Sertifikasi Produk Halal, Jaminan Perlindungan Konsumen

Prof. Muhammad Said

MUHAMMAD SAID*

UNDANG-UNDANG Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut Agama dan kepercayaannya.

Salah satu bentuk jaminan yang diberikan kepada penduduk Indonesia adalah memberikan perlindungan konsumen untuk mendapatkan pangan yang aman, bermutu, bergizi dan hyziene serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat.

Bagi masyarakat muslim, mengkonsumi produk halal merupakan sebuah kewajiban yang telah ditegaskan dalam agama mereka, Islam. Al-Qur’an terkait produk halal menyampaikan pesan nilai-nilai kebajikan universal bagi kemanusiaan (humanity). Karena itu, Negara melalui aparatur pemerintah berkewajiban memenuhi hak masyarakat Muslim melalui Jaminan produk halal.

Sebagai upaya perlindungan konsumen, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti adanya regulasi berupa UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahkan Piagam kerja sama Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada makanan dan produk lain.

Tuntutan produk halal dan sertifikasi halal sejauh ini belum memiliki kekuatan yang mengikat karena masih bersifat voluntary, sukarela bukan mandatory (kewajiban) sehinngga banyak pelaku usaha yang belum memiliki sertifikat halal. Data Periode 2010-2015 menunjukkan terdapat 34.502 sertifikat dari 276.573 produk dari 32.676 perusahaan di Indonesia. Tahun 2013 dan 2014, angka produk yang mendapat sertifikasi Halal dari LPPOM masing-masing 4754 produk dan 832 perusahaan, dan 67369 produk dari 1436 perusahaan.

Pada sisi lain, Status Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan lembaga negara atau organ pemerintahan dianggap tidak memiliki kewenangan publik untuk menjalankan fungsi tertentu berdasarkan undang-undang, bukan lembaga negara yang menetapkan berbagai norma hukum (non-state norms). Selain itu, kontrol terhadap perusahaan yang telah memperoleh sertifikat halal masih sangat lemah sehingga sejumlah perusahaan nakal menggunakan sertifikasi halal untuk hal-hal yang bertentangan dengan shariah.

Beberapa kasus yang mencuat di jagat nasional dan Internasional menunjukkan secara jelas bahwa perusahaan yang telah mendapat izin sertifikasi halal memanfaatkannya untuk hal-hal yang tidak halal seperti kasus bumbu dan rendam ayam restoran solaria yang mengandung babi, kasus distribusi daging halal dengan menggunakan alat distribusi yang telah terkontaminasi daging haram, serta kasus daging sapi dicampur dengan daging babi yang pernah terjadi di Singapore dan Perancis.

BACA JUGA:   Bukan Hanya Ada  di Cirebon, Musik Obrog-Obrog Pembangun Sahur Ternyata Juga Ada di Kota Kumai, Kotawaringin Barat

Pemerintah telah mengeluarkan UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) untuk memberikan perlindungan hukum pada konsumen muslim. Sertifikasi halal dalam UU JPH menjadi sebuah kewajiban (mandatory) bagi setiap produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia (Pasal 4 UU JPH, 2014). UU Jaminan Produk Halal (JPH) mendorong lahirnya Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah lembaga yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Agama.

Peralihan otoritas (kewenangan) menangani jaminan produk halal dari LPPOM MUI kepada BPJPH telah melahirkan upaya-upaya hukum yang ditandai dengan maraknya, sekitar 28 LPPOM MUI di seluruh Indonesia mengajukan gugatan ke Mahakmah Konstitusi agar otoritas mengeluarkan sertifkasi halal tetap di bawah kendali LPPOM MUI.

Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal (BPJPH) memiliki tidak saja berfungsi untuk mengeluarkan sertifkasi halal, tetapi juga berfungsi melaksanakan kontrol atau pengawasan produk halal di Indonesia. Persoalan yang muncul seiring lahirnya UU JPH adalah durasi waktu terbentuknya BPJPH paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU JPH diterbitkan.

Akibatnya, pengajuan atau perpanjangan sertifikat halal menggunakan proses yang berlaku sebelum UU ini diundangkan, kewenangan LP-POM MUI. Peralihan kewenangan dan tanggunjawab sertifikasi produk halal dari LP- POM MUI kepada BPJPH memerlukan sosialisasi dan publikasi yang intens agar publik publik mengetahui dan memahami tujuan, dan maksud peralihan penangan sertifikali produk halal.

Disseminasi pengatahuan peralihan kewenangan penanganan sertifikasi produk halal dari LP-POM ke Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal secara intens diperlukan misalnya melalui kegiatan yang bersifat edukasi publik seperti workshop, seminar dan bentuk lain yang melibatkan pihak pelaku usaha kecil menengah sebagai subjek hukum agar mereka meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keasadaran dalam mewujdukan UU Jaminan Produk Halal dan Perlindungan Konsumen.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Para pelaku bisnis UMKM memerlukan penguatan keyakinan dan kesadaran bahwa sertifikasi produk halal tidak lagi dipandang sebagai sebuah upaya melestari dan melanggengkan kepentingan komunitas tertentu berdasar segmentasi agama.

Secara luas, sertifikasi produk halal telah menjadi demand on the global industri. Sertifikasi Produk halal memiliki magnet global yang ditandai dengan munculnya relasi bisnis yang semakin melaus antara negara-negara maju dengan negara-negara yang memiliki demand terhadap prdoduk yang memiliki sertifikasi halal.

Negara Uni Eropa, Brussles Belgium misalnya telah berhasil mengembangkan lebih dari seratus perusahaan yang menangani produk sertifikasi halal dan mendistribusikannya secara luas di negara-negara Uni Eropa dan negara lain.

Menguatnya sirkulasi ekonomi halal telah mendorong perusahaan baik industri pengolahan seperti pangan; makanan dan minuman, kosmetika, farmasi, hospitality dan tourism destination, rumah potong hewan dan katering harus memenuhi sertifikasi halal.

Sertifikasi produk halal memiliki magnet profit kuat. Indonesia tercatat sebagai users tertinggi produk halal di dunia walaupun lebih didominasi sebagai konsumen. Selain itu, perluasan pangsa pasar (market segment). Industri global hari ini telah menjadikan halal sebagai satu icon bisnis yang menjanjikan sehingga kita dengan mudah menyaksikan perkembangan prodok halal di mana.

Pengembangan produk halal memiliki variasi business product yang luas mulai dari urusan sendok dan garpu hingga masalah halal digital. Peran dan kontribusi penting sertifikasi produk halal menuntut kejelian pemerintah agar secara lebih intensif melakukan edukasi dan pengawasan, serta penegakkan hkum bagi para pelanggarnya.

*Guru Besar Ekonomi Islam Uinversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Lembaga Pengembangan Ekonomi & Techno-Preneurship Syarih (LPETS) Ganesha Jakarta