Soal e-KTP, UU Nomor 24/2013 Dinilai Sumir

    Editor: A Uga Gara

    JAKARTA– Hiruk-pikuk masalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang dipersoalkan WNA itu, dikarenakan ada keputusan KPU yang boleh menggunakan e-KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk datang ke TPS agar diberikan hak pilihnya dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM).

    Hal itu diungkapkan Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo dalam diskusi forum legislasi ‘Polemik e-KTP WNA, Perlukah Perppu?’ di Gedung Nusantara III Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, (28/2/2019).

    Namun, menurut Firman, KPU dalam hal ini tidak secara cermat melihat bahwa ada kelemahan dalam Undang-undang. Dimana e-KTP yang diterbitkan itu adalah e-KTP yang sama, tidak ada perbedaan antara e-KTP WNI dan WNA.

    “Nah, WNA itu ada turis yang dapat visa diperpanjang 3 bulan. Kemudian ada juga yang dapat izin sementara untuk bekerja, ini perbedaan yang tidak diatur secara eksplisit dalam UU,” ujar Firman.

    Bukan hanya itu, beber Firman, disetiap TPS pun, hingga kini belum ada sistem yang bisa mendeteksi e-KTP WNI dan WNA tersebut.

    Untuk itu, Firman yang juga sebagai Tim Kemenangan Nasional Jokowi-Ma’aruf ini meminta KPU segera melakukan verifikasi di direktorat jenderal imigrasi yang memiliki kewenangan mengatur orang asing sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan Konstitusi.

    “Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah menghentikan pembuatan e-KTP bagi WNA. Ini adalah tindakan yang patut dilaksanakan,” pungkas Firman Soebagyo.

    Hal senada juga disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah yang mengatakan dari KTP konvensional hingga e-KTP adalah masalah yang beruntun.

    “Bagaimana publik tidak curiga, sejak pertama muncul e-KTP yakni masalah korupsi sampai tentang WNA. Ini kan persoalan, kalau menurut saya, sosialisasinya kurang. Sehingga publik tak banyak yang tahu,” tutur dia.

    Bahkan, Trubus bilang, pasal 63 dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2013 tentang data kependudukan itu pun itu sangat sumir, isinya tidak ada penjelasan yang memadai.

    “Oleh karena itu, diperlukan aturan turunan, kalau kita mau, ya bentuk Peraturan Pemerintah (PP), kalau saya sih boleh boleh aja. Karena masalah eKTP ini memang sudah menjadi perdebatan publik,” imbuh Trubus.

    (dis/beritasampit.co.id)