Ingin Tahu? Kenapa Kubah Gedung DPR Unik Seperti Kura-Kura?

    JAKARTA – Beberapa tamu kepala negara dari Eropa bahkan Asia saat mau pulang seusai bertemu dengan pimpinan MPR, DPR dan DPD selalu melihat ke arah bangunan kubah warna hijau yang mirip cangkang kura-kura itu.

    Semua orang dari daerah jika datang ke gedung wakil rakyat ini akan selfie dengan latar belakang kubah hijau bangunan oval dikenal gedung kura-kura.

    Kubah itu saksi sejarah saat perubahan dari Orde Baru ke Reformasi dengan hanya mahasiswa yang bisa menginjak lantai kubah itu ditambah aksi seorang aktor film Pong Hardjatmo yang berhasil naik di atas kubah.

    Menelusuri untuk tahu siapa arsitek dan kenapa tercipta kubah gedung yang aneh serta tidak ada duanya di dunia itu? Tentunya sulit mendapatkan saksi hidup karena semua sudah almarhum. Terbantunya hanya dengan mengumpulkan literatur tulisan dari buku dan info di Perpustakaan DPR.

    Ternyata kubah yang unik itu dirancang diluar dari desain yang sudah direncanakan.

    Ini ceritanya, kejadiannya tahun 1965 berawal dari arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo ingin ikut sayambara lomba desain Gedung MPR dan DPR waktu itu belum ada DPD

    Arsitek yang hanya tamatan setingkatan STM itu merancang desain bersama tim arsitek terdiri dari Ir Sutami selaku struktur engineer dan Ir Nurpontjo selaku staf Soejoedi yang ditugaskan untuk membikin maket bangunan.

    Waktu ikut sayembara batasnya hanya dua minggu.

    Saat membuat miniatur bangunan semua sisi sudah lengkap terakhir yang belum.hanya kubah gedung, padahal waktu untuk penyerahan maket atau deadline tinggal sehari lagi.

    Dari rancangan desain tim ini akan membuat kubah gedung bentuk bulat setengah bola.

    Ir Nurpontjo yang ditugaskan membuat maket bangunan, tetap akan membuat bentuk kubah sesuai sket yaitu setengah bola.

    Dibuatlah bentuk itu dengan bahan plastik agar bisa sempurna bentuk setengah bulat digunakan cetakan kuali penggorengan. Tapi hasilnya sangat mengecewakan karena permukaan di tengah bulatan menciut tidak utuh setengah bulat.

    Nurpontjo merasa kecewa dengan hasil cetakannya. Tiba-tiba Soejoedi menghampirinya dan bertanya soal maket atau kubah gedung apa sudah selesai dibikin.

    Nurpontjo berusaha agar kubah bentuk setengan bulat permukaannya mukus untuk menghilangkan keriput dipotonglah dibagi dua dengan harapan keriput bisa dibuang dan nanti disambung.

    Saat mau menyempurnakan kubah masih terbelah itu, Soejoedi mendekat dan melihat dua potongan setengah bundaran jika dipadukan satu bentuknya agak unik. Dia utak-atik menyatukan dua potongan bundaran itu dan terlihat bentuknya unik.

    Dia menyatakan kubah akan diganti dengan bentuk unik itu, namun sebelum memutuskan desain itu Soejoedie bertanya terlebih dahulu kepada rekan kerja yakni Sutami karena bisa tidak kerangka gedung di bawahnya menahan berat bentuk seperti cakang kura kura.

    Sutami melakukan perhitungan dan memberikan jawaban, kubah bisa dipasang, strukturnya sama dengan membuat sayap (wing) pesawat yang menempel pada badan pesawat, memakai prinsip struktur kantiver.

    Sutami malah bisa menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk dan struktur tersebut masih bisa.

    Bagian penyanggah kubah agar kuat dibuat dua busur beton yang dibangun berdampingan dan nantinya bertemu pada satu titik di puncak.

    Struktur sepasang busur beton dengan satu titik temu tersebut kemudian harus diteruskan masuk ke dalam bumi, untuk bisa menyalurkan beban. Struktur semacam itu sangat kokoh dan stabil.

    Desain mereka memenangkan sayembara dan pembangunan Gedung DPR-MPR ini dikerjakan tahun 1965 itu juga serta rampung pada 1968.

    Hasilnya, atap gedung tersebut hingga saat ini masih terlihat unik dan kokoh walau pernah diinjak puluhan mahasiswa saat menduduki bangunan kubah itu.

    Gedung ini juga dari rencana awal dibangun oleh Presiden Soekarno bukan untuk gedung wakil rakyat, melainkan tempat menyelenggarakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang merupakan wadah dari semua New Emerging Forces.

    Anggota-anggotanya direncanakan terdiri dari negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara Sosialis, negara-Komunis, dan semua Progresive Forces dalam kapitalis.

    Conefo sebagai tandingan terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

    Melalui Keppres No 48/1965, Soekarno menugaskan kepada Soeprajogi sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT). Menteri PUT kemudian menerbitkan Peraturan Menteri PUT No 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo.

    Gedung Kura-kura alias Gedung Parlemen RI berdiri di atas lahan wakaf bekas lembaga pendidikan Islam yakni Madrasah Islamiyah cikal bakal lahir Pondok Pesantren Darunnajah.

    Komplek Parlemen terdiri dari Gedung berkubah bernama Lokawirasabha tempat pelantikan kepala negara juga acara kebesaran negara lainnya.

    Di samping kanan dari kubah jika berdiri menghadap gedung berkubah di samping kanan ada tambahan gedung bertingkat.24, dibangun pada Orba Presiden Soeharto bernama Gedung Nusantara I tempat ruang kerja anggota DPR.

    Di sampingnya Gedung Nusantara II, sebelum ada gedung baru dibangun di ruangan ini tempat rapat kerja komisi-komisi.

    Setelah ada perluasan bangunan di Nusantara II ada gedung untuk ruang rapat paripurna DPR. Sedangkan Gedung Nusantara III ruang kerja Pimpinan MPR, DPR, DPD.

    Nusantara IV ruangan untuk diskusi dan acara resmi lainnya. Nusantara V kini dipinjam oleh DPD untuk mengadakan rapat paripurna mereka.

    Agak ke belakang ada bangun empat tingkat tempat ruang kerja anggota DPD dan pegawai ASN.

    Di tengah halaman gedung atau depan tangga kubah terdapat air mancur serta monumen.

    Sedangkan bangunan di belakang Nusantara III Gedung Sekretariat Jenderal dan menjauh arah barat sebuah Masjid bernama Baiturrahman.

    Dari semua bangunan yang ada hanya kubah kura-kura yang unik dan selalu ingin melirik jika berdiri di depan halaman Gedung Nusantara III.

    (jan/Beritasampit.co.id)