Satu Lagi Orangutan Hasil Repatriasi dari Thailand Kembali Dilepasliarkan ke Habitat Alami

    PALANGKA RAYA-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama dengan Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival Foundation), serta USAID LESTARI, kembali melepasliarkan orangutan hasil rehabilitasi ke Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Jumat (28/9/2018).

    Pusat Rehabilitasi Orangutan Yayasan BOS di Nyaru Menteng terus melakukan pelepasliaran orangutan hasil rehabilitasi yang telah siap hidup liar. Sejak Agustus lalu telah berhasil melepasliarkan 23 orangutan ke hutan alami di TNBBBR, kali ini kembali melepasliarkan 4 orangutan betina ke Taman Nasional di Kabupaten Katingan tersebut.

    Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS melalui siaran pers mengatakan, pelepasliaran ini menambah populasi orangutan yang dilepasliarkan di TNBBBR menjadi 106 sejak pelepasliaran orangutan pertama kali dilaksanakan di bulan Agustus 2016. Salah satu orangutan yang dilepasliarkan kali ini adalah Pangkuy, hasil repatriasi dari Thailand tahun 2006 lalu.

    Keempat orangutan yang dilepasliarkan kali ini semuanya betina, mereka adalah Pangkuy (17 tahun), Sisil (13), dan satu pasang induk-anak, Clara (12) dan Clarita (1). Mereka dibawa dalam perjalanan menempuh jalur darat dan sungai yang memakan waktu kurang lebih 10-12 jam dari Nyaru Menteng ke titik-titik yang telah ditentukan di TNBBBR.

    Menurut dia, menerima dan merawat orangutan hasil repatriasi yang notabene sempat lama berada di kandang tanpa kesempatan untuk melatih keterampilan dan tidak memiliki perilaku liar merupakan tantangan besar bagi pusat rehabilitasi.

    Hal ini dibuktikan dengan minimnya jumlah orangutan dari repatriasi yang bisa kami lepasliarkan, bahkan setelah lebih dari 10 tahun proses rehabilitasi. “Ini bukti nyata dari pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk mencegah dan pada akhirnya menghentikan upaya penyelundupan satwa liar,” jelas Jamartin Sihite.

    CEO Yayasan BOS Nyaru Menteng ini menyerukan perlunya kerja sama semua pemangku kepentingan karena sangat penting bagi keberhasilan konservasi orangutan dan habitatnya. Karena semua menikmati hasil hutan, baik dalam bentuk udara segar, air bersih, berbagai produk hutan baik kayu dan non-kayu, dan masih banyak lagi, semuanya wajib bertanggung jawab.

    “Hutan berperan besar dalam pemenuhan kebutuhan manusia, dan sebagai spesies kunci di hutan-hutan di Sumatra dan Kalimantan, orangutan berperan besar menjaga kualitas hutan di sana. Membiarkan spesies ini menjadi korban perdagangan satwa liar jelas tindakan yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan kerja keras pihak lain dalam upaya melestarikannya. Mari kita berupaya lebih keras menjaga keberadaan orangutan di habitatnya,” imbuhnya.

    Adib Gunawan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah menambahkan, upaya konservasi memang bukan sebuah proses instan. Hal ini tampak dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan satu orangutan yang telah lama dipelihara untuk bisa dilepasliarkan. Kali ini, orangutan yang kami lepasliarkan menjalani rehabilitasi dalam rentang waktu 12 tahun.

    “Waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk bisa mewujudkan pelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya sangat besar dan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh BKSDA, pemerintah, dan lembaga seperti Yayasan BOS saja. Kelompok-kelompok masyarakat dan pelaku bisnis juga harus terlibat secara aktif,” tegas Adib Gunawan.

    Menurut Adib, Pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan penegakan hukum terkait banyaknya kasus penyelundupan satwa liar ke negara lain seperti orangutan. “Sudah lebih dari 4 kali, Pemerintah Indonesia melakukan repatriasi satwa orangutan dari luar negeri seperti Thailand, Kuwait, dan Malaysia akan tetapi penyelundupan satwa terus terjadi. Kami membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk menutup kran kejahatan ini,” kata Adib.

    Lebih lanjut Adib mengatakan, ada kebutuhan mendesak bagi adanya kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan. Untuk kegiatan pelepasliaran orangutan di TNBBBR saja, beberapa pihak terlibat aktif yaitu BKSDA Kalimantan Tengah, Balai TNBBBR, USAID LESTARI, dan Yayasan BOS.

    “Sampai hari ini, kerja sama kami telah menghasilkan 12 kali kegiatan pelepasliaran dalam 2 tahun terakhir, dan melepasliarkan 106 orangutan di TNBBBR. Bukan jumlah yang besar, mengingat luasnya wilayah Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, kita masih harus bekerja lebih keras untuk melindungi dan melestarikan lingkungan kita beserta kenekaragaman hayatinya,” ucapnya.

    Heru Raharjo, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR) Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, menambahkan, sebagai spesies payung yang membantu melindungi habitat dan berperan penting bagi kualitas hutan. Orangutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem hutan.

    Oleh karenanya menurut Heru, mereka wajib dilindungi keberadaannya. Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya adalah habitat yang secara alami sangat mendukung lestarinya populasi orangutan. “Kami mendukung kondisi ini dengan menciptakan keamanan melalui monitoring, evaluasi, dan pengamanan periodik. Kita semua tentu berharap agar orangutan-orangutan yang dilepasliarkan di taman nasional ini akan segera menjadi dasar terbentuknya populasi orangutan liar baru yang sehat,” janji Heru.

    Namun demian tambah Heru, kita harus ingat bahwa TNBBR hanyalah sebagian kecil dari seluruh wilayah hutan di Indonesia yang luasnya mencapai 93,6 juta hektar. Berbagai wilayah hutan lain juga harus mendapat perhatian. Akan sangat ideal apabila orangutan-orangutan hasil rehabilitasi ini bisa mendapatkan wilayah hutan dengan ketinggian yang sesuai, pasokan pakan alami hutan yang cukup, populasi orangutan liar minimal, serta keamanan jangka panjang.

    Sementara itu Reed Merrill, Chief of Party USAID Lestari mengaku bangga bisa menjalin kerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan Yayasan BOS dalam sebuah inisiatif multi pihak dalam upaya konservasi orangutan dan habitatnya.

    “Kegiatan pelepasliaran orangutan ke-12 di TNBBBR ini merupakan bukti komitmen kami untuk menjamin terlaksananya upaya program peningkatan kualitas pengelolaan hutan dan lahan yang telah berlangsung sejak tahun 2016 lalu,” ucapnya dengan bangga.

    Reed Merrill menambahkan, pelepasliaran kali ini melibatkan Sisil, orangutan betina berusia 13 tahun. Sisil adalah orangutan pertama yang dilepasliarkan setelah menjalani tahap pra-pelepasliaran di Pulau Salat. Pulau Salat di Kabupaten Pulang Pisau adalah bagian dari lahan konservasi seluas 2.089 hektar sebagai hasil dari kemitraan antara Yayasan BOS dan PT. Sawit Sumbermas Sarana (SSMS) Tbk. Saat ini di pulau Salat masih ada 23 orangutan yang menjalani tahap akhir rehabilitasi dan menanti pelepasliaran.

    Vallauthan Subraminam, Direktur Utama PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk., menegaskan, upaya rehabilitasi orangutan terus menjadi prioritas utama bagi PT. SSMS karena orangutan di Kalimantan kini berstatus sangat terancam punah dengan hanya 57.350 individu berada di alam liar.

    “PT. SSMS bekerja dengan masyarakat dan pemerintah lokal, dan Yayasan BOS mencegah orangutan terusir dari habitatnya, termasuk memperkuat standar keberlanjutan di seluruh aspek operasi kami serta pelibatan masyarakat setempat dalam program konservasi di wilayah konsesi kami,” jelasnya.

    Untuk mendukung kesuksesan upaya konservasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, Yayasan BOS selalu bekerja sama erat dengan Pemerintah Indonesia di semua tingkat: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Katingan, BKSDA Kalimantan Tengah, Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, dan USAID LESTARI.

    Yayasan BOS juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas dukungan dan kontribusi sejumlah mitra seperti masyarakat Kabupaten Katingan, PT. SSMS Tbk., Wild Women Expeditions, para mitra global kami, donor perseorangan, organisasi-organisasi mitra yang membantu tercapainya upaya konservasi dan pelestarian alam di Indonesia.

    (gra/beritasampit.co.id)