Merefleksi 20 tahun Otonomi Daerah di Kalimantan Tengah

    Apa sebenarnya Otonomi Daerah?

    Otonomi Daerah kerap kita dengar di kalangan masyarakat, Mahasiswa, Organisasi, Pemerintah dan lain-lain. Jadi Otonomi Daerah merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata yang memiliki makna berupa harapan dan hasrat sekelompok orang banyak dalam bentuk aturan dan pemerintahan pada suatu wilayah tertentu sebagai bentuk kebebasan yang lebih leluasa untuk mengelola, memanfaatkan sumber daya alam di daerahnya dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat lokal tanpa bersinggungan dengan kepentingan pusat (Nasional).

    Dalam pasal satu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah dijelaskan bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Dan dapat disimpulkan bahwa dalam amanah Undang-Undang disebutkan bahwa Otonomi daerah merupakan hak, dan kewewenangan, yang wajib dilakukan oleh daerah Otonom (Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten atau Kota) melalui peraturan dan kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat berdasarkan kebutuhan, situasi dan kondisi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Jika ditarik kebelakang, pasca 20 tahun runtuhnya Orde Baru di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercetuslah enam Tuntutan Reformasi yang mana salah satu poinnya adalah mendesak pemerintah menghapuskan bentuk sentralisasi yang nampak otoriter hampir dalam semua sektor dan bidang yang mana harus digantikan dengan desentralisasi agar hubungan antara pemerintah pusat dan daerah lebih adil serta transparan.

    Pasca runtuhnya Orde Baru inilah Otonomi Daerah dimulai, suara dan gelombang disambut antusias oleh daerah Provinsi maupun Kabupaten dari sabang hingga marauke, tanpa terkecuali Proovinsi Kalimantan Tengah.

    Jika dihitung 20 tahun kebelakang dari tahun 2018 ke tahun 1998 Provinsi Kalimantan Tengah sudah empat kali berganti pangku Pemerintahan yaitu era Warsito Rasman 1994–1999, Asmawi Agani 2000–2005, Agustin Teras Narang 2005–2015 (dua Periode) dan yang sekarang Sugianto Sabran 2016–2021.

    Jadi, Bagaimana Otonomi Daerah di Kalimantan Tengah selama 20 Tahun Berjalan?

    Pelaksanaan otonomi dae­­rah ternyata tidak se­mu­lus dan se­indah yang dibayangkan. Ma­lah, banyak hal yang menjadi timpang dari tujuan awal diberlakukannya. Seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang lebih bersentral ke masing-masing daerah hingga melahirkan “raja-raja kecil” semakin menjadi-jadi.

    Tidak heran bahwa pada Pe­­lak­sa­na­annya, otonomi dae­­rah di­ge­ro­goti de­ngan pe­ri­la­ku dan tin­dak­an yang jauh dari harapan masyarakat oleh oknum-oknum ti­dak bertang­gung ja­wab. Belum lagi cumbu mesra antara oknum Perusahaan dan oknum Pemerintahan yang memberikan peluang investasi modal asing yang semakin merajalela mengeruk sumber daya alam (SDA) bumi Kalimantan Tengah yang hampir menguasai lebih dari separuh wilayah di masing-masing kabupaten, hingga masyarakat lokal kehilangan hak atas tanahnya dan istilah sebagai penonton ditanah sendiri memang benar terjadi.

    Lajunya deforestasi untuk pembukaan dan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di Kalimantan Tengah merupakan masalah global yang terus meningkat dengan konsekuensi-konsekuensi menimbulkan masalah lingkungan, sosial dan ekonomi yang jelas hal seperti ini bukanlah harapan serta keinginan masyarakat dalam Otonomi Daerah.

    Karena Kalimantan Tengah adalah Provinsi Terluas kedua Setelah Papua dan 1,5 kali pulau jawa memiliki sumber daya alam (SDA) yang begitu melimpah seperti tambang, perkebunan, serta sektor kehutanan namun selama 20 tahun ini Kalteng dengan hak otonomnya belum mampu memberikan kesejahteraan dan pembangunan yang merata seperti yang diamanahkan undang-undang.

    Terbukti masih banyak infrastruktur jalan, jembatan, sarana pendidikan dan kesehatan seperti Sekolah, puskesmas atau Pustu di tingkat desa maupun kecamatan pada beberapa Kabupaten di Kalimantan Tengah masih jauh dari kata layak, bahkan ada sebagian desa atau kecamatan yang sampai sekarang masih belum dialiri listrik.

    Jadi selama 20 tahun, 14 Kabupaten/kota Kalimantan Tengah dengan Hak Otonominya untuk mengurus kesejakteraan rakyat, pembangunan infrastruktur, peningkatan pendidikan dan pelayanan kesehatan sesuai berdasarkan amanah konstitusi (undang-undang) belum mampu tercapai.

    Otonomi daerah memang mem­buahkan konsekuensi ti­dak terduga yang kadang menyimpang dari tujuan mulia pem­ben­tuk­an­nya. Dan apabila ditanyakan langsung ke masyarakat menengah kebawah apa yang mereka rasakan selama 20 tahun Otonomi daerah dijalankan, dan jelas rakyat pasti menjawab “hidup makin tahun makin sulit yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” mungkin beginilah kondisi Kalimantan Tengah sekarang.

    Jadi untuk siapa sebenarnya Otonomi Daerah? masyarakat kah, Corporasi kah, atau para elit dengan kekuasaan sebagai tujuan politiknya. setiap orang berhak untuk menilai selama 20 Kalimantan Tengah dengan hak otonomi nya siapa yang lebih menikmati.

    Mari kita bersama merenungi untuk dapat berbenah diri dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang sangat fundamental ini ditengah momen kemerdekaan Republik Indonesia.

    *Penulis : Donnal Setiawan
    Ketua Umum HMI Cabang Palangka Raya.