, pemenang Pilkada langsung akan membuat formasi manajemen birokrasi Pemda yang cenderung korup. Artinya, publik pun sudah tahu betul tentang ekses Pilkada langsung itu.

    Maka, wajar jika berbagai elemen masyarakat mulai apatis terhadap Pilkada langsung. Hal ini setidaknya tercermin dari rendahnya partisipasi pemilih di banyak Pilkada langsung. Menyikapi apatisme masyarakat itu, negara harus menanggapinya dengan sangat serius dan sungguh-sungguh. Harus ada keberanian dan kemauan moral untuk segera menghentikan ekses Pilkada langsung itu.

    Tujuannya, untuk menguatkan keyakinan masyarakat terhadap demokrasi. Selain inisiatif dari pemerintah dan DPR, konsep atau proposal dari institusi penyelenggara dan pengawas pemilihan umum pun tak kalah pentingnya.

    Ekses Pilkada langsung yang dirasakan bersama saat ini tidak hanya dicerminkan oleh jumlah kepala daerah yang menjadi tahanan KPK. Ekses Pilkada langsung pun bisa dilihat pada kegagalan sejumlah daerah otonomi baru (DOB).

    Kementerian Dalam Negeri mencatat, progres dari 67 persen daerah hasil pemekaran tidak sesuai harapan. Artinya, hanya 33 persen DOB yang mampu mencspai target minimal sebagai daerah baru. Bisa dibayangkan bahwa sebagian besar warga pada DOB kecewa, karena pemekaran daerah ternyata belum bisa menyejahterakan mereka. Lagi-lagi, komptensi kepala daerah pada DOB menjadi sumber masalah.

    Dengan begitu, masuk akal jika Pemerintah pada Februari 2016 menghentikan sementara (moratorium) pembentukan daerah baru. Terhitung sejak tahun 1999 sampai 2014, sudah terbentuk 223 DOB, meliputi delapan Provinsi, 181 Kabupaten dan 34 kota.

    Telah mengemuka wacana tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kalau memang ini menjadi opsi terbaik, jangan ragu untuk menyepakatinya. Terpenting, ekses Pilkada langsung harus segera dihentikan.

    (jan/beritasampit.co.id)