Mengulik Sejarah Masjid Al-Aqsho, Masjid Tertua di Sukamara. BAGIAN (1/2)

    Masjid Jami Al-Aqsho, merupakan salah satu peninggalan sejarah di Kabupaten Sukamara, masjid ini dibangun pada tahun 1928 oleh masyarakat Sukamara yang dipimpin ulama asal Turki yaitu Habib Eben.

    Saat pertama kali masjid Jami Al-Aqsho dibangun berdindingkan kajang dan beratapkan daun nipah diatas tanah berukuran 6×6 meter persegi oleh masyarakat Sukamara yang awalnya merupakan usulan Habib Eben.

    Berdasarkan dari keterangan dari pengurus masjid Al-Aqsho, Ardiansyah yang menjelaskan dahulu sebelum menjadi sebuah perkampungan, Sukamara dikenal dengan nama Bagan yang berarti sebuah pondok kecil dan berukuran 3×2 meter persegi dengan jumlah penghuni satu sampai 2 orang saja.

    Masyarakat yang tinggal di Bagan tersebut bermata pencaharian sebagai pencari ikan, menurih jelutung (menyadap karet, red) serta mencari rotan saga.

    Sebelum menjadi sebuah kampung Sukamara ada tiga Bagan yang dihuni oleh masyarakat awal Sukamara yaitu Bagan Mendawai, Bagan Tengah dan Bagan Padang.

    Beberapa tahun berselang, bagan-bagan tersebutpun bertambah banyak, perkembanganpun semakin pesat di Bagan Tengah karena letaknya yang strategis. Lantaran penduduknya terus bertambah banyak dan ramai, maka dibangunlah sebuah masjid diatas tanah wakaf dari Kai Ahmadal berukuran 6×6 meter persegi.

    “Bagan Tengah lebih pesat perkembangannya dari Bagan Padang dan Mendawai, karena daerahnya termasuk Natai atau dataran tinggi kemudian banyak penduduk yang berdatangan dari Ketapang, Manis Mata yang saat ini berada diwilayah Kalimantan Barat,” kata Ardiansyah.

    Pada masa itu Masjid Al-Aqsho menjadi tempat berkumpulnya warga untuk beribadah dan bersilaturahmi. Tempat itu menjadi wadah untuk membangun masing-masing Bagan.

    Seiring bertambahnya tahun para pedagangpun banyak berdatangan ke Sukamara. Pada tahun 1938 M atau 14 Sapar 1357 H datanglah seorang pedagang minyak wangi yang berasal dari Turki bernama Habib Eben.

    Selama berdagang di Sukamara Habib Eben salat di masjid yang masih berdindingkan kajang dan beratapkan daun nipah tersebut. Melihat kondisi masjid yang seperti itu, Habib Eben lalu menghitung berapa banyak orang kaya dan pedagang di Sukamara setelah itu diminta untuk berkumpul di Masjid.

    “Saat berkumpul Habib Eben langsung membongkar atau merobek dinding masjid yang terbuat dari Kajang dan menusuk-nusuk atap masjid hingga berlubang dan berkata mana orang kaya yang ada di Sukamara, masa’ masjidnya masih berdindingkan kajang dan beratap daun,” cerita Ardiansyah sambil menirukan saat orang tua dulu bercerita kepadanya.

    “Mendengar perkataan Habib Eben pedagang dan orang kaya Sukamara langsung menyadari bahkan ada yang menangis. Lalu dilakukan kesepakatan pada saat itu juga masjid dibongkar dinding dan atapnya lalu diganti dengan dinding dari papan ulin dan atap serap,” lanjut Ardiansyah.

    Setelah dibongkar Masjid itu dibangun ulang oleh masyarakat Sukamara dengan ulama Turki yang memprakarsai setelah selesai diberi mana Masjid Al-Aqsho yang memiliki atap berbentuk linmas atau segi lima yang mengerucut keatas. Setelah pembongkaran itu masjid Al-Aqsho memiliki luas 10×10 meter persegi.
    (*) bersambung.

    Penulis : Enny Chorniawati, Wartawan Beritasampit. Wilayah Sukamara