Pelaku TPPO Punya Modus Baru, Masyarakat Diminta Waspada

    PALANGKA RAYA – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat dibiarkan. Saat ini telah terjadi pergeseran modus operandi dan pola jaringan pelaku TPPO. Untuk itu, semua lapisan masyarakat dihimbau untuk mengetahui dan mewaspadai segala bentuk modus kejahatan ini yang mungkin saja terjadi di sekitar kita.

    “Saat ini telah terjadi pergeseran modus operandi dan pola jaringan pelaku TPPO. Pelaku menjadi lebih mudah melakukan TPPO dengan adanya kemajuan teknologi. Modus TPPO tidak hanya terkait pekerja migran keluar negeri tetapi juga berkembang modus-modus baru, seperti pengantin pesanan dan ‘jual teman’ di kalangan remaja, siswa, mahasiswa, dan lain-lain. Pola jaringan pelaku TPPO juga berkembang, dimana korban banyak yang beralih menjadi pelaku TPPO. Mirisnya, orang tua atau keluarga yang seharusnya sebagai pelindung berubah menjadi pelaku TPPO. Negara ASEAN yang semula menjadi daerah tujuan, saat ini juga berkembang menjadi daerah transit karena kemudahan memasuki negara tersebut, untuk menuju negara-negara yang seharusnya terlarang (moratorium),” pungkas Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R. Danes saat menutup Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO) Tahun 2018 yang telah berlangsung sejak 10 – 12 Oktober 2018 di Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah.

    Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher yang turut hadir dalam penutupan tersebut mengatakan usaha penanganan TPPO memerlukan strategi yang terstruktur, terukur, dan saling bersinergi antar sektoral.

    Ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan, yakni penguatan kelembagaan, penguatan sistem, penegakan hukum, koordinasi, dan kerjasama lintas sektor. Peran masyarakat dalam memberikan informasi awal kepada penegak hukum terkait indikasi terjadinya TPPO juga menjadi kunci utama dalam memerangi tindak kejahatan secara umum.

    Vennetia menambahkan korban TPPO sebagian besar adalah perempuan dan anak. Tidak sedikit dari mereka mengalami trauma berat (fisik dan mental) serta terjerat hutang sehingga menjadikan mereka dalam kondisi yang semakin rentan. Oleh karenanya, saat ini yang menjadi tantangan adalah bagaimana agar GT PP-TPPO dapat berfungsi secara maksimal di masyarakat.

    “Kita semua perlu meningkatkan komitmen dan berinovasi dalam pemberantasan TPPO seperti yang telah dilakukan di beberapa daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan anggaran yang memadai, rencana aksi dengan indikator kinerja yang terukur, didukung sistem data pelaporan yang holistik dan sistematis, serta pengawasan yang melekat. Oleh karena itu, struktur GT PP-TPPO sebaiknya diisi oleh lembaga operasional yang mampu bergerak secara dinamis, namun tentunya dengan arahan Kepala Daerah dan Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai pengambil kebijakan. Masyarakat, terutama kaum orang tua juga seharusnya meningkatkan pemahaman dan pengamanan anak-anaknya terhadap indikasi awal terjadinya TPPO karena modus dan polanya yang terus berkembang,” tutup Vennetia.

    (din/beritasamput.co.id)