Transaksi Lahan Dibalik Ilusi Kesejahteraan Janji Politik

    JAKARTA-Ketegangan-ketegangan politik yang ditebar ke rakyat menjelang Pemilu, diciptakan untuk memberikan ruang kejahatan pada Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Sejak tahun 90-an, biaya politik telah dibebankan ke rakyat dan alam serta lingkungan hidup melalui transaksi-transaksi perizinan di sektor kehutanan, perkebunan dan juga pertambangan.

    Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi WALHI menyatakan bahwa dari sekian banyak skenario yang digunakan oleh para elit politik dan pengusaha, salah satunya adalah dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

    Salah satu janji Presiden Jokowi adalah menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan yang merupakan perwujudan dari Nawacita dan di kemudian implementasikan dalam bentuk program Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), yang jika diteliti lebih dalam, program ini telah menjadi bagian dari Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dalam Perpres No. 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 3 Tahun 2016 dengan judul Program Kebijakan Pemerataan Ekonomi.

    “PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) adalah salah satu contoh terkini, dimana praktik penyelesaian persoalan ketimpangan lahan, hanya menjadi simbol belaka di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah”. Ini adalah praktik keberhasilan pelaku perusak hutan dan mengambil keuntungan menjelang Pemilu 2019 untuk mendapatkan kawasan hutan” tutup Zenzi Suhadi.

    Lebih tegas ditambahkan oleh Aris Bira, Direktur WALHI Sulawesi Tengah bahwa praktik ini menunjukkan ketidak-konsistenan pemerintah atas kebijakan yang telah diterbitkan. Tanggal 19 September 2018 telah diterbitkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau lebih populer dengan Moratorium Sawit. Instruksi Presiden ini secara tegas ditujukan kepada 8 (delapan) K/L (termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Pemerintah Daerah untuk menunda dan melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak terkecuali di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

    Aris menambahkan bahwa Bupati Buol (dr. Rudi sapaan akrabnya) sejak menggantikan Amran Batalipu, Bupati Buol terdahulu yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri karena menerima suap untuk proses perizinan perusahaan sawit PT. Hardaya Inti Plantation (HIP), adalah anak perusahaan PT. Cipta Cakra Murdaya (CCM) milik Hartati Murdaya Poo, pada tahun 2012 lalu. Bupati Buol saat ini membuat program yang sangat populis dengan TAURAT (Tanah Untuk Rakyat). Program ini untuk memastikan distribusi tanah untuk rakyat benar-benar terlaksana dengan baik dan menyasar tanah negara terlantar yang masih berpotensi untuk dikelola menjadi lahan pertanian, termasuk lahan perusahaan yang tidak kelola, hingga pada kawasan hutan yang bisa dikonversi. Program ini mendapatkan tantangan dari sisi inplementasi karena harus berhadapan dengan kerasnya pertarungan modal besar yang sedang bermain di Kabupaten Buol, salah satunya adalah industri perkebunan sawit.

    Edi Sutrisno, Deputi Transformasi Untuk Keadilan (TuK) Indonesia menambahkan bahwa semangat moratorium kelapa sawit ini ditujukan untuk peningkatan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan hidup, termasuk penurunan emisi gas rumah kaca, serta peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

    Setidaknya ada 4 (empat) tindakan yang harus dilakukan K/L dan Pemerintah Daerah segera untuk impelementasi moratorium sawit, Pertama, pengumpulan, sinkronisasi dan verifikasi data; Kedua, penetapan kebijakan dan regulasi; Ketiga, penegakan hukum secara luas, dan; Keempat, pembinaan peningkatan produktivitas. Sayangnya instruksi ini tidak berjalan dengan baik” tutup Edi Sutrisno.

    Hasil bacaan citra satelit, dilakukan oleh Achmad Rozani sebagai Manajer Data Base dan GIS WALHI menyebutkan bahwa PT. HIP telah mendapatkan pelepasan kawasan hutan sekitar 19.000 Hektar pada tahun 1998, kemudian di masa Pemilu 2014 kembali mendapatkan seluas kurang lebih 14.000 Hektar dan menjelang Pemilu 2019, tepatnya pada tanggal 23 November 2018 (kurang lebih 2 bulan pasca terbitnya Inpres Moratorium Sawit) dengan luasan 9.964 Hektar dengan Nomor SK.517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018 tentang pelepasan dan penetapan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT. Hardaya Inti Plantations di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah.

    Dugaan lain dari hasil bacaan peta citra satelit bahwa pihak perusahaan sudah terlebih dahulu melakukan pembukaan lahan dan melakukan penanaman kelapa sawit, sebelum mendapatkan SK Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan fakta tanaman kelapa sawit yang mungkin usia tanamnya sudah berumur 4 (empat) tahun. Olah data spasial perizinan PT. CCM/PT.HIP yang ada menunjukkan carut marut dalam penentuan dalam pemanfaatan ruang tersebut dan penampakan visual citra satelit yang di himpun dan di olah menunjukkan fakta sejak tahun 1994 s.d 2018 PT. CCM/PT. HIP telah melakukan pembukaan lahan sebelum memiliki dasar legal. Pada sisi yang lain ada seluas 5189,66 Ha Izin HGU PT. HIP Bertumbang Tinidh dengan Kawasan Hutan dan ada Seluas 13.588 Ha PT. HIP telah menanaman kelapa sawit di luar HGU.

    Fakta lainnya tutupan hutan di areal HPK yang di lepaskan oleh KLHK memiliki tutupan hutan yang masih sangat bagus. Sehingga kami mempertanyakan rekomendasi oleh tim terpadu yang di bentuk oleh Gubernur Sulteng Bersama BPKH terhadap hasil penilaian dari pelepasan karena hari ini publik tidak pernah bisa mendapatkan dokumen dari tim terpadu sebagai bahan pertimbangan teknis tersebut.

    Melalui konferensi pers ini, secara tegas kami sampaikan kepada pemerintah agar segera membatalkan Surat Keputusan tersebut dan tetap konsisten menjalankan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018, termasuk Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Sambil menunggu niat baik pemerintah untuk mencabut SK tersebut, kami juga masih dalam tenggat waktu untuk menyiapkan gugatan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai upaya lain untuk membatalkan Surat Keputusan tersebut(*)

    • Artikel ini sudah dimuat di laman website walhi.or.id