Wartawan Senior Itu Pergi dengan Rahasiakan Peristiwa Gedung DPR Diduduki Mahasiswa

    JAKARTA – Dini hari Sabtu (23/2018) jam 03.45 WIB, WA nada berdering di android tidak henti-hentinya, tidak seperti biasanya bunyi nada pesan masuk WA bertubi-tubi, sehingga rasa penasaran pun muncul ingin membaca pesan yang masuk.

    Dari pesan masuk bertanda bulat hijau ada angka ratusan jumlahnya. Baik di Grup Koordinasi Wartawan Parlemen, Jurnal Parlemen, Presroom, info Parlemen dan beberapa grup berhubungan dengan parlemen.

    Info saat dibuka WA ada berita duka dengan semua menulis awal kalimat
    Innalillahi WInnailaihi Rojiun…Semoga wartawan senior Pak Syafri Ali Khusnul Chotimah…

    Rasa penasaran apa benar Pak Syafri Ali meninggal, maka dibukalah WA anak almarhum dan ada tulisan
    ‘Assalamu’alaikum wr wb.
    Innalillahi wa innailaihi rojiun.
    Telah meninggal dunia ayah kami, bapak Sjafri Ali, pagi ini pada pukul 03.45 WIB.

    Mohon kiranya dibukakan pintu maaf atas segala kekhilafan/kesalahan, baik sengaja maupun tidak.
    Wassalamu’alaikum wr wb.
    – Reni, a/n keluarga bapak Sjafri Ali.

    Setelah membaca pesan dari keluarga Pak Syafri baru yakin bahwa wartawan senior yang masih punya kartu pers Harian Pikiran Rakyat terbit di Bandung, Jawa Barat yang di rawat bulanan lebih di RS Pelni itu sudah tiada.

    Teringat masa-masa Pak Syafri Ali, pria tua yang sebelum dirawat di RS Pelni walau dengan tongkat tetap aktif meliput. Kadang dia juga bersama wartawan lain ikut satu bus meliput kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan duduk di kursi bus tak tertinggal tongkat penyanggah lutut.

    Pernah saat malam hari beberapa bulan sebelum masuk rumah sakit, almarhum jam 19.30 WIB masih berada di Media Center DPR, saat ditanya pulang memakai kendaraan apa? Dijawabnya santai dengan angkutan umum mikrolet yang jika naik dari depan Pasar Pal Merah,Jakarta Selatan, hanya sekali ikut sudah sampai ke rumah.

    Satu minggu sebelum di rawat di rumah sakit yang diketahui dia puluhan tahun menderita Diabetes, pulang agak sore sekira jam empat atau lima.

    Saat dicandain beberapa teman, kok, tumben pulang sore?, Dia hanya lempar senyum dan menjawab yang di rumah menunggu.

    Walau pun sudah umuran jalan pakai tongkat dia tetap semangat berdedikasi jadi reporter alasannya jadi wartawan itu tanpa batas kecuali umur sudah tiada.

    Terakhir bersama almarhum ketika mengikuti acara Pers Gathering di Menado satu kamar dengannya.

    Di sini banyak cerita dan baru tahu bahwa almarhum ini punya mantu orang Jerman yang menyunting anak perempuannya dan diberkati cucu.

    “Ini jaket dikasih anak saya yang belinya di Jerman,” kata almarhum sambil menunjukkan jaket dipakainya warna agak keabu-abuan. Saat itu mau turun bersama makan malam

    Kenapa almarhun sangat istimewa? Karena semangat kuat jadi wartawan begitu tinggi dan memberi semangat bagi wartawan di bawah umurnya di lingkungan DPR.

    Selain itu, almarhum salah satu saksi tentang awal pendudukan mahasiswa di Gedung DPR pada 20 tahun lalu. Dia saat itu masih jadi Humas DPR yang sudah membantu suplai berita ke Media Pikiran Rakyat

    Ketika mau dibukukan tentang persaksiannya itu, dia menolak dengan alasan nanti ada yang merasa tersinggung dan ada yang salah menafsirkan.

    Akhirnya cerita siapa yang meloloskan mahasiswa bisa masuk dan menduduki Gedung DPR itupun, walau sudah dijaga pasukan anti huru hara saat itu mahasiswa tak dicegat dan sejak itu.bergulirlah reformasi.

    Hanya saja awal pendudukkan gedung dewan itu dia simpan sampai akhir hayatnya.

    (jan/Beritasampit.co.id)