Setelah Perkebunan Terbitlah Tambang

    Oleh: Tomy Alfarizy (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang)

    KEMARIN 1 Februari 2019, publik di kejutkan dengan penetapan tersangka korupsi Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilansir dari beberapa media, kerugian negara ditaksir mencapai 5,8 T setara dengan kerugian negara yang dialami dalam kasus E-KTP maupun BLBI. Adapun dugaan sementara KPK atas permasalah ini adalah terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia dan PT Aries Iron Miring.

    Tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua, setelah sebelumnya beberapa bulan yang lalu Anggota DPRD Kalteng juga terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK dimana kasus tersebut melibatkan beberapa Anggota Komisi B DPRD Kalteng dan PT Bina Sawit Abadi (PT BAP) yang juga masalahnya adalah terkat perizinan yang tidak sesuai prosedur dan merugikan lingkungan.

    Pertanyaan mendasar yang perlu kita tanyakan dari kedau masalah diatas adalah semuda itukah korporasi mencari suaka di paru-paru bumi?

    Ekspolitasi alam dan lingkungan yang hari ini sedang gencar dilakukan di Kalimantan Tengan yang katanya sebagai upaya mensejahterakan masyarakat nyatanya dibarengi dengan tindakan curang para kepala daerah, kewenangan besar yang mereka miliki nyatanya tidak di barengi dengan dampak negative yang akan di tinggalkan dimasa yang akan datang, alhasil, seruji besi adalah tempat terakhir untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan.

    Dua kasus diatas membuka mata Publik untuk kritis atas keberadaan perkebunan dan tambang yang hari ini bisa jadi ada di sekitar mereka. Public tentu memiliki hak untuk mengetahui secara gamblang segala hal yang menyangkut perizinan tiap perkebunan dan tambang, caranya tentu dengan pemerintahan yang terbuka dan mau berbagi informasi atas keberadaan tambang ataupun perkebunan yang ada di wilayah satu daerah, sehingga pengawasan yang dilakukan tidak hanya bertumpu pada pemerintah daerah namun juga melibatkan partisipasi publik, dampak positifnya korporasi tidak lagi bisa bermain mata dengan pemerintah daerah atas segala hal yang menyangkut perizinan.

    Tentu menanggapi permasalah sebagaimana disebutkan diatas kita harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, dimana seseorang dianggap bersalah secara hukum ketika sudah ada putusan hukum yang bersifat tetap dari pengadilan, namun bukan berarti kita diam dan menutup diri untuk ikut mengomentari fenomana yang terjadi, public tertap harus kritis sebagai bentuk kepedulian agar tata kelola pemeritahan di derah bejalan sesuai aturan perundang-undangan.

    Minimnya integritas dan profesionalisme kepala daerah dan korporasi

    Kasus suap yang melibatkan kepala daerah dan korporasi tentu tidak hanya terjadi di Kalimantan Tengah khususnya Kotawaringin Timur namun juga terjadi di daerah lain, sebagai contoh saja seperti kasus dugaan suap di cikarang atas pembangunan Meikarta yang mana melibatkan petinggi Lippo Group dan Bupati Bekasi.

    Sering kali korporasi yang terjerat kasus korupsi tidak memiliki system pengendaian atau pengawasan internal untuk mencegah korupsi, seperti suap, disisi lain sering kali pengusaha mengeluh atas kesulitan dalam mengurus dan mendapatkan perizinan atas usaha yang hendak didirikan, hal ini disebabkan oleh sistem birokrasi yang dibangun pemerintah daerah memang sengaja untuk mempersulit perijinan dengan tujuan meminta uang agar perijinan yang dimohonkan segera keluar tanpa mengedepankan syarat dan ketentuan yang berlaku.

    Selain itu dorongan atas penguatan Apara Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebagai upaya menekan kejahatan korupsi oleh kepala daerah juga mejadi konsesn yang harus segera dituntaskan, hal ini dikarekanakan APIP selama ini cenderung tidak berdaya atas kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah, akibatnya, proses pengawasan yang dilakukan selama ini hanya formalitas dan tidak memiliki hasil yang jelas.(*)