Komisi I DPR: Istilah KSB Picu Papua Tuntut Referendum

    Editor: A Uga Gara

    JAKARTA– Anggota Komisi I DPR RI, Effendi Simbolon mengatakan, pemerintah menghadapi suatu pilihan yang dilematis dalam menegakkan aturan hukum terkait penggunaan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) di Papua, Indonesia Timur.

    Menurut Effendi, perbedaan dari kedua sebutan itu disaat setiap wewenang institusi negara yakni TNI dan Polri dalam mengambil kebijakan untuk meredam serangkaian konflik di Papua.

    “Persoalannya adalah kita dilematis untuk menempatkan apakah yang dimaksud dengan KKB yakni sipil bersenjata yang melakukan kriminal atau kita secara individu mengatakan mereka adalah separatis,” ujar Effendi di Senayan, Jakarta, Rabu, (13/3/2019).

    Politisi PDI-P itu menilai jika pemerintah mengakui mereka sebagai separatis, maka kelompok separatis juga punya tempat untuk berbicara tentang adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

    “Dia (separatis) punya tempat, karena dilain sisi ada pihak yang jadi mediator, nah ini tentu terjadi pola siklus yang nantinya seperti Timur Leste, karena tuntutan mereka adalah referendum,” imbuh Effendi.

    Diketahui, ada sekitar 1,8 juta dari 2,5 juta penduduk Papua Barat telah menandatangani petisi Reperendum Papua Merdeka yang telah diserahkan kepada ketua dewan HAM, Michelle Bachelet di markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat.

    Referendum yang dikirim oleh kelompok separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada Jumat 25 Januari 2019 tersebut akan menentukan apakah pulau terbesar kedua di dunia itu bisa melepaskan diri dari pangkuan Ibu Pertiwi.

    “Tuntutan Referendum, nanti kita posisinya kalah terus,” ungkap Effendi sembari mengingatkan pengalaman Indonesia saat operasi Militer diberbagai wilayah Indonesia itu tentu ada plus-minusnya.

    Referendum itu merupakan yang kedua, yakni mengulangi Penentuan Pendapat Rakyat (pepera) yang diadakan pada 1969 di Papua Barat untuk menentukan status daerah bagian barat pulau Papua antara milik Belanda atau Indonesia. Para wakil kala itu populasi dengan suara bulat memilih Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB.

    “Jadi, referendum pepera kala itu dianggap bikinan kita. Dan memang iya. Kita didukung Amerika Serikat. Sekarang apakah Amerika ingin Papua pisah dari NKRI, saya tidak tahu,” beber Effendi Simbolon.

    (dis/beritasampit.co.id)