WAJAH BARU PENANGGULANGAN TERORISME

    Oleh: H. Joni

    Sah…DPR akhirnya mengesahkan perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Terorisme pada Jumat (15/5) lalu. Hal itu menyusul pembahasan yang alot dan makan waktu cukup lama atau sekitar dua tahun sejak diajukannya oleh pemerintah tahun 2016 lalu.

    Terjadinya peristiwa pemboman di gereja Surabaya sebelumnya, Minggu (13/5) menjadi pemicu kuat untuk segera dituntaskannya pembahasan terhadap RUU terorisme itu. menyusul kejadian itu Revisi Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali menguat.

    Sampai Presiden Joko Widodo bahkan memberikan ultimatum agar revisi segera dituntaskan. Masalah Penyadapan
    Sebagaimana dipahami, penyebab mengapa demikian alot pembahasan UU itu, setidaknya ada dua poin.

    Hal ini merupakan titik krusial yang menjadi perbedaan pendapat di DPR dari beberapa poin lainnya. Keduanya adalah tentang penyadapan dan pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kedua hal ini, ibarat aliran air adalah hulunya.

    Sebab dari keduanya inilah kemudian menjadi perdebatan berkait dengan masalah Hak Asai Manusia (HAM).
    Dari masalah pertama, tentang kewenangan penyadapan itu jelas bersifat sangat individual.

    Penyadap menurut UU ITE beserta perubahannya adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi elektronika dan/ atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

    Penyadapan atau intersepsi merupakan perbuatan yang dilarang oleh UU ITE beserta perubahannya dan kepada pelakunya dapat diancam sanksi pidana. Pengecualian terhadap ketentuan larangan penyadapan atau intersepsi itu adalah intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan Undang Undang.

    Dengan demikian tindakan penyadapan dalam UU pemberantasan terorisme ini merupakan lex specialis atau bersifat khusus. Tindakan penyadapat ini dibutuhkan untuk melakukan identifikasi terhadap subyek hukum yang akan melakukan tindak pidana terorisme.

    Dengan demikian masih belum terjadinya perbuatan sudah dapat diidentifikasi melalui jaringan komunikasi yang dilakukan.
    Merujuk sebelumnya, kewenangan dimaksud tidak dimiliki oleh aparat hukum, kecuali institusi KPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang boleh melaklukan penyadapan.

    Tentu dalam kaitannya dengan perbuatan korupsi, dan tidak berhubungan dengan terorisme. Diberikannya kewenagan untuk melakukan penyadapan ini, sehubungan dengan sifat preventif dari aparat penegak hukum khususnya Polri untuk mendeteksi secara dini terjadinya tindak pidana terorisme.

    Dengan diberikannya kewenangan dimaksud maka adanya organisasi yang terafiliasi dengan salah satu organisasi teroris yang ada, terutama pada skala internasional bisa langsung ditangkap dan diproses.

    Lebih dari itu jika sudah ditemukan bahan peledak, peluru, atau zat yang mengindikasikan sebagai bahan peledak tanpa ijin akan terjaring oleh UU dimaksud.

    PELIBATAN TNI
    Isu hukum yang krusial dan kemudian disahkan adalah pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kekhawatiran selama ini, sebagaimana pernah terjadi trauma dalam pelibatan TNI dalam penegakan hukum adalah merujuk pada fungsi sosial politik dari ABRI pada masa lalu.

    Adanya UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (vide Pasal 7 ayat (2) Tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) belum meyakinkan para pembahasa di DPR. Masih ada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran.

    Pada akhirnya kekhawatiran itu dapat ditepis, sebab pelibatan dalam hal itu memang dibutuhkan. Apagi institusi TNI memilik bagian atau divisi antiteror. Bahwa pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme juga sangat dibutuhkan, karena terorisme kini merupakan ancaman kedaulatan negara dan menjadi tanggungjawab TNI sebagai komponen utama.

    Walhasil, pelibatan TNI akhirnya disepakati pada 14 Maret 2018 dan masuk dalam Pasal 43 J ayat 1, 2 dan 3. Berikutnya, sebagaimana yang tercatat dalam draf RUU Terorisme per 17 April 2018 pada akhirnya disahkan pelibatan dimaksud. Dengan demikian secara formal kekhawatiran itu ditepis, dan divisi khusus TNI yang merupakan pasukan anititeror dilibatkan dalam penanggulangan tindak pidana terorisme.

    POIN PENTING
    Dalam catatan yang diperoleh dengan membandingkan UU terorisme yang disempurnakan, setidaknya adalah 8 (delapan) poin penting sebagai semacam energi baru dalam pemberantasan terorisme.

    Kedelapan hal itu di samping kedua hal yang disebutkan di atas (yaitu tentang penyadapan dan pelibatan TNI adalah:

    Pertama, kriminalisasi baru terhadap berbagai rumus baru tindak pidana terorisme seperti jenis bahan peledak, mengikuti pelatihan militer atau paramiliter atau latihan lain baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.

    Kedua, pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana terorisme baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. perluasan sanksi pidana terhadap korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang-orang yang mengarahkan kegiatan korporasi.

    Ketiga, adanya norma baru tentang penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu. Keempat adalah adanya kekhususan dalam penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum serta penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme oleh penuntut umum. Sebelumnya hal dimaksud mengacu kepada Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Keempat adalah norma perlindungan korban tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab negara. Hal ini merupakan norma baru yang selama ini tidak diatur baik sebagai semacam kompensasi terhadap korban. Cakupan ganti rugi yang meupakan perlindungan hukum konkret ini juga tidak ada dalam peraturan poerundangan lain tentang jatuhnya korban.

    Kelima, adalah adanya norma pencegahan tindak pidana terorisme yang dilaksanakan oleh instansi terkait seusai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan BNPT. Kepastian ini memberikan semacam kekhususan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai hal yang membahayakan kedaulatan negara. Kesemuanya adalah tetap dalam koridor HAM.

    Keenam, diatur secara normatif perelindungan hukum kepada pelaku teror. Bahwa tersangka tak boleh diperlakukan secara kejam tapi harus manusiawi, tidak boleh dihina harkat dan martabatnya, berhak didampingi pengacara, dan berhak ditemui keluarga kecuali dalam tingkat kejahatan tertentu.

    Dengan berbagai perubahan itu tentunya akan merubah wajah penegakan hukum terhaadap tindak pidana terorisme di tanah air. Harapannya gerak tindakan terorisme tidak menemukan habitatnya di tanah air. Semoga.***