Diantara Pilih Babat Hutan, Paru-paru Dunia dan Fakta Kejahatan Lingkungan (2)

    PADA bagian lain, Pemerintah Provinsi Kalteng terinspirasi dari Hutan Amazon, Brasil yang satu-satunya hutan hujan tropis di dunia yang ditetapkan sebagai Paru-paru Dunia.

    Gubenur Kalteng melalui Sekda Provinsi Kalteng, Fahrizal Fitri berkeinginan menjadikan hutan hujan tropis di Kalteng sebagai Paru-paru Dunia yang kedua setelah Hutan Amazon, Brasil.

    “Pada bulan Desember 2018, akan ada penetapan bahwa Kalteng menjadi Ibu Kota Negara Paru-paru Dunia,” bebernya, mengutip dari borneonews.co.id, Rabu (21/11/2018).

    Keinginan menjadikan Kalteng sebagai Paru-paru Dunia juga telah masuk dalam perencanaan pemerintah pusat. Mengutip okezone.com, Kepala Bappenas, Sofyan Djalil mengatakan, pemilihan Kalteng sebagai pusat pemerintah memang belum final.

    Namun menurut dia, kajian perlu benar-benar dilakukan secara terperinci mengingat status hutan sebagai Paru-paru Dunia bersama hutan Amazon di Brasil.

    Keinginan pemerintah Provinsi Kalteng dan pemerintah pusat tersebut tentu disambut positif dan mendapat dukungan dari gerakan organisasi lingkungan dunia dan masyarakat adat.

    Mudah-mudahan tidak hanya lip service. Karena betapa besarnya pengorbanan masyarakat adat dan organisasi lingkungan Brasil mempertahankan Hutan Amazon kala itu.

    Dalam film dokumenter berjudul “The Burning Season” adalah film televisi tahun 1994 yang disutradarai oleh John Frankenheimer. Film ini mengisahkan tentang perjuangan Chico Mendes melindungi hutan hujan tropis Hutan Amazon di Brasil.

    Film garapan terakhir Raúl Juliá yang dirilis selama masa hidupnya ini mengisahkan perjuangan masyarakat adat dan kelompok organisasi lingkungan di Brazil mempertahankan Hutan Amazon.

    Dikisahkan dalam filem itu, suatu ketika ayah bersama anak lelakinya menjual getah karet kepada seorang tengkulak di kota. Meskipun harga jual yang ditawarkan begitu rendah, lelaki tua itu dengan rela menerima beberapa kepingan Cruzeiro setelah dikurangi hutang-hutangnya pada tengkulak.

    Sementara anak lelakinya melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana perihal penjualan getah karet pada ayahnya ketika mereka selesai bertransaksi.

    Mungkin anaknya menyadari bahwa ayahnya telah dicurangi oleh tengkulak tersebut, dan ayahnya tidak menanggapinya karena ayahnya merasa tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan getah karet tersebut.

    Pejuang lingkungan Chiko Mendes dalam Film The Burning Season.

    Sepenggal kisah kehidupan orang Chacoeira, Brazil sekitar tahun 1950-an yang coba dilukiskan dalam Film “The Burning Season” itu, menggambarkan nasib yang sama dialami petani kelapa sawit (PKS) saat ini.

    Mereka menjadi korban permainan dagang para tengkolak pemilik pabrik CPO dan perusahaan sawit. Lalu mereka berpikir, daripada tandan buah segar (TBS) kelapa sawit mereka busuk, lebih baik dijual dengan harga murah.

    Dalam film itu juga menggabarkan tentang kisah seorang pejuang lingkungan. Jika masyarakat adat dan orang-orang organisasi lingkungan berdarah-darah hingga makan korban jiwa mempertahankan Hutan Amazon dari pengusaan lahan oleh kelompok pengusaha dan pemerintah pada saat itu, juga pernah terjadi di Kalteng.

    Jika masyarakat adat dan organisasi lingkungan di Brasil mempertahankan Hutan Amazon berhadapan dengan kelompok preman yang dibayar oleh pengusaha, juga patut diduga terjadi di Kalteng. Bahkan lebih dari itu, kelompok pengusaha di Kalteng mendapat perlindungan hukum dari aparat bersenjata.

    Save our Borneo (SOB) mencatat tahun 2013, hampir di semua wilayah di Kalteng pernah terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan sawit dan lebih dari 127 konflik terjadi. Dimana pemerintah menjadi penengah dan penonton, aparat kepolisian yang menjadi aktor bagian dari kriminalisasi warga.

    Masih menurut SOB, konflik yang terjadi didominasi konflik sengketa lahan, ganti rugi, lahan plasma, wilayah adat, pencemaran sungai. Dan Kabupaten Kotim menduduki rangking pertama dengan 49 kasus konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Group Wilmar dan Sinarmas masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat karena perusahaan kerap di beking oleh oknum aparat.

    Konflik sengketa lahan antara perusahaan kelapa sawit dengan masyatakat juga pernah terjadi di Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kobar pada tahun 2005 lalu.

    Kasus ini sempat jadi perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada tahun 2008, Komnas HAM turun ke Kalteng. Dalam kejadian tersebut, satu warga meninggal akibat luka tembakan, dua orang cacat tetap.

    “Kami ingin mendapatkan kejelasan dari kasus ini,” kata Wakil Ketua Bidang Internal Komnas HAM, M Ridha Saleh, di Palangka Raya, dikutip dari kompas.com, 14 April 2008.

    Ridha menuturkan, pada tahun 2005 beberapa LSM sudah melaporkan kasus ini ke Kepolisian Republik Indonesia. Namun hingga kini kasus ini belum terungkap.

    “Kami ingin lihat ada apa sebenarnya kok kasus ini tidak pernah terungkap. Siapa investor yang menguasai tanah di sana, siapa yang bermain di sana, tentu ini harus diungkap. Sebab ini sangat sensitif dan berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan yang sangat serius,” kata Ridha.

    Pada tahun 2017 lalu, konflik lahan antara perusahaan kelapa sawit dengan masyatakat terjadi di wilayah Kabupaten Kotim. Dalam konflik itu dua warga Desa Sebabi Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotim ditembak Polisi.

    “Tindakan yang dilakukan anggota, sudah sesuai dengan Perkap Nomor 01 tahun 2009 dan Perkap Nomor 8 tahun 2009 terkait prinsip hak asasi manusia bagi tugas Polri,” tegas Wakapolda Kalteng, Kombes Pol Dedi Prasetyo, mengutip antaranews.com, tanggal 20 Desember 2017.

    Foto dan Caption Dok: Save Our Borneo-Tanah adalah sumber kehidupan rakyat , tidak boleh diberikan untuk “rayap” seperti Sinar Mas dan Wilmar.

    Seperti diketahui, akar permasalahan kejadian bermula dari sengketa lahan antara warga dengan PT Bumi Sawit Kencana (BSK), anak perusahaan Wilmar Group, sehingga berujung pada penembakan terhadap dua warga karena diduga menyerang menggunakan senjata tajam.

    Jika berkaca pada kasus-kasus tersebut. Nampaknya, harapan menjadikan Provinsi Kalteng sebagai Paru-paru Dunia berbanding lurus antara harapan dengan kenyataan. Antara perkataan dengan perbuatan. Antara kebijakan ekonomi dengan kebijakan melindungi fungsi lingkungan hidup.

    Pasalnya, pejabat Kalteng lebih memilih membabat hutan dengan alasan untuk pembangunan, ketimbang mempertahan hutan. Gubernur Kalteng dengan tegas mengatakan, Provinsi Kalteng memerlukan investor untuk membangun Kalteng.

    “Kita memerlukan banyak pembangunan, membuka akses jalan dari pedesaan sampai perkotaan. Kita memerlukan bandara udara yang maju. Untuk mewujudkan itu semua kita memerlukan keberadaan investor agar pembangunan di Kalteng bisa lebih baik,” mengutup borneonews.co.id, tanggal 5 Desember 2018 lalu.

    Dan untuk mewujudkan itu, Gubernur Kalteng percaya harus mengorbankan hutan yang ada di Kalteng. “Pengorbanan ini perlu, kita tidak mungkin dapat membangun sekolah atau pembangunan lainnya tanpa memgorbankan hutan kita,” tambahnya.

    Mendukung pernyataannya itu, Gubernur Kalteng mengajak seluruh kepala daerah 14 kabupaten/kota, lembaga adat dan perusahaan kelapa sawit memerangi LSM.

    Gubernur Kalteng beranggapan, kampanye anti sawit tidak ramah lingkungan dianggap kampanye negatif yang memicu anjloknya harga jual minyak mentah kelapa sawit di pasar internasional sehingga dianggap merugikan.

    Oleh karenya, pemerintah daerah bertekad melawan dan mengawasi organisasi-organisasi lingkungan dunia khusunya yang ada di Kalteng. Harian cetak Palangka Post, Selasa (11/12/2018), menjadikan pernyataan Kepala Kesbangpol Provinsi Kalteng sebagai headline: “Kesbangpol Awasi LSM Anti Sawit di Kalteng”.

    Masih di harian cetak Palangka Post, Rabu (12/12/2018) mengangkat judul utama: “Lawan Kampanye Anti Sawit, Bupati Sukamara Dukung Langkah Gubenur”.

    Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat juga tak mau ketinggalan bersuara. Dia berasumsi merosotnya harga sawit salah satunya disebabkan adanya kampanye hitam anti sawit.

    “Saya mendukung gubernur yang mengatakan bahwa sawit ini menjadi andalan daerah, dalam hal menampung banyak tenaga kerja kita,” kata Bupati, dikutip dari bernoenews.co.id, Senin (10/12/2018).

    “Tolonglah masyarakat dunia melihat secara bijak. Jangan karena termuat muatan strategi dagang dan macam-macam lagi (oknun LSM) ini berimbas kepada petani sawit khususnya masyarakat,” lanjut Bupati.

    Entah disadari atau tidak oleh Bupati Kapuas dua periode ini. Suara-suara keras dari organisasi lingkungan tentang kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PBS kelapa sawit selama ini, bukannya tidak berdasar. Kasus kejahatan lingkungan juga terjadi di Kabupaten Kapuas.

    Kliping Koran Palangka Post terkait status hukum Calon Bupati Gumas Jaya S Monong. Pengumuman ini sebagai syarat maju dalam Pilkada 2018 lalu.

    Pada tanggal 22 Agustus 2017, berdasarkan Putusan PN Kuala Kapuas Nomor: 75/PID.SUS-LH/2017/PN Klk, Majelis Hakim yang diketua Nurhayati Nasution SH MH beserta hakim anggota Emna Aulia SH dan Sondra Mukti Lambang Linuwih SH, menjatuhkan hukuman 10 bulan percobaan kepada Direktur PBS Kelapa Sawit PT Sait Mait Jaya Langit atas nama Jaya S Monong.

    PN Kuala Kapuas juga menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa sejumlah Rp 400 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebit tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

    Dalam putusannya, PN Kuala Kapuas menyatakan Jaya S Monong telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Karena kelalainnya turut serta melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dakwaan alternatif kedua (Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan).

    Keberadaan ratusan ribu hektar perusahaan kelapa sawit dikawasan eks PLG terbesar berada di wilayah Kabupaten Kapus sempat menjadi polemik. Pasalnya, Inpres No.2/2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG Kalteng dalam lampiran menetapkan batasan sawit seluas maksimal 10 ribu hektar.

    Sementara itu, di Kotawaringin Timur, DAD Kalteng telah menghukum PBS Kelapa Sawit PT Mustika Sembuluh sebesar Rp 500 Juta lebih. Dalam putusan adat, perusahaan milik PT Wilmar Group tersebut terbukti merusak situs adat dan rumah warga Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Utara, Kotim.

    Sederet fakta kejahatan lingkungan yang pernah terjadi di Kalteng ini membuktikan kebijakan pemerintah masih kurang memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan hak masyarakat. Masihkah para pejabat ramai-ramai menuding organisasi lingkungan yang melakukan kampanye hitam. Karena faktanya hitam tidak mungkin dibilang putih.

    (redaksi beritasampit.co.id)