Stop Kekerasan Terhadap Anak Melalui Media

    SURABAYA– Media massa di Indonesia dinilai masih belum ramah anak. Meski isu anak dalam tema-tema tertentu telah menjadi isu menarik yang diangkat di media massa, namun seringkali potret anak dalam pemberitaan media massa masih belum mencerminkan perlindungan terhadap anak.

    Hal itu diungkapkan Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA, Indra Gunawan saat menjadi narasumber dalam Konvensi Nasional Media Massa pada Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 di Kota Surabaya, melalui pers rilis yang diterima redaksi beritasampit.co.id via email, Sabtu (9/2/2019).

    “Sebagian besar pemberitaan media massa justru melakukan eksploitasi terhadap isu-isu anak, utamanya yang menyangkut kekerasan seksual dan anak berhadapan dengan hukum. Masih banyak ditemukan pemberitaan yang tidak ramah anak, baik sebagai korban maupun pelaku,” ungkapnya.

    Beberapa pelanggaran kode etik jurnalistik yang masih sering terjadi, misalnya pengungkapan identitas anak, baik sebagai pelaku maupun korban, dan penyajian pemberitaan dengan informasi yang cabul dan sadis. Identitas yang dimaksud ialah menyebarluaskan nama, tempat tinggal, hingga nama orang tua.

    Penyebaran identitas secara berlebihan dikhawatirkan dapat menganggu perkembangan anak. Bahkan anak acap kali digambarkan sebagai sosok yang seolah-olah ikut andil sehingga kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban. Dalam kesempatan tersebut, Indra memberikan contoh pemberitaan di media massa terkait kasus teror bom gereja di Surabaya pada 2018 lalu yang menampilkan wajah dan identitas anak pelaku dan korban.

    Indra Gunawan mengatakan pemerintah sudah mengeluarkan berbagai regulasi guna memberikan perlindungan terhadap anak dalam pemberitaan, diantaranya ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Standar Program Siaran (SPS), dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.

    “Dalam Pasal 17 KHA mengakui fungsi penting yang dilakukan media massa dan negara harus menjamin anak mempunyai akses terhadap informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional, terutama yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya serta kesehatan fisik dan mentalnya,”

    “Berbagai regulasi memang sudah banyak dikeluarkan, namun yang lebih penting proses implementasi harus kita kawal bersama. Keterlibatan masyarakat dimana orang tua dan media massa berperan penting dalam upaya perlindungan anak. Di sisi lain, anak-anak juga perlu diberikan pemahaman, pengetahuan, dan penguatan untuk dapat melindungi dirinya sendiri,” timpal Indra Gunawan.

    Sementara itu, Wartawan senior Irwan Julianto mengatakan, menurut UNICEF, empat kategori anak yang berada dalam situasi amat sangat sulit, yaitu: (1) Anak korban kekerasan seksual, pornografi dan pelacuran anak; (2) Anak yang berkonflik dengan hukum; (3) Anak yang dieksploitasi bekerja di tempat yang sulit, seperti jermal dan tambang; serta (4) Anak yang dijadikan tentara cilik. “Pemberitaan terkait isu-isu anak tersebut sebaiknya dilakukan dengan mengembangkan jurnalisme empati,” ucapnya.

    Sementara itu, psikolog anak, Seto Mulyadi juga menilai media sering kurang ramah anak. Melalui pemberitaan, media justru melakukan kekerasan terhadap anak karena memberitakan tetapi kurang memahami tentang konsep perlindungan anak. “Masyarakat mendambakan media yang ramah anak sebagai media pendidikan yang efektif. Melalui program/konten media massa yang edukatif, anak bisa ikut berpartisipasi sebagai agen perubahan, mendukung proses tumbuh kembang anak, merangsang kecerdasan, dan kreativitas.

    Ingat, anak-anak bukan orang dewasa mini jadi pahami psikologi perkembangan anak. Anak-anak pandai meniru jadi perlu contoh keteladanan. Dunia anak adalah dunia bermain jadi buatlah sesuatu yang menyenangkan. Stop kekerasan terhadap anak melalui media, didiklah mereka dengan cinta,” tutup Seto Mulyadi.

    (gra/beritasampit.co.id)