Quo Vadis Provinsi Kotawaringin

    Oleh: Ricky Zulfauzan

    Reformasi 20 tahun yang lalu telah melahirkan konsep baru dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia. Konsep itu adalah otonomi daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemerintahan yang tidak lagi otoritarian (lihat Kaho, 2012).

    Otonomi daerah merupakan sebuah konsep hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana pemerintah pusat tidak lagi terlibat banyak dalam urusan pemerintahan daerah.

    Pada era ini dikeluarkan sebuah produk berupa peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah guna memberikan legal standing dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Peraturan perundang-undangan itu adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004. Kemudian direvisi kembali dalam UU No. 23 Tahun 2014.

    Sejurus dengan perkembangan politik yang berkembang sejak awal era reformasi, terlebih berkaitan dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 bermunculan keinginan berbagai daerah untuk memisahkan diri membentuk Daerah Otonom Baru (DOB). Untuk itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Pemekaran Daerah yang mengatur antara lain tentang instrumen prosedural dan instrumen persyaratan pemekaran daerah.

    Sangat besarnya tuntutan dan keinginan setiap daerah untuk memekarkan diri akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan. Oleh karena itu maka Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Pemekaran Daerah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang lebih ketat. Dalam peraturan pemerintah tersebut prasyarat pembentukan wilayah provinsi harus meliputi minimal lima kabupaten atau kota, sedangkan untuk kabupaten terdiri dari lima kecamatan dan kota dengan empat kecamatan.

    Keniscayaan Berkelindan Kepentingan

    Sebenarnya pemekaran daerah atau lebih dikenal dengan istilah pembentukan DOB tidak hanya terjadi di era reformasi saja. Pembentukan daerah otonom baru sesungguhnya sudah terjadi sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

    Kalimantan Tengah sendiri sejatinya adalah salah satu provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Selatan. Provinsi Kalimantan Tengah lahir pada 23 Mei 1957. Pada saat itu Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari enam kabupaten dan kota yaitu Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Kapuas, Kotamadya Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat.

    Kemudian pada Tanggal 10 April 2002 Provinsi Kalimantan Tengah secara resmi memiliki 13 kabupaten dan 1 kota. Pemekaran wilayah kabupaten itu menghasilkan 8 kabupaten daerah otonom baru.

    Berikut adalah daerah otonom baru beserta kabupaten yang dimekarkan tersebut: Kabupaten Barito Timur dimekarkan dari Kabupaten Barito Selatan; Kabupaten Murung Raya dimekarkan dari Kabupaten Barito Utara; Kabupaten Gunung Mas dimekarkan dari Kabupaten Kapuas; Kabupaten Pulang Pisau dimekarkan dari Kabupaten Kapuas; Kabupaten Lamandau dimekarkan dari Kabupaten Kotawaringin Barat; Kabupaten Sukamara dimekarkan dari Kabupaten Kotawaringin Barat; Kabupaten Katingan dimekarkan dari Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan dimekarkan dari Kabupaten Kotawaringin Timur.

    Sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang sangat tinggi itu, beberapa daerah di Kalimantan Tengah berkeinginan kembali untuk memekarkan dan membentuk sebuah provinsi baru, yaitu Provinsi Kotawaringin. Terdiri dari Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau dan Kabupaten Seruyan.

    Cikal bakal pembentukan DOB Kotawaringin telah cukup lama dibicarakan melalui berbagai seminar dan kegiatan-kegiatan ilmiah.

    Salah satunya yang pertama kali melakukan-nya adalah Ikatan Alumni dan Pelajar Kabupaten Kotawaringin Timur (HIMA KOTIM). Seminar itu digelar di Sampit Kalimantan Tengah pada 4 November 1999. Dalam seminar ini dideklarasikan pembentukan Provinsi Kotawaringin Raya dengan Sampit sebagai calon ibukotanya. Seiring waktu, wacana tersebut akhirnya menguap begitu saja.

    Atas inisiasi dari Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kotawaringin (BP3K) dan Pemerintah Kabupaten Lamandau maka tanggal 10 Februari 2016 dilaksanakanlah rapat koordinasi membahas kembali upaya pembentukan DOB Provinsi Kotawaringin Raya.

    Dalam rapat koordinasi ini membahas beberapa agenda yaitu: (1) pemilihan koordinator kepala daerah baru untuk menggantikan Mantan Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar untuk memimpin koordinasi antar kepala daerah yang akan menjadi wilayah DOB tersebut; (2) penentuan calon ibukota provinsi dan lain-lain yang dianggap perlu.

    Menurut Fikri (2008) terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi munculnya wacana pembentukan Provinsi Kotawaringin. Adapun faktor tersebut adalah: (a) Belum adanya pemekaran Provinsi di Pulau Kalimantan (sebelum lahirnya provinsi Kaltara pada 2012). (b) Luas wilayah Kalimantan Tengah yakni 153.564 Km2 atau 1,5 kali luas Pulau Jawa. (c) Dinamika pembangunan daerah di Provinsi Kalimantan Tengah cukup lamban, karena ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. (d) Jarak ibukota kabupaten ke ibukota provinsi terlalu jauh, sehingga mengakibatkan pembangunan berjalan lamban, pelayanan menjadi kurang maksimal dan tidak efektif serta pengendalian dan pengawasan sulit dilakukan. (e) Kondisi penghubung antar daerah di Kalimantan Tengah tidak memadai. (f) Tidak meratanya pembangunan antara wilayah Kalimantan Tengah bagian utara dan selatan mejadikan kecemburuan di antara beberapa Kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah. (g) 5 Kabupaten calon Provinsi Kotawaringin merupakan penyumbang terbesar APBD Kalimantan Tengah yakni 50%. (h) Keinginan menyatukan kembali daerah kesultanan Kotawaringin yang ada di Kalimantan Tengah.

    Dengan kata lain, terbentuknya Provinsi Kotawaringin adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat diabaikan begitu saja. Meski saat ini pemerintah pusat menyatakan moratorium terhadap pemekaran daerah baru. Tetapi itu hanyalah sebuah kebijakan politik yang dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian.

    Hendaknya para pemangku-pemangku kebijakan baik ditingkat provinsi induk maupun anggota-anggota dewan perwakilan yang mewakili provinsi kalimantan tengah agar mendukung ini. Apalagi, kini gubernurnya berasal dari Kotawaringin yang nyata-nyata harus memperjuangkan kepentingan daerah kelahirannya.

    Mengutip dari BorneoNews online tanggal 27 Januari 2017, Wakil Ketua BP3K Seruyan Anang Hartani mengatakan: ”memang dulu ada statemen dari Pak Gubernur Sugianto Sabran, jika beliau meminta tenggang waktu selama dua tahun setelah beliau menjabat. Alasan beliau, ingin fokus lebih dulu terhadap sejumlah program kerja. Saat itu disampaikan beliau saat melakukan kunjungan kerja ke wilayah Sukamara dan Lamandau”.

    Sekarang sudah berjalan dua tahun, lebih dua bulan, lebih empat hari sejak Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Tengah dilantik di Istana Negara. Sejauh ini belum juga ada kejelasan mengenai proses dan upaya yang telah dan akan ditempuh beliau untuk menindak lanjuti aspirasi tersebut.

    Padahal apabila ini dapat diinisiasi kembali, akan menjadi nilai plus bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah secara khusus beliau sebagai putra daerah Kotawaringin. Masyarakat luas akan mengingat dan mengenang beliau sebagai bapak pemekaran Kotawaringin.

    Revitalisasi Gerakan

    Agar gerakan ini lebih bersinergi dan berenergi lagi maka perlu adanya revitalisasi gerakan. Ini penting agar benar-benar bahwa yang diperjuangkan ini mengakomodir kepentingan semua. Tidak hanya kepentingan segelintir atau sebagian kelompok elit saja.

    Karena sejauh ini dicurigai bahwa pemekaran provinsi ini merupakan keinginan sebagian elit lokal di sana. Serta yang tak kalah pentingnya harus melibatkan semua elemen masyarakat, tidak hanya menjadi gerakan ekslusif.

    Lebih-lebih lagi beberapa tokoh-tokoh penggagas telah termakan usia dan banyak yang telah berpulang ke hadiratNya. Meskipun pula revitalisasi gerakan yang dimaksud haruslah benar-benar sinergis dan tanpa meniadakan peran para penggagas awal.

    Memberikan ruang yang pantas sebagai penghargaan kepada mereka.

    Kini estafet ini harus dilanjutkan oleh tokoh-tokoh muda yang cerdas, progresif dan energik penuh gairah. Berikan keleluasaan dan bila perlu dukungan anggaran kepada mereka untuk menginisiasi kembali gerakan ini.

    Tidak kalah penting juga adalah dukungan dari masyarakat luas agar ini dapat terwujud segera. Hilangkan kesan ini sebagai gerakan elitis yang tidak membumi dan mengakar kuat.

    Akhir kata, marilah kita renungkan kembali sebuah ungkapan bijak dari Ayn Rand seorang novelis dan filsuf berkebangsaan Amerika serikat kelahiran Rusia berikut: “A creative man is motivated by desire to achieve, not by desire to beat others (Seorang manusia kreatif adalah mereka yang termotivasi oleh pencapaian, bukan oleh hasrat untuk saling melemahkan)”(*)

    Penulis adalah Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya