Pergeseran Makna Natal dari Kandang Domba jadi Pohon Cemara dan Pesta Mewah

    Jika Natal dibawa dalam konteks kandang domba, tentu saja kita akan menemukan makna kesederhanaan dan kerendahan hati. Tak ada sama sekali kesan kemewahan.

    ======================
    A UGA GARA-Palaka Raya
    ======================

    BANYAK diantara kita memaknai perayaan Natal selalu identik dengan kemewahan dan kemeriahan. Terutama bagi mereka yang punya kemampuan secara ekonomi.

    Perayaan Natal di Gereja dan Rumah terasa tak lengkap jika tak disediakan makanan yang mewah. Jika dulu setiap rumah tangga kristen wajib membawa makanan seadanya, sesuai kemampuan untuk Perayaan Natal di Gereja. Sekarang cara itu dianggap kuno.

    Dewasa ini, perayaan Natal sama dengan pesta meriah dan makan besar. Untuk memenuhi itu, panitia mengumpulkan sumbangan dari setiap rumah tangga Kristen. Ada sumbangan wajib dan sukarela.

    Sumbangan-sumbangan yang terkumpul untuk mengorder menu ketring, hingga mengorder kemewahan hiasan Natal dan artis. Sama sekali tak kelihatan kesederhanaan dan kebersamaan.

    Kemewahan juga terlihat pada busana Natal. Panitia, petugas ibadah dan perayaan serta yang tampil menghibur dianggap tak bermakna tanpa kesan glamour dan mewah, seragam pula.

    Tak mau ketinggalan, diantara umat Kristen yang hadir dalam ibadah dan perayaan juga menampilkan kesan busana glamour dan mewah, bak seorang model yang tampil di acara fashion show.

    Ironis, ada yang seperti tak mengerti kepantasan dalam berbusana dihadapan Tuhan. Mereka anggap menghadiri ibadah dan perayan Natal sama dengan menghadiri pesta, layaknya pesta para selebritis yang dengan pedenya menampilkan ketiak terbuka, lekukan tubuh, dada terbuka hingga rok mini setengah tiang.

    Disudut ruangan tamu rumah dan perkantoran didekorasi sedemikian rupa dengan pohon-pohon plastik menyerupai cemara yang dilengkapi dengan pernak-pernik indah dan mewah.

    Para pengelola pusat perbelanjaan dan hotel, seperti tak mau ketinggalan. Mereka menampilkan Natal dari sudut pandang yang berbeda.

    Natal adalah kemeriahan, sebuah kemewahan yang ditunjukan dengan diskon dan hiasan-hiasan pohon cemara plastik yang menjulang tinggi dihiasi pernak pernik.

    Padahal sesungguhnya dalam kelahiran Bayi Yesus tak nampak keindahan, juga tak ada kemewahan. Sekarang makna Natal sudah bergeser, dari kesederhanaan menjadi kemewahan.

    Jika kita benar-benar mau menghayati, Natal adalah kesederhanaan. Tak ada lagi gemerlapnya pohon cemara yang memperlihatkan simbol kemewahan, dengan segala macam hiasan.

    Jika Natal dibawa dalam konteks kandang domba, tentu saja kita akan menemukan makna kesederhanaan dan kerendahan hati. Bukankah Yesus dilahirkan di kandang domba, bukan dibawah pohon cemara yang dihiasi pernak-pernik. Yang ada kesannya justru bayi Yesus lahir ditempat jorok dan menjijikan.

    Padahal pohon cemara yang dilambangkan sebagai pohon Natal, sangat tidak cocok dengan kultur budaya orang Indonesia. Karena sejatinya, pohon cemara dan hiasannya adalah tradisi dari orang-orang Amerika dan Eropa.

    Memaknai Natal dalam konteks kandang domba berarti menghayati nilai kekeluargaan. Dalam kandang domba, terdapat sebuah keluarga, Yosep, Maria dan bayi Yesus.

    Bahwa Natal adalah mengembalikan kita pada keluarga, sebagai suatu kesatuan. Keluarga untuk saling melengkapi, memaafkan dan berbagi bersama.

    Dalam kandang domba, tidak hanya sosok Yosep, Maria dan bayi Yesus, tetapi juga gembala dan tiga orang Majus bernama Baltasar, Melkior, dan Gaspar datang mengunjungi bayi Yesus.

    Ini menandakan bahwa Natal dimaknai sebagai saat yang tepat untuk mempererat tali persaudaraan, kerukunan dan kedamaian antar umat beragama.

    Saling mengunjungi dan memberi selamat adalah sebuah nilai yang tiada taranya dibandingkan nilai sebuah kemewahan dan kemeriahan.

    Memaknai Natal dalam kandang domba berarti menghayati nilai kesederhanaan dan kemiskinan. Itu nampak dalam kedatangan tiga orang Majus ke kandang Domba penuh kesederhanaan. Tak ada kesan kemewahan dengan pakaian yang glamour.

    Mereka justru mempersembahkan kekayaannya untuk Yesus emas, dupa, dan mur yang penuh dengan makna doa. Emas berati melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi Raja Agung.

    Kemenyan berati melambangkan bayi Yesus yang akan menjadi Imam Agung dan Mur berarti melambangkan bayi Yesus yang kelak akan mati untuk menebus dosa manusia.

    Meski mereka sudah menyumbang, mereka tidak sombong penuh kesederhanaan dan kehangatan hati. Mereka juga mau menyembah Yesus yang masih bayi dan miskin.

    Konteks bayi Yesus dilahirkan dalam palungan, di kandang yang hina dan kedatangan tiga orang Majus. Ini berarti, bahwa Natal mengingatkan kita akan pentingnya sebuah kasih dan kepedulian bagi orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita.

    Natal dalam konteks kandang domba juga sebagai refleksi bersama bagi bangsa ini, yaitu sampai saat ini masih banyak saudara-saudara kita yang mungkin tempat tinggalnya berada disamping rumah kita hidupnya masih berkekurangan.

    Inilah saat yang tepat, memaknai Natal sebagai waktu untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Bukan sebaliknya, orang kaya memperlihatkan kemewahannya. Tapi tak mau berbagi kesesamanya.

    Karena sesungguhnya, orang kaya, orang miskin, orang punya jabatan dipemerintahan dan orang dengan berbagai latar belakang profesi, tak peduli dia Pendeta, Penginjil, Penatua dan Diakon, semuanya sama dimata Tuhan. Selamat merayakan Natal. (*)