IDUL FITRI MEMUPUK SOLIDARITAS SOSIAL

    Oleh: H. Joni

    BERJUTA hikmah bengiringi Idul Fitri yang senantiasa dirayakan secara meriah usai puasa Ramadhan. Dia datang bersama bergulirnya sang waktu. Tak harus diundang dan tak harus disuruh pergi. Tak ada kepentingan bagi idul fitri untuk datang dan pergi. Namun manusia yang harus menghajatkannya.

    Tergantung kepada manusia untuk dapat memetik berjuta hikmah dan pelajaran agung darinya atau tidak. Pada makna religiusitas, ini menjadi puncak atau klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.

    Keberadaannya memiliki keterkaitan, atau korelasi makna dengan tujuan akhir yang ingin diraih dari pelaksanaan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu agar manusia yang menjalankan ibadah puasa menjadi insan yang bertaqwa.

    Ketaqwaan yang ditandai dengan kesucian (fitri) menjadi penanda kembalinya manusia yang menjalankan ibadah puasa menjadi putih bersih, tanpa dosa. inilah sebuah kemenangan. Yang agung.

    Maknanya bahwa orang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selain mampu menahan diri selama sebulan penuh juga harus memperhatikan kepada sesama. Tidak saja puasa, tetapi juga serangkaian ibadah lainnya mengandung ajaran demikian.

    Ujung dari ibadah puasa dengan segala ibadah ritualnya kemudian berbuah kesucian atau perwujudan diri kembali kepada keadaan fitrah (Fitri). Istilah Idul fitri juga merupakan penggabungan dari kata “Ied” yang berarti hari raya dan “Fitri” yang berarti berbuka puasa.

    Idul Fitri bisa pula diartikan sebagai hari berbuka secara massal oleh kaum muslimin pasca sebulan lamanya menjalankan pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan telah mengakhirinya.

    Pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan terlebih lagi menjelang berbuka puasa di waktu maghrib yang di rasakan penuh dengan kebahagiaan selama sebulan penuh diakhiri. Sebagai manifestasinya secara massal adalah dengan dirayakannya idul fitri.

    Makna Solidaritas Sosial
    Pada pemaknaan sosial, solidaritas merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh manusia dalam kaitannya dengan ungkapan perasaan manusia atas rasa senasib dan sepenanggungan terhadap orang lain maupun kelompok.

    Makna solidaritas dekat dengan makna rasa simpati dan empati karena didasarkan atas kepedulian terhadap orang lain maupun kelompok. Pembedanya, rasa solidaritas ini tumbuh di dalam diri manusia karena adanya rasa kebersamaan dalam kurun waktu tertentu.

    Solidaritas erat kaitannya dengan rasa harga diri seseorang maupun harga diri kelompok. Solidaritas yang tumbuh di dalam diri manusia untuk kelangsungan hubungannya dengan orang lain maupun kelompoknya dapat menjadikan rasa persatuan yang dimiliki menjadi lebih kuat dan mantap.

    Solidaritas yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain maupun kelompoknya adalah suatu bentuk ungkapan dari keyakinan terhadap agama. Solidaritas merupakan suatu sifat yang dimiliki manusia secara solider atau suatu perasaan setia kawan terhadap orang lain maupun kelompok.

    Rasa setia kawan yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain maupun kelompok dapat membuat seseorang tersebut rela berkorban demi orang lain maupun kelompok tanpa adanya rasa paksaan di dalam dirinya.

    Dengan demikian nyata bahwa ajaran tentang idul fitri menjadi dasar dari terciptanya solidaritas sosial. Hari yang penuh kemenangan itu tidak semata diukur dari satuan waktu yaitu satu hari. Justru keberlanjutan dari kebersaman itu menjadi penting untuk diteruskan di waktu waktu berikutnya sampai idul fitri tahun depan.

    Hari Berbagi
    Seiring perkembangan jaman, mau tidak mau, suka tidak suka segala sesuatu di akhir jaman ini segala sesuatu diukur dengan materi.

    Bahkan idul fitri atau lebaran oleh sebagian umat muslim, khususnya di Indonesia kerap di identikkan dengan tradisi mudik, halal bihalal, pakaian baru, hidangan kue lebaran dan kesuka-citaan. Kesemuanya boleh disebut harus dilaksanakan dengan materi.

    Bukti konkret dari hal ini teceremin pada pemahaman tentang zakat. Bahwa diwajibkan bagi umat muslim yang mampu untuk membayar zakat yang berupa zakat fitrah kepada fakir miskin sebagai bentuk dan implementasi dari kepedulian sosial.

    Hal ini menjadi bagian dari ritual idul fitri dengan maksud berbagi kebahagiaan dari mereka yang tidak berpunya agar sama-sama bisa merasakan suka cita pada hari tersebut. Memang aturannya kegembiraan hari raya idul fitri bukan monopoli dan dominasi orang yang berkecukupan semata.

    Sebab, kewajiban zakat dan anjuran memperbanyak sedekah selain bersifat transendental, juga memberi pesan kepada yang berpuasa agar senantiasa mempedulikan kepada sesame, khususnya kepada yang tidak berpunya.

    Di dalam prakteknya, perkembangan peradaban manusia modern saat ini telah berada pada suatu titik yang nyaris semua hal diukur dengan materi. Bahkan terdapat kecenderungan yang begitu kental, bahwa orang semakin mengukur legitimasi aktivitas tindakannya berdasarkan harga.

    Terlebih lagi dalam arus deras globalisasi dewasa ini hampir semua urusan menjadikan uang dan kebendaan sebagai parameter. Meski diakui uang bukan segalanya, namun segalanya dianggap memerlukan uang.

    Kaitannya dengan ini tidak berlebihan kalau dalam konstelasi perekonomian masyarakat khususnya di Indonesia telah menjadi prinsip dasar untuk merayakan Idulfitri ini mesti mengadakan segala sesuatu dengan serba baru. Hal itu bisa dipenuhi dengan uang.

    Makna lahirnya bahwa siapa yang memiliki kekayaan akan materi dapat dengan mudah dan serta merta memanjakan dan memuaskan pelbagai keinginannya beridul fitri dengan sukacita.

    Pada bagian lain, kondisi ini semakin mengesampingkan, mengabaikan bahkan menghimpit orang miskin dari kehidupan yang berdasar kebersamaan. Di sini terjadi jarak atau kesenjangan sosial.

    Pada hal tujuan dari idul fitri jelas untuk mengikis kesenjangan sosial ini. Keberadaannya adalah sebagai media Bersama untuk berbagi. Tidak saja berbagi materi tetapi juga berbagi kegembiraan di hari yang fitri ini.

    Dalam konteks inilah urgenya mengeluarkan zakat, mengeluarkan infaaq dan memberi sedekah kepada yang berkekurangan. Kesemuanya harus dilakukan atas dasar keikhlasan. Tidak mengukur dari jumlah materi yang dikeluarkan berdasarkan rumus tertentu.

    Namun harus dengan dasar keyakinan bahwa semua yang dikeluarkan itu akan mempeoleh balasan berlipat. Tidak saja di akherat tetapi juga di dunia. Dasar keyakinan demikian yang menjadi tujuan dari dikeluarkannya zakat, infaq dan sedekah.

    Kesemuanya adalah dalam rangka memupuk solidaritas sosial. Dengan demikian tidak terjadi gap atau jarak yang teramat lebar antara si kaya dan si miskin. Kebiasaan atau keyakinan yang haruus dipupuk di sepanjang waktu.***