Awas! Paham Radikal incar Para Insan Akademis!

    JAKARTA – Ketua DPR Bambang Soesatyo mengingatkan tentang fenomena pemahaman keagamaan yang ekslusif dan cenderung radikal sudah masuk ke dunia pendidikan secara perlahan sejak tahunan lalu..

    “Beberapa kampus-kampus ternama di Tanah Air disinyalir kuat menjadi pusat pengembangan paham-paham radikal yang bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai bangsa majemuk, toleran, dan inklusif,” kata Bamsoet Selasa (19/6/2018).

    Komentar itu muncul berdasarkan temuan riset terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-Universotaa Islam Negeri Jakarta (2017), melalui program “Enhancing the Role of Religious Education in Countering Violent Extremism in Indonesia” atau lebih dikenal dengan Convey Indonesia.

    Mereka punya paham radikal itu secaramatis berusaha menjadikan para insan akademis, termasuk di dalamnya para mahasiswa, dosen, dan pegawai, menjadi target utama penyebaran paham tersebut, jelas nya.

    “Temuan ini jelas merupakan tamparan keras bagi para pecinta kemajemukan Indonesia (silent majority), terutama kelompok “Muslim Moderat” yang selama ini dikenal sebagai penjaga setia Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika,” ucapnya.

    Satu pesan kuat temuan itu adalah banyaknya anak-anak muda milanial atau dalam istilah Rhenald Kasali strawberry generation, menjadi sasaran empuk berbagai kelompok keagamaan untuk menancapkan benih-benih pengaruhnya, ungkapnya.

    Anak-anak muda zaman now yang tersebar di kampus-kampus tanah air adalah primadona dan sekaligus target-audiens, tegasnya.

    Kelompok mana pun yang bisa meraih “simpati” seluas-luasnya di kalangan anak-anak muda akan menentukan wajah, arah, dan nasib umat Islam Indonesia ke depan, bahkan eksistensi bangsa ini secara keseluruhan. Tentu saja, gerakan kaum radikal dalam menyebarluaskan jejaring dan pengaruhnya tersebut tidak muncul tiba-tiba.

    Apa yang mereka “peroleh” saat ini merupakan dampak dari “gerakan” yang didesain dan disiapkan puluhan tahun silam. Tak hanya itu, watak gerakan mereka pun tampak sangat militan, kompak, berdaya-tahan (endurance), dan kreatif sehingga pada titik tertentu mampu menyihir anak-anak muda, sekelompok usia yang secara psikologis sedang dalam tahap pencarian identitas, untuk bai’at dan bergabung secara sadar-sukarela.

    Dalam konteks inilah, gagasan dan gerakan “Muslim Moderat” atau, meminjam istilah Convey Indonesia, “Muslim Ngefriend” serta paham “kebangsaan” sebagai wacana-tandingan (counter discourse) sangat penting dihadirkan dan disebarluaskan secara massif melalui media-media kreatif, jelasnya.

    Gagasan atau gerakan ini mesti di design sebagai sebuah strategi budaya dan sekaligus kreatif tentang cara memperkenalkan corak ke-Islaman-kebangsaan yang toleran dengan bahasa gaul khas anak-anak muda zaman kini.

    Bagaimanapun, gagasan atau gerakan “Muslim Moderat” dan “kebangsaan” harus menjadi arus-utama (mainstream) ruang publik dan menjiwai (inspirit) anak-anak muda Indonesia dalam melangkah ke depan, sambungnya.

    “Itulah, antara lain, yang menjadi perhatian serius kita dalam rangka melawan radikalisme di kampus,.
    Untuk melawan radikalisme di kampus, kita harus mengutamakan nilai-nilai “Muslim Moderat” sangat penting,” katanya.

    Dalam kamus gaul anak muda, istilah “Muslim Moderat” acapkali dimaknai sebagai Nuslim yang “ngefriend”, bermakna dekat, hangat, bersahabat, asyik, dan penuh cinta, lanjutnya.

    Namun, secara filosofis, istilah ngefriend tak sekadar berkonotasi dekat dan asyik, tapi lebih dari itu mengandung makna “keintiman” (intimacy). Keintiman adalah sebuah karakter yang dinamis. Bergerak, mengalir, interaktif, bergairah untuk maju (antusias), kemerdekaan ide (idea of progress), dan mudah beradaptasi dengan realitas sosio-kultural yang kompleks dan beragam/plural, jelasnya.

    Menjadi Muslim Moderat berarti berjiwa terbuka, toleran, gaul, menghargai perbedaan, dan sekaligus “Islam banget”. Itu berarti energi ruhaniah ke-Islaman yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari selalu menyejukkan dan bersinergi dengan kebangsaan, sambungnya.

    Mereka bangga menjadi Muslim, tapi pada saat yang sama urusan “primordial-nya” sudah tuntas. Menjadi muslim, ya, otomatis menjadi Indonesia.

    Dengan demikian, bagi para pegiat dan penikmat “Muslim Moderat” acapkali menyelami agama secara asyik-masyuk (eros-oriented-religion). Agama jelas bukan semata “hukum” atau “aturan kaku” yang mengurus soal halal-haram saja. Tapi lebih dari itu beragama berarti memuliakan sesama manusia, apa pun suku, bangsa, dan keyakinannya, urainya.

    Dalam jiwa “Muslim Moderat” variabel kebangsaan itu menjadi sangat penting. Hal itu, antara lain,ditunjukkan dengan bukti mereka menerima Pancasila secara kaffah. Maka, bagi para punggawa “Muslim Moderat” persoalan Pancasila sudah selesai; tidak ada keraguan sedikit pun di benak mereka tentang Pancasila sebagai dasar negara, ideologi maupun falsafah hidup bangsa.

    Sikap NU, Muhamadiyah, HMI sebagai kampium Muslim Moderat, misalnya, menjadi bukti nyata.

    (jan/Beritasampit.co.id)