Penyelenggara Pemilu, Aktivis Ormas, dan Dosen, Uji Materi UU Pemilu ke MK

    JAKARTA – Dalam sejarah kepemiluan Indonesia, pemilihan umum (pemilu)
    tahun 2019 merupakan pemilu pertama dilakukan secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Presiden dan Wakil Presiden atau yang dikenal dengan istilah “pemilu lima kotak” dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014.

    Salah satu konsekuensi dianutnya sistem “pemilu lima kotak” mengakibatkan berubahnya regulasi kepemiluan yang berbentuk kodifikasi undang-undang kepemiluan, yaitu diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

    Dari beberapa ketentuan UU Pemilu
    menurut beberapa penyelenggara pemilu, aktivis ormas, dan dosen memberikan kuasa hukum kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Syarikat Islam yang permohonan teregister dengan nomor perkara 31/PUU-XVI/2018 yang dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan oleh Mahkamah Konstitusi Senin, 16 April 2018, Pukul 13.30 WIB.

    Beberapa ketentuan UU Pemilu a quo yang dimintakan pengujian ke Mahkamah Konstitusi yang dianggap merugikan kepentingan konstitusional para Pemohon, antara lain mengenai:

    (1) Komposisi keanggotaan KPU Kabupaten/Kota dari 5 (lima) anggota menjadi 3 (tiga) orang dengan mendasarkan pada luas wilayah dan jumlah penduduk (Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu);
    (2) Keharusan mundur sebagai pengurus ormas yang berbadan hukum atau tidak
    berbadan hukum bila terpilih sebagai penyelenggara pemilu (Pasal 21 ayat (1) huruf k UU Pemilu);
    (3) Syarat sahnya Keputusan Pleno dari KPU Kabupaten/Kota yang beranggotakan 3
    (tiga) orang anggota (Pasal 44 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b UU Pemilu);
    (4) Pengurangan jumlah keanggotaan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dari 5 (lima) anggota menjadi 3 (tiga) orang (Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu);
    (5) Syarat usia terendah 25 (dua puluh lima)
    tahun bagi Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa, dan
    Pengawas TPS (Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu);
    (6) Keharusan bekerja penuh waktu bagi
    pengawas pemilu (Pasal 117 ayat (1) huruf m UU Pemilu);
    (7) Larangan adanya ikatan perkawinan
    sesama penyelenggara pemilu (Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu);
    (8) Sumirnya produk hukum Bawaslu dalam penanganan administrasi pelanggaran pemilu (Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu);
    (9) Ketidakjelasan ketentuan mengenai frasa “hari” (Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu);
    mundur dari keanggotaan larangan bagi penyelenggara pemilu; dan
    (10) Diferensiasi kedudukan antara pengawas pemilu di Aceh dengan pengawas pemilu di daerah lain (Pasal 557
    ayat (1) huruf b UU Pemilu).

    “Para Pemohon mengalami kerugian konstitusional dengan diberlakukannya norma-norma dalam UU a quo tersebut. Padahal dengan diadakannya kodifikasi UU Pemilu oleh pembuat undang-undang untuk menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan pemilu yang semula termuat dalam tiga undang-undang serta untuk menjawab dinamika politik terkait pengaturan penyelenggara dan peserta pemilu, sistem pemilihan, manajemen pemilu, dan penegakan hukum dalam satu undang-undang sebagai langkah yang maju,” kata Dr. Heru Widodo, S.H., M.Hum dalam rilisnya selaku kuasa hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Syariat Islam, Senin (16/4/1018).

    Akan tetapi setelah diteliti dengan sekasama lanjutnya, ternyata norma-norma a quo yang dimintakan untuk diuji justru mengalami:

    (1) adanya contradictio in terminis dengan maksud kodifikasi itu sendiri;
    (2) adanya perlakuan yang tidak adil antar penyelenggara pemilu jika dibandingkan dengan regulasi penyelenggara pemilu sebelumnya yang belum serentak;
    (3) terhalangnya hak-hak dasar penyelenggara pemilu; dan
    (4) potensi berlarutnya proses
    penghitungan, koreksi, dan validasi rekapitulasi penghitungan suara.
    Padahal dalam sistem keadilan pemilu sejumlah norma dan nilai tertentu baik yang dikodifikasi maupun tidak harus menjamin proses pemilu lebih berjalan kredibel dan memiliki legitimasi yang tinggi.

    Dalam sistem keadilan pemilu, pelaksanaan pemilu harus dipandang berjalan secara efektif, serta menunjukkan independensi dan imparsialitas untuk mewujudkan keadilan, transparansi, aksesibilitas, serta kesetaraan dan inklusivitas.

    Apabila sistem pemilu tidak kokoh dan tidak berjalan dengan baik, kredibilitasnya akan berkurang dan dapat mengakibatkan para pemilih mempertanyakan proses pelaksanaan pemilu, atau bahkan menolak hasil akhir pemilu.

    Karena itu, keadilan pemilu yang efektif dan tepat waktu menjadi elemen kunci dalam menjaga kredibilitas proses pemilu tahun 2019 yang dilakukan secara serentak sebagaimana mestinya, dan jangan sampai dapat mengancam integritas,
    kemandirian.

    Kemudian kredibilitas dalam penyelenggaraan pemilu yang pada akhirnya tidak hanya dapat mengganggu proses pemilu, bahkan juga bisa menyebabkan kredibilitas hasil pemilu dipertanyakan akuntabilitasnya disebabkan sistem kepemiluan yang tidak kokoh dan
    tidak berjalan dengan baik sesuai dengan asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

    Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 52 ayat (1), Pasal 44 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf o, Pasal 286 ayat (2), Pasal 468 ayat (2), dan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    (rilis LBH syariat islam for beritasampit.co.id)