ANTI MAHAR POLITIK DALAM PEMILU ISLAM

    Oleh : Erly Aji Purniawati

    MAU jadi pemimpin atau wakil rakyat harus mengeluarkan biaya yang banyak, bahkan tak sedikit yang melakukan praktik sogok-menyogok. Kalimat ini sudah menjadi hal lumrah di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang terjadi di Indonesia Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, bahwa calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi pilkada. Contoh saja, Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 62,6 miliar, sedangkan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar. Angka yang sangat fantastis! (kompas.com)

    Angka yang sudah begitu tinggi, ternyata naik lagi secara signifikan pada 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar, sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar.

    Fakta yang benar-benar menggambarkan praktik mahalnya untuk jadi pemimpin. Padahal belum lagi jika di dalamnya terjadi mahar politik, yang sama-sama saling menginginkan simbiosis mutualisme.

    Banyak juga praktik menghalalkan segala cara untuk memperebutkan kemenangan tersebut. Misal, para calon wakil rakyat member santunan berupa sembako, uang tunai, dan kesehatan kepada masyarakat miskin, tetapi memang ada udang di balik batu, “Pilih saya ya”, jargon singat itu yang digaungkan ketika sedang turun langsung bertemu rakyat kecil. Kegiatan ini pun sudah tak asing di mata kita.

    Itulah praktik pemilu di sistem buatan manusia, demokrasi. Suap-menyuap sudah terbuka.

    Menarik perhatian publik dengan berbagai cara, meski harus menerobos aturan Sang Ilahi. Sistem Demokrasi membolehkan siapa saja yang ingin berbuat curang, asal sama-sama menguntungkan. Praktik Mostesque pun dipakai pada sistem jahat ini. Kalau sudah dalam sistem buruk ini, teman jadi lawan, tanpa mengingat ikatan saudara lagi. Mahalnya biaya pemilu sudah tak dihiraukan lagi oleh mereka yang ‘katanya’ siap mengemban amanah menjadi wakil rakyat. Nyatanya sebelum menjadi wakil rakyat sudah membohongi publik.

    Mari kita lihat perbandingan sistem pemilu pada sistem Demokrasi dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam atau Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan seperti sistem negara Demokrasi. Khalifah atau pemimpin rakyat butuh rakyat untuk memerintahi rakyat dengan hukum Allah. Jadi, hukum yang diterapkan menggunakan hukum Allah. Sekalipun ada seorang pemimpin, tak serta-merta pemimpin bisa berbuat semaunya. Tetap disandarkan pada rambu-rambu yang telah dibuat Sang Pencipta dalam Alquran.

    Sistem Islam juga akan menindaklanjuti secara hati-hati jika terjadi kekosongan penguasa. Misal, penguasa murtad, melalukan kezaliman atau lainnya, maka ia dicopot dari kekuasaanya dan Mahkamah Mazalim atau Majelis Umat mencari dan melakukan verifikasi calon-calon yang siap layak untuk menggantikan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, dan adil. Tentunya mau menerapkan syariat Islam secara kaffah. Tidak ada praktik suap-menyuap atau memberikan mahar. Harga diri dan takut akan azab Allah adalah harga mati para calon pemimpin saat di sistem Islam. Mereka tak mau menggadaikan kenikmatan dunia dengan akhirat.

    Wallahualam.

    (Guru SMP Hamparan 2, Telawang, Km 43 Jalan Jenderal Sudirman)