Ingin Tahu, Berapa Berat Emas di Mahkota Lidah Api Monas

    JAKARTA – Monumen Nasional alias Monas yang tugunya menjulang tinggi dengan paling atas ada pentolan warna kuning lambang api bergelora mengkrucut ke atas, itulah Mahkota Lidah Api. Warna kuning itu tidak pudar luntur walau sudah tujuh puluh tahun lebih usianya kena hujan dan panas serta polusi udara karena dilapis emas.

    Pertanyaannya berapa berat emas itu dan siapa penyumbang terbesar?

    Sebelum sampai jawaban tersebut, maka.alangkah bijaknya jika kita tahu lebih mendalam tentang Monas yang populer dengan singkatan Monumen Nasional atau Tugu Monas. Momas tingginya 132 meter (433 kaki).

    Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah Presiden Soekarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.

    Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas melambangkan semangat perjuangan.

    Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat atau berseberangan dengan Istana Negara.

    Monumen dan museum ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.00 – 15.00 WIB. Hari Senin pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk umum dalam rangka pembenahan.

    Arsitek Monas adalah Frederich Silaban (arsitek desain Masjid Istiqlal) dan RM Siedarsono yang meneruskan pembangunan. Sedangkan kontraktor tiang fondasi PN Adhi Karya

    Pembangunan Tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi penerus bangsa.
    Agar Monas bisa dibuat maka dicarilah para desain dengan dibuka sayembara melalui komite nasional pada Agustus 1954. Sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955.

    Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu desain yang dibuat Frederich Silaban memenuhi kriteria ditentukan komite, karena menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad.

    Agar bisa mendapatkan desain yang lebih bagus kagi, sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tetapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta memenuhi kriteria.

    Dewan juri sayembara meminta Silaban menunjukkan rancangannya kepada Presiden Soekarno. Tetapi Soekarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni (gambaran mewakili semangat laki dan perempuan)

    Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban dari segi biaya pembangunan sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, karena kondisi ekonomi saat itu kurang baik.

    Agar bisa disesuaikan dengan anggaran maka Silaban diminta merancang bangunan yang lebih kecil. Tapi dia menolak bahkan menyarankan pembangunan monumen ditunda saja hingga ekonomi Indonesia membaik.

    Soekarno tidak ingin rencana bangun monumen tersendat, dia meminta arsitek RM Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu.

    Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu.

    Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektare. Tugu diarsiteki oleh Frederich Silaban dan RM. Soedarsono, meneruskan membangun pada 17 Agustus 1961.

    Tugu ini agar pengunjung bisa naik ke cawan di bawah Mahkota emas dilengkapi elevator atau lift yang ada dalam kerangka tiang.

    Jika mau naik lift adanya di pintu sisi selatan. Tapi tidak gratis. Lift ini hanya mampu mengangkat 11 orang.

    Pengunjung akan naik menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah.

    Pelataran puncak berada di bawah Mahkota Monas itu dapat menampung sekitar 50 orang. Bagi pengunjung ingin melihat panorama Jakarta bisa menggunakan teropong.

    Antisipasi jika lift macet pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi.

    Dari pelataran puncak tugu Monas itu, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta.

    Saat cuaca cerah tanpa asap kabut, arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil dikenal dengan nama Pulau Seribu.

    Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang nyala lampu perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram.

    Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang meraih kemerdekaan.

    Awalnya Mahkita Monas ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram tetapi saat menyambut perayaan setengah abad (50 tahun) kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran emas.

    Sebanyak 28 kg dari 38 kg emas pada obor monas saat awal pembangunan dari sumbangan Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang salah satu orang terkaya di Indonesia saat itu.

    Sedangkan bagi pengunjung yang yang tidak berniat naik ke cawan paling tinggi. Bisa hanya duduk di pelataran cawan bawah melihat pemandangan dari ketinggian 17 meter dari permukaan tanah. Pelataran cawan dapat dicapai melalui elevator ketika turun dari pelataran puncak, atau melalui tangga mencapai dasar cawan.

    Di bawah pelataran cawan ada ruang musium sejarah. Rentang tinggi antara ruang museum sejarah ke dasar cawan 8 m (3 meter di bawah tanah ditambah 5 meter tangga menuju dasar cawan).

    Inilah bukti bahwa putera Indonesia mampu membangun tugu tinggi dan mambuat ruangan di bawah tanah letak museum sejarah yang tidak kena rembes air ataupun kebanjiran.

    Jika kita menyadari bahwa jalan ruangan bawah tanah (ground way) itu sudah ada di Monas ini yang dibangun tahun 1965.

    Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

    Berjalan waktu jika mau naik ke pelataran cawan paling atas atau di bawah Mahkota Monas, harus sabar karena antri panjang.

    Jangankan hari libur hari biasa saja antrian sampai dua puluh meter karena kapasitas lift yang terbatas juga pengunjung yang bertambah jumlahnya.

    Ibarat pepatah jika sudah di Jakarta, tidak ke Monas dengan bukti ada foto di android, maka masih belum afdhol.

    (jan/Beritasampit.co.id)