Reformasi Regulasi DPD RI, Antara Harapan dan Kenyataan

Dhani Saimima. Dok: Istimewa

Oleh: Dhani Saimima

Omnibus Law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar dan mungkin mencabut atau mengubah beberapa Undang-undang.

Omnibus Law berasal dari bahasa Latin yang arti harfiahnya adalah ‘untuk segalanya’. Melalui Omnibus Law, akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit dan panjang.

Pada prinsipnya Omnibus law merupakan penggabungan beberapa peraturan menjadi satu pengaturan dalam produk hukum peraturan perundang-undangan.

Sehingga dengan adanya penggabungan beberapa ketentuan norma dalam satu peraturan tersebut, maka diharapkan agar permasalahan gemuknya regulasi yang hari ini dihadapi dapat diatasi secara bertahap.

Contoh sederhana dapat kita lihat bahwa penerapan ketentuan pengaturan norma-norma pidana yang sudah ada dalam KUHP dan sistem beracara hukum pidana yang diatur di dalam KUHAP ternyata bukan merupakan satu-satunya rujukan atau pijakan bagi penegak hukum dalam melakukan penerapan norma-norma pidana tersebut.

Karena sebagian besar pengaturan pidana juga diatur secara parsial pada UU yang lain semisal pengaturan pada UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, UU No.16 tahun 2012 tentang Industri Pertanahan yang mengatur ketentuan Pidana dalam Bab VIII Pasal 70 sampai dengan Pasal 75. Dan masih banyak UU yang lainnya yang mengatur ketentuan pidana.

Pengaturan tersebut dimungkinkan karena ketentuan UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 tahun 2019 memungkinkan pengaturan ketentuan hukum pidana tersebut pada UU dan Perda.

Jika kita cermati lebih jauh dalam lampiran II angka 112 Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana
atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah, sehingga setiap ketentuan norma larangan harus diatur pula.

BACA JUGA:   Baru Dua Bulan Bertugas, Jumlah Kegiatan Kapolres Kobar AKBP Yusfandi Usman Mencapai Record Tertinggi

Pengaturan mengenai sanksi terhadap pelanggaran pidana dalam peraturan perundang-undangan yang diundangkan setelah tahun 2011 pasca diberlakukannya UU 12 Tahun 2011 sampai dengan saat ini banyak mengatur mengenai ketentuan pidana yang dirumuskan Bab tersendiri dalam UU maupun Perda.

Sementara di sisi lain ada pengaturan yang khusus mengenai ketentuan pidana yaitu KUHP sehingga adanya kemungkinan penerapan hukum ganda dalam penerapan satu sanksi pidana.

Penerapan omnibus law diharapkan menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan regulasi yang gemuk saat ini, dan menjadi rangkaian proses untuk melaksanakan perintah presiden dalam rangka merampingkan regulasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

DPD RI sebagai lembaga representasi daerah dalam rumpun kekuasaan legislatif yang diberikan fungsi, wewenang, dan tugas dalam merumuskan dan mengusulkan RUU kepada DPR untuk dibahas bersama
secara tripartit antara DPD, DPR, dan pemerintah, perlu juga melakukan
pembenahan internal terhadap regulasi yang ada ada di kelembagaan
tersebut.

Sesuai ketentuan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, maka peraturan DPD
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang juga dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan pengundangannya harus mengikuti perubahan kebutuhan hukum saat ini yakni dengan melakukan perampingan terhadap produk hukum DPD RI yang beberapa di antaranya sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum lembaga.

Idealnya peraturan DPD yang ada perlu dirampingkan paling sedikit dalam 3 aspek pengaturan yakni, Pertama, Peraturan DPD tentang Legislasi yang mengatur tentang norma-norma pembentukan suatu RUU dari DPD dari tahapan perencanaan penyusunan pembahasan evaluasi Pemantauan
dan peninjauan.

BACA JUGA:   Berdiri Tahun 1961 dengan Modal Dasar Rp10 Juta, Bank Kalteng Sekarang Berhasil Menumbuhkan Aset Sampai Rp15,19 Triliun (Bagian 01)

Kedua, Peraturan DPD tentang Pengawasan, yang mengatur di dalamnya mengenai tahapan persiapan sampai dengan output hasil
pengawasan terhadap pelaksanaan UU yang berkaitan dengan wewenang dan tugas DPD, termasuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU.

Juga mengenai otonomi daerah pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Peraturan tersebut juga mengatur tentang mekanisme penyampaian hasil pengawasan tersebut kepada DPR.

Ketiga, Peraturan DPD tentang
Pertimbangan, yang mengatur mengenai pemberian pertimbangan DPD kepada DPR atas RUU tentang APBN serta UU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pengelompokan beberapa peraturan DPD RI yang sudah ada menjadi 3 Peraturan disebutkan itu merupakan tantangan besar bagi DPD untuk memulai reformasi regulasi di tubuh kelembagaan DPD.

Pelaksanaan reformasi regulasi tersebut tidak terlepas pisahkan dengan resource keahlian yang dimiliki oleh sistem pendukung kelembagaan pada jabatan-jabatan fungsi keahlian yang sudah ada terutama Perancang Peraturan perundang-undangan (legislative drafter) dan Peneliti.

Jadi, pembenahan regulasi internal lembaga sudah selayaknya dilakukan saat ini, mengingat momentum periodisasi penyusunan Prolegnas yang di mulai pada tahun ini sampai dengan 5 tahun mendatang. Sehingga
penyusunan peraturan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dukungan legislasi kelembagaan DPD RI itu sendiri.

Penulis adalah Legislative Drafter DPD RI