WALHI: Masyarakat Sipil Ingatkan Para Kepala Negara di Dunia Serius Menangani Perubahan Iklim

    KATOWICE-Bersama dengan ribuan massa, WALHI-Friends of the Earth Indonesia mengambil bagian dalam gerakan Maret Global untuk Iklim (global March for Climate) dengan tema; Bangun! Saatnya Menyelamatkan Rumah Kita (Wake up! It’s Time to Save Our Home!).

    Menurut Yuyun Harmono, Pengkampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI, aksi tersebut sebagai rangkaian dari gerakan yang didorong oleh masyarakat sipil dalam putaran COP 24 Katowice-Polandia.

    Pada momentum COP 24 ini, ucap Yuyun, WALHI menyuarakan berbagai fakta persoalan dan krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim yang terjadi di tingkat tapak.

    Perubahan iklim sebagai problem global tidak bisa dilepaskan dari fakta krisis yang terjadi di tingkat tapak di berbagai belahan dunia, Indonesia salah satunya.

    “Namun faktanya, hingga putaran COP 24 ini, belum ada upaya yang signifikan dari para pihak, untuk mengoreksi model pembangunan dunia yang konsumtif yang memicu krisis iklim,” jelas Yuyun Harmono, dalam siaran pers yang diterima redaksi, Minggu (9/12/2018) sore.

    Dia mengatakan, Report IPCC terbaru menunjukkan ancaman yang begitu nyata yang harus dialami akibat jika suhu bumi tidak ditahan di bawah 1,5 derajat celcius. Kelangkaan air, krisis pangan dan dampak kesehatan yang akan dialami oleh penduduk bumi.

    Deforestasi masih menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia, penyumbang terbesar deforestasi dari perkebunan skala besar seperti perkebunan sawit, kebun kayu dan tambang.

    Sementara itu, Direktur WALHI Kalimantan Barat Anton Widjaya mencontohkan, di Kalimantan Barat, perkebunan kelapa sawit telah menguasai lebih dari 4 juta hektar. Upaya penurunan emisi dengan menghentikan laju deforestasi tidak bisa hanya menjadi komitmen pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengeluarkan perizinan dengan alasan untuk pendapatan daerah.

    AKSI: IST/BS- Bersama dengan ribuan massa dari srluruh dunia, WALHI-Friends of the Earth Indonesia saat menggelar aksi damai.

    Sementara Direktur Walhi Kalimantan Trngah Dimas Hartono menambahkan, setiap tahun Kalimantan Tengah kehilangan hutan seluas 132.000 hektar akibat industri ekstraktive. Sampai detik ini masih terjadi deforestasi.

    “Adalah kesesatan berpikir jika beranggapan bahwa deforestasi dapat menghasilkan pendapatan daerah. Negara justru harus menanggung biaya lingkungan akibat penghancuran hutan yang sistematis dilakukan,” tukas Dimas.

    Anton P Widjaya kembali menimpali pendapatnya, di Kalimantan Barat laju deforestasi adalah persoalan serius dalam perluasan perkebunan sawit.

    “Komitmen Gubernur Kalbar untuk segera mengimplementasikan kebijakan Moratorium dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Barat harus terus ditagih. Implementasi kebijakan moratorium dan percepatan pengakuan pengelolaan hutan oleh rakyat adalah jalan utama mewujudkan keadilan iklim,” timpal Anton.

    Pada kesempatan yang sama, Direktur Walhi Kalimantan Timur Fathur Roziqin Fen membeberkan, di Kalimantan Timur, deforestasi untuk perkebunan skala besar, hutan dihancurkan untuk tambang batubara.

    Menutut dia, di saat berbagai negara sudah meninggalkan batubara, Indonesia masih terus bergantung pada batubara, industri kotor, rakus dan mematikan seperti yang terjadi di Kalimantan Timur.

    “Bukan hanya deforestasi dan kerusakan lingkungan hidup, anak-anak mati di lubang tambang batubara. Ini semua harus diakhiri, jika pemerintah serius ingin menurunkan emisi di sektor energi,” tegas Fathur Roziqin Fen.

    Hal yang sama terjadi di Sumatera Selatan, seperti yang diungkapkan oleh Direktur WALHI Sumatera Selatan, Muhammad Hairul Sobri yang terus menggenjot pembangunan PLTU batubara.

    “Gubernur Sumatera Selatan menargetkan penurunan emisi dari kontribusi Sumatera Selatan sebesar 17 persen dari total target nasional. Namun faktanya pembangunan PLTU terus dijalankan, bahkan masuk dalam strategi pembangunan nasional,” beber Muhammad Hairul Sobri. “Kami mendesak agar pemerintah menghentikan proses pembangunan PLTU di Sumatera Selatan,” ucapnya menimpali.

    Alih-alih sebagai bagian dari upaya energi terbarukan, pemerintah membangun proyek-proyek energi yang diklaim bersih seperti geothermal dan PLTA skala besar, seperti proyek PLTA Batang Toru.

    Pemerintah mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia antara lain melalui prinsip Free Prior Inform Consent dari masyarakat, khususnya masyarakat di hilir Sungai Batang Toru yang akan terdampak dari pembangunan PLTA Batang Toru.

    Oleh karenanya, WALHI Sumatera Utara mendesak pemerintah menyetop proyek PLTA Batang Toru, jelas Direktur WALHI Sumatera Utara, Dana Prima Tarigan.

    Selain di internasional, WALHI menyuarakan keadilan iklim di dalam negeri dengan berbagai aksi di daerah antara lain di Papua, Yogya, dan Jawa Timur. Hutan Papua terus terancam dari ekspansi perkebunan skala besar seperti sawit dan proyek-proyek pembangunan atas nama kepentingan nasional.

    Masyarakat Adat yang hidupnya tergantung dari hutan terancam kehilangan sumber-sumber kehidupannya. Padahal bagi masyarakat adat Papua, hutan adat bukan hanya sumber pangan, tetapi juga ikatan hidup dan identitas orang Papua.

    “Kehilangan hutan adat bagi masyarakat adat, sama artinya dengan kehilangan identitas sebagai Masyarakat Adat. Hutan adat inilah yang seharusnya diakui dan dilindungi oleh negara, bukan justru memberikan berbagai izin untuk korporasi,” tegas Aiesh Rumbekwan, Direktur WALHI Papua.

    Mrnitup siaran prrsnya, Walhi memuji komitmen Presiden Joko Widodo telah menandatangani deklarasi politik Solidarity and Just Transition Silesia Declaration dalam Pada COP 24 ini.

    Oleh karena itu, WALHI secara nasional yang disampaikan oleh Yuyun Harmono, Pengkampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia yang ikut menandatangani deklarasi tersebut bersama dengan 49 negara lainnya.

    “Namun komitmen internasional tersebut harus diimplementasikan dalam kebijakan di dalam negeri, dengan membuat roadmap phase out dari energi kotor ke energi terbarukan yang berkeadilan dan memenuhi prinsip hak asasi manusia,” ujar Yuyun Harmono.

    (gra/beritasampit.co.id)