Cerita Warga di Kalimantan Tengah yang Pernah Makan Orangutan: ‘Maklum, Dulu Zaman Susah’

    WARGA di Kalimantan Tengah mengatakan sepuluh atau 20 tahun lalu mereka makan daging orangutan.

    Seorang warga mengatakan bahwa makan daging orang utan adalah sesuatu yang tidak jarang dilakukan oleh warga di kampungnya di pedalaman Kalimantan Tengah.

    “Dulu saya sering makan daging orang utan, maklum dulu zaman susah, untuk makan daging mesti berburu di hutan,” kata Okta Yasadiraga, warga yang tinggal di Katingan, Kalimantan Tengah, kepada BBC News Indonesia.

    Kebiasaan itu dilakukan pada sekitar tahun 90-an dan 2000 awal.

    Okta menggambarkan kondisi desa tempat tinggalnya yang jauh dari kota, dengan akses transportasi yang sulit dan tidak ada sinyal telekomunikasi. Desanya terletak kira-kira dua jam dari Katingan.

    “Kami tidak tahu orang utan dilindungi undang-undang, pada tahun itu kami belum tahu apa-apa. Informasi dan wawasan kami tentang orang utan belum ada,” kata Okta.

    Pria 32 tahun ini berasal dari suku Dayak Ot Danum dari sisi bapak, dan Dayak Ngaju dari sisi ibu.

    Warga suku ini membuka ladang di hutan, jauh dari perkampungan, sekitar enam jam berjalan kaki.

    Untuk menjaga ladang dari serangan binatang, mereka memasang jerat di sekeliling ladang. Binatang-binatang yang terjerat antara lain rusa, babi dan kancil. Jika terjerat, hewan-hewan yang dianggap hama itu akan disembelih dan dimakan.

    ‘Tak memburu secara khusus’

    Terkadang, ada juga monyet dan orang utan yang terperangkap dan disantap. Okta menjelaskan bahwa warga tidak pernah secara khusus memburu orang utan.

    “Mungkin masyarakat luar yang tidak tahu kondisi kami di pedalaman menilai kami jahat telah membunuh orang utan. Tapi kehidupan di hutan berbeda dengan di kota. Kami makan binatang untuk bertahan hidup di hutan,” kata dia.

    Terkadang ada trenggiling dan burung enggang juga terjerat dan dimakan.

    “Rasa daging orang utan dengan daging binatang lain juga sama, sama-sama enak. Kalau dimasak pedas bisa lebih enak dari ayam,” kata dia.

    Kini perekonomian warga pun mulai membaik, dengan akses jalan yang sudah dibuka, masuknya sinyal selular dan lembaga pelestari orang utan.

    “Kini di kampung kami sudah tidak ada lagi pembunuhan orang utan. Kami sangat menghormati dan menghargai orang utan, kami sudah sadar dan paham bahwa itu dilarang pemerintah,” kata dia.

    “Namun tidak menutup kemungkinan di pedalaman sana masih ada juga yang melakukannya. Saya tidak bisa bilang sudah tidak ada sama sekali.”

    Konsumsi orang utan

    Pada November 2013, Tribun Pontianak melaporkan bahwa warga Jalan Panca Bhakti, Pontianak Utara memakan daging seekor orang utan yang ditemukan mati oleh warga.

    Orang utan itu mati ditembak pemburu, lalu ditinggalkan begitu saja.

    Warga pun mengolah binatang itu menjadi rica-rica pedas.

    Image copyrightTRIBUN PONTIANAK/NANDA N

    Image captionWarga di Pontianak menunjukkan daging orang utan yang dimasak menjadi rica-rica.

    Laporan Vincent Nijman dalam “Asesmen perdagangan Orangutan dan Owa di Kalimantan, Indonesia”, tahun 2005, menyebutkan bahwa perburuan orang utan untuk diambil dagingnya biasa dilakukan di beberapa tempat di Kalimantan Tengah.

    Laporan Nijman tersebut juga menjelaskan bahwa beberapa suku Dayak dan Punan tidak jarang mengkonsumsi daging orang utan.

    Namun daging orang utan bukan tujuan utama perburuan, karena tujuan utama perburuan adalah mendapatkan anak orang utan untuk dijual.

    Disebutkan pula bahwa pada tahun 1990-an masih ada juga daging orang utan yang diperjualbelikan di Kalimantan Timur, dan ada laporan penjualan abon orang utan dari Kalimantan Tengah ke Cina.

    Ada tapi Jarang Terjadi

    WWF menjelaskan bahwa fenomena konsumsi daging orang utan memang terjadi.

    “Sangat jarang, tapi bukan berarti tidak ada kasus orang utan yang dimakan dagingnya,” kata kata Okta Simon, Project Leader WWF di Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Tengah.

    Okta menjelaskan bahwa dari beberapa kali diskusi, warga menjelaskan bahwa konflik antara warga dan orang utan banyak terjadi tahun 90-an saat ada pembalakan hutan besar-besaran.

    Saat bertemu orang utan, dalam beberapa kasus, warga membunuh orang utan yang mereka temui.

    “Saat itu belum tahu kalau dilindungi, beberapa warga terancam jadi dibunuh,” kata Okta saat dihubungi BBC News Indonesia. Dari orang utan yang dibunuh, daging orang utan yang kemudian dimakan persentasenya sangat sedikit.

    Selain itu, ancaman terbesar orang utan berasal dari perburuan dan perdagangan.

    Biasanya yang diburu adalah bayi orang utan yang diculik dengan cara menembak induknya. Bayi itu kemudian dijual hidup-hidup untuk dijadikan binatang peliharaan.

    Setelah tahun 2005, seiring dengan turunnya pembalakan hutan, interaksi warga dan orang utan juga makin berkurang.

    “Sekarang orang sudah mulai paham karena pelestarian orang utan sudah banyak disampaikan banyak lembaga,” kata dia. Penegakan hukum terhadap beberapa kejadian pembunuhan orang utan pun menurutnya efektif.

    Karena warga sudah tahu bahwa orang utan adalah binatang yang dilindungi, kini muncul perubahan perilaku masyarakat saat terjadi konflik yang muncul dari hilangnya habitat orang utan.

    Jika primata itu masuk ke perkebunan dan lahan pertanian warga, warga melaporkannya kepada LSM, seperti BOSF atau WWF dan kepada BKSDA.

    “Jadi meski ada konflik tapi tidak sampai membunuh, apalagi dimakan dagingnya,” kata dia. Pada tahun 2018, dia mencatat hanya ada dua kasus pembunuhan karena konflik.

    Berbeda dengan konflik hewan dilindungi lainnya seperti konflik harimau dan gajah yang terkadang memakan korban jiwa manusia, dalam konflik manusia dan orang utan korbannya selalu si orang utan.

    Saat ini ada sekitar 30.000 orang utan diperkirakan hidup di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

    Di Taman Nasional Sebangau, ada sekitar 6.000 orang utan dan sekitar 1.000 di antaranya telah dilepaskan di Bukit Baka-Bukit Raya.

    “Konflik dan pembunuhan hanya turunan dari ancaman utama, yaitu hilangnya habitat orang utan. Jika kita bisa meredam hilangnya habitat, konflik antara orang utan dan manusia pun bisa dikurangi,” katanya.

    Sumber: BBC Indonesia